<p>Menteri BUMN Erick Thohir saat berkunjung ke pabrik farmasi PT Indofarma Tbk (INAF) yang memproduksi obat Ivermectin / Dok. Kementerian BUMN</p>
Nasional

Suntikan Dana PMN Melambung, Belanja Kebutuhan Publik Jadi Korban

  • Suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tinggi dinilai bakal merugikan kebutuhan esensial bagi masyarakat.

Nasional
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tinggi dinilai bakal merugikan kebutuhan esensial bagi masyarakat. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra P.G Talattov menyebut dana PMN tersebut tidak membawa dampak signifikan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat di tengah pandemi COVID-19.

 “PMN ini nilainya tinggi dan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) kita terbatas, jadi ada belanja yang ditujukan untuk publik yang harus dikurangi,” kata Abra kepada TrenAsia.com, Rabu, 14 Juli 2021.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengucurkan dana PMN tambahan Rp33,9 triliun. Sementara itu, total PMN pada 2022 yang diusulkan Menteri BUMN Erick Thohir menembus Rp72,45 triliun.

Meski kucuran dana PMN ini jumbo, Abra mengindikasikan kontribusi BUMN terhadap untuk memfasilitasi kebutuhan esensial publik. Hal ini tampak dari upaya komersialisasi vaksin COVID-19 melalui program vaksinasi gotong royong oleh PT Kimia Farma Tbk (KAEF).

“PMN ini seharusnya bisa menjadi tambahan untuk memaksimalkan kontribusi BUMN terhadap publik, terlebih untuk penanganan pandemi. Bahkan setelah disuntik PMN, BUMN farmasi kita masih coba komersialisasi vaksin COVID-19,” ujar Abra.

Padahal, induk usaha Kimia Farma, PT Bio Farma (Persero) tercatat telah menerima PMN sebesar Rp2 triliun pada 2020. Hal itu termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 80 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara RI ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan PT Bio Farma.

Bermasalah

Skema pemberian PMN yang dikucurkan pemerintah pun dinilai Abra bermasalah. Pasalnya, pemberian dana PMN itu hanya berbasis kebutuhan perusahaan pelat merah saat itu saja tanpa memberikan evaluasi dari pemberian dana PMN sebelumnya.

“Pemaparan dari pemerintah itu hanya memberikan pernyataan BUMN ini butuh dana sekian untuk mengembangkan bisnis atau ada masalah. Tapi tidak dilihat bagaimana kontribusi PMN yang sempat diberikan pemerintah pada tahun-tahun sebelumya, hasilnya apa dan pengaruhnya bagaimana, itu tidak tampak,” ujar Abra. 

Abra menilai pemberian PMN jumbo itu mempersulit misi defisit APBN kembali ke level 3% pada 2022. Pasalnya, PMN yang digelontorkan sebagian besar dialokasikan untuk program padat modal yang hasilnya baru bisa terasa pada jangka panjang. 

“Proyek-proyek penugasan itu banyak yang padat modal, dana PMN nya baru bisa terasa imbalnya dalam jangka panjang. Tapi dalam jangka pendek dan menengah, itu BUMN menanggung kerugian dan utang, ini ujung-ujungnya APBN juga yang menanggung,”  ucap Abra

Kondisi ini semakin pelik karena sebanyak 90% bisnis BUMN terganggu akibat pandemi COVID-19. Melihat kondisi ini, APBN pun semakin menanggung beban berat untuk menjaga perusahaan pelat merah agar tetap sehat.

Menurut data yang dihimpun Trenasia.com, Pemerintah setidaknya telah menggelontorkan dana PMN sebesar Rp147 triliun sepanjang 2011-2020.  Pada periode sebelum pandemi COVID-19 itu, BUMN telah menyetorkan dividen hingga Rp388 triliun untuk tahun buku 2011-2020.

Kontribusi BUMN pada periode 2011-2020 paling banyak berasal dari perpajakan, yakni Rp1.872 triliun. Sementara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp1.035 triliun