logo
Ilustrasi pengamatan IHSG. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia
Bursa Saham

Sulitnya Aliran Dana Asing ke Pasar Modal: Tantangan IHSG di Tengah Ketatnya Kebijakan Moneter

  • Sepanjang Februari 2025, investor asing tercatat melakukan net sell sebesar Rp5,5 triliun, yang menyebabkan pelemahan IHSG. Adityo Nugroho, Senior Investment Information Mirae Asset, menjelaskan bahwa aksi jual asing ini berdampak langsung pada pergerakan IHSG.

Bursa Saham

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA – Pasar modal Indonesia menghadapi tantangan besar di tahun 2025 akibat sulitnya arus aliran modal asing yang masuk. Ketatnya kebijakan moneter, baik dari dalam negeri maupun global, serta ketidakpastian ekonomi dunia menjadi faktor utama yang menekan pertumbuhan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Sepanjang Februari 2025, investor asing tercatat melakukan net sell sebesar Rp5,5 triliun, yang menyebabkan pelemahan IHSG. Adityo Nugroho, Senior Investment Information Mirae Asset, menjelaskan bahwa aksi jual asing ini berdampak langsung pada pergerakan IHSG. 

“Ketika investor asing membeli saham, IHSG cenderung naik. Sebaliknya, jika mereka menjual, IHSG turun,” ujar Adityo dalam acara Media Day by Mirae Asset Sekuritas di Jakarta, Kamis, 13 Februari 2025. 

Untuk diketahui, sejak perdagangan perdana di awal 2025, IHSG sudah merosot hingga 7,1% hingga penutupan perdagangan Kamis, 13 Februari 2025, yang mana IHSG ditutup di posisi 6.613,57. 

Meskipun nilai penjualan asing sudah berkurang, permintaan dari investor asing masih belum pulih sepenuhnya. Hal ini menambah ketidakpastian di pasar modal Indonesia. 

Ketatnya kebijakan moneter dan faktor ekonomi global menjadi penyebab utama investor asing menahan diri untuk berinvestasi di Indonesia.

Ketatnya Likuiditas dan Kebijakan Bank Indonesia

Ketatnya likuiditas perbankan Indonesia semakin memperparah kondisi pasar modal. Rully Arya Wisnubroto, Head of Research & Chief Economist, mengungkapkan bahwa pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan stagnan, sementara permintaan kredit terus meningkat.

“BRI mencatat pertumbuhan DPK year-on-year yang hampir 0%, sementara Bank Mandiri hanya mencatat pertumbuhan sekitar 6-7%. Namun, pertumbuhan kredit mencapai 20%, yang menyebabkan Loan to Deposit Ratio (LDR) meningkat secara signifikan,” jelas Rully.

Salah satu faktor utama penyebab ketatnya likuiditas adalah kebijakan Bank Indonesia yang mempertahankan suku bunga tinggi untuk menjaga stabilitas rupiah. 

Penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) serta Surat Berharga Negara (SBN) oleh pemerintah juga turut menyerap likuiditas dari pasar keuangan.

Dampak Global dan Kebijakan The Fed

Selain faktor domestik, kondisi ekonomi global juga menjadi perhatian utama bagi investor. Rully menekankan bahwa pasar sangat bergantung pada kebijakan suku bunga The Fed di Amerika Serikat.

Menurut Rully, untuk membuat IHSG bisa memulih dengan lebih baik, diperlukan setidaknya pemangkasan suku bunga sebanyak 1-2 kali di tahun ini. 

“Setiap bulan, data ekonomi AS seperti inflasi, tingkat pengangguran, dan non-farm payroll memengaruhi ekspektasi pasar. Jika data ekonomi AS tetap kuat hingga akhir 2025, The Fed bisa lebih agresif dalam menahan suku bunga tinggi, yang pada akhirnya akan membuat Bank Indonesia sulit menurunkan suku bunga,” tambahnya.

Selain itu, kebijakan ekonomi AS di bawah kepemimpinan Donald Trump, seperti tarif impor dan kebijakan deportasi, berpotensi meningkatkan inflasi di AS. 

Jika inflasi naik, daya beli masyarakat AS bisa menurun, memperlambat pertumbuhan ekonomi global, dan menambah ketidakpastian di pasar keuangan, termasuk Indonesia.

Sektor Konsumsi Tetap Menjadi Pilihan Investasi

Di tengah ketidakpastian ekonomi, sektor konsumsi pokok (consumer staples) tetap menjadi pilihan investasi yang menarik, terutama menjelang Ramadan dan Lebaran 2025. Mirae Asset Sekuritas Indonesia merekomendasikan saham dari sektor ini, mengingat daya beli masyarakat yang relatif stabil.

Abyan Habib Yuntoharjo, Research Analyst Mirae Asset, menyebutkan bahwa saham PT Sumber Alfaria Trijaya (AMRT) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) menjadi pilihan utama dengan status BUY. 

“ICBP fokus pada produk Indomie yang termasuk inferior goods, artinya ketika ekonomi tidak stabil, masyarakat justru cenderung mengonsumsi produk ini lebih banyak,” jelas Abyan.

Mirae Asset menetapkan target harga (TP) Rp3.500 untuk saham AMRT dan Rp13.200 untuk ICBP dalam 12 bulan ke depan. Insentif sosial dari pemerintah, seperti bantuan beras dan diskon tarif listrik, juga diperkirakan akan menopang daya beli masyarakat, yang memberikan dampak positif bagi sektor konsumsi.

Strategi Investasi di Tengah Ketidakpastian

Dalam menghadapi volatilitas pasar yang tinggi, Mirae Asset menyarankan strategi investasi berbasis teknologi kecerdasan buatan (AI). Mereka memperkenalkan aplikasi M-STOCK yang dilengkapi dengan asisten AI, MAIA, untuk membantu investor dalam mengambil keputusan yang lebih optimal.

Selain itu, upaya peningkatan literasi keuangan juga terus dilakukan. Mirae Asset meresmikan studio digital di Mirae Asset Financial Center (MAFC) Lebak Bulus, Jakarta Selatan, untuk memproduksi konten edukatif yang dapat membantu investor memahami dinamika pasar dengan lebih baik.