Suntik Mati TV Analog, Intip Prospek Industri Media Pertelevisian dari MNCN hingga SCMA
- Pemerintah resmi menghentikan siaran Televisi (TV) analog atau analog switch-off (ASO) pada 2 November 2022.
Pasar Modal
JAKARTA - Pemerintah resmi menghentikan siaran Televisi (TV) analog atau analog switch-off (ASO) pada 2 November 2022.
Penghentian TV analog tersebut telah tercantum di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Omnibus Law yang disahkan pada 2 November 2020.
Untuk menjaga masyarakat dapat tetap menikmati hiburan televisi, Bantuan set top box (STB) juga digulirkan dari lembaga penyiaran swasta (LPS) hanya untuk rumah tangga miskin ekstrem melalui data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) Kementerian Sosial.
Adapun bantuan STB ada sebanyak 4,3 juta unit yang berasal dari komitmen LPS penyelenggara Multipleksing (MUX). Sedangkan Kominfo sifatnya membantu bila ada kekurangan.
- Harga Emas Antam Hari Ini Melonjak Rp11.000, Ini Daftar Harganya
- Ada Harapan The Fed Akan Melambatkan Kenaikan Suku Bunga, Nilai Kurs Rupiah Dibuka Menguat
- Usai Ajaib dan Stockbit, Giliran Indo Premier Kena Sanksi dari BEI
Akan tetapi, keputusan suntik mati tv analog tersebut menimbulkan pro dan kontra baik dari sisi kesiapan masyarakat maupun perusahaan penyedia layanan pertelevisian.
Permasalahan pertama adalah banyak masyarakat yang belum memiliki STB. Terutama masyarakat kecil yang tidak mendapatkan STB dari pemerintah.
Permasalahan selanjutnya dari sisi perusahaan yang menilai masih ada masyarakat yang masih sulit mengakses layanan tv digital.
Respons para Perusahaan Media Televisi
Para media televisi turut mengikuti aturan yang diterapkan oleh pemerintah soal berhentinya TV Analog. Banyak stasiun televisi mengikuti aturan tersebut.
Contohnya saja Trans TV di bawah Pengusaha Chairul Tanjung pun turut menghentikan siaran di TV analog. Begitu juga stasiun TV di bawah PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) seperti SCTV dan Indosiar pun turut menghentikan siaran analognya. Begitu juga media lain termasuk Net Tv.
Sementara itu, MNC Group juga menghentikan siaran TV analognya, walaupun Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo merasa adanya paksaan soal pemadaman siaran TV analog.
Menurutnya, perlu memandang adanya kebijakan yang saling bertentangan terutama jika dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020 soal penangguhan soal UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang di dalamnya mengatur soal ASO trsebut.
Selain itu, tindakan mematikan siaran dengan sistem analog ini dinilainya merugikan masyarakat Jabodetabek. Diperkirakan 60% masyarakat di Jabodetabek tidak bisa lagi menikmati tayangan televisi secara analog di wilayah Jabodetabek kecuali dengan STB atau dengan tv digital.
Prospek Industri Pertelevisian Usai TV Analog Disuntik Mati
Suntik mati TV analog di Indonesia dinilai dapat mengganggu bisnis dunia pertelevisian. Namun, hal ini berangsur normal seiring masa transisi terselesaikan.
Pengamat Teknologi dan Informasi dari Information and Communication Technology Institute (ICT) Heru Sutadi mengatakan saat ini masih dalam tahap transisi. Sehingga industri pertelevisian belum sepenuhnya normal.
"Butuh waktu sebulanan lah akan normal," ujarnya kepada TrenAsia.com.
Penilaiannya tersebut disebabkan banyak masyarakat yang dengan inisiatif mulai mengganti TV-nya ke TV digital bahkan smart TV atau membeli STB sendiri. Maka dari itu normalisasi siaran TV digital pun akan segera terjadi.
Namun, bila melihat bisnis iklan di media televisi memang sedang tergerus. Hal ini dikarenakan ketatnya persaingan stasiun TV dan iklan yang diambil oleh media sosial seperti Instagram, Facebook serta Youtube.
"Yang menonton juga kian berkurang karena banyak yang beralih ke video on demand (VOD), video streaming juga Youtube," ujarnya.
Menurut Heru, bila stasiun TV masih menggunakan TV analog pastinya akan kalah saing dengan media sosial, terutama dari segi kualitas. Maka dari itu, migrasi ke digital diharapkan membuat persaingan stasiun TV dengan media sosial bisa setara.
"Bahkan, TV digital diuntungkan karena tidak butuh internet atau pakai kuota," ujarnya.
Menakar Kinerja Keuangan Emiten Pertelevisian
Bila melihat laporan keuangan terakhir, MNCN berhasil mencetak laba bersih sebesar Rp 1,34 triliun pada semester I-2022. Jumlah itu naik 6% secara tahunan dibandingkan tahun lalu.
Perusahaan milik Hary Tanoe tersebut mencatat pendapatan sebesar Rp 5,27 triliun pada semester I-2022. Realisasi itu naik 8% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Adapun iklan masih menjadi sumber pendapatan utama Perseroan. Pada semester I-2022, MNCN membukukan pendapatan iklan sebesar Rp 4,76 triliun atau naik 4% secara tahunan.
Selanjutnya pendapatan dari bisnis digital tumbuh dengan pesat, meningkat signifikan sebesar 51% secara tahunan menjadi Rp 1,34 triliun di enam bulan pertama 2022.
Sementara itu, SCMA mencatat penurunan laba pada kuartal III-2022 menjadi Rp830,77 miliar dari Rp1,06 triliun pada kuartal III-2021.
Walaupun begitu, pendapatan SCMA mengalami kenaikan dari Rp4,39 triliun menjadi Rp4,95 triliun.
Sementara itu, NETV mencatat kenaikan kerugian pada kuartal II-2022 menjadi Rp87,34 miliar dari periode yang sama tahun sebelumnya di Rp79,59 miliar.
Prospek Saham MNCN, SCMA dan NETV ke Depan
PT Mirae Asset Sekuritas merekomendasikan saham-saham emiten televisi di posisi netral. Terutama pada MNCN, SCMA dan NETV.
Menurut analis Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan, kebutuhan masyarakat akan akses TV Nasional masih kuat. Hal ini membuat masyarakat pun akan berupaya memenuhi kebutuhan STB agar terkoneksi dengan siaran televisi domestik.
"Belum lagi terdapat pangsa pasar sangat membutuhkan siaran TV domestik dalam hal ini digital," ujarnya kepada TrenAsia.com.
Dirinya mengatakan, emiten seperti MNCN hingga SCMA masih mendapatkan benefit dari pendapatan iklan hingga hak siar. Hal ini pastinya masih membuat kinerja emiten tersebut masih cukup sustainable.
Jika dilihat dari sisi makro, ekonomi Indonesia kuartal III-2022 menunjukan kinerja impresif yang ditopang salah satunya oleh konsumsi rumah tangga. Konsumsi rumah tangga ini tidak terlepas dari peran stasiun televisi menampilkan iklan.
"Jadi selama pemulihan ekonomi sudah berjalan on the right track, saya pikir membuka peluang di sektor konsumsi dan sustainable menjaga kinerja emiten pertelevisian," ujarnya.
Sementara itu, analis PT Pilarmas Investindo Sekuritas Desy Israhyanti mengatakan, biaya penyiaran dalam TV digital lebih rendah dibandingkan TV analog. Transformasi ini juga dilihat sebagai perkembangan yang sebelumnya dialami yakni peralihan TV hitam putih ke TV berwarna di era 1980-an seiring dengan perkembangan era dan teknologi yang diyakini cukup diterima oleh masyarakat menimbang manfaatnya yang lebih baik.
“Terlebih, dalam transformasi ini stasiun TV tidak perlu membangun tower dalam satu kota atau wilayah siaran sebab sudah ada perangkat multipleksing. Sehingga, potensi efisiensi terlihat cukup besar,” ujarnya kepada TrenAsia.com.
Dirinya melihat program ASO tersebut tidak begitu berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan mengingat pendapatan emiten media lebih banyak dari pendapatan iklan seperti yang terjadi pada SCMA. Kinerja penjualan SCMA di kuartal III-2022 tumbuh sebesar 13% menjadi Rp4,9 triliun. Namun, dari sisi bottom line terlihat penurunan sebesar -22% dengan margin laba bersih sebesar 17%. Beban program dan penyiaran pun mengalami kenaikan sebesar 32% menjadi Rp2,7 triliun.
Kalau dibandingkan dengan tahun lalu di mana masih dalam keadaan lockdown yang meningkatkan akses siaran Televisi, memang terlihat angka base yang cukup besar. Hanya saja, tren margin laba bersih memang dalam tren penurunan.
Dirinya melihat bahwa emiten media televisi perlu melakukan banyak inovasi di tengah program ASO ini dan pandai melihat peluang serta meningkatkan produk OTT yang saat ini banyak digemari masyarakat sebagaimana perubahan pola perilaku dalam konsumsi media.