Surat dari Washington: Pemilu, Batagor dan Poco-Poco
- Pemungutan suara di luar negeri telah beberapa hari sebelum pelaksanaan di Indonesia. Tidak seperti di dalam negeri, memberikan suara di negara l
Kolom
Pemungutan suara di luar negeri telah beberapa hari sebelum pelaksanaan di Indonesia. Tidak seperti di dalam negeri, memberikan suara di negara lain memiliki tantangan tersendiri. Tidak hanya memilih, momentum ini dijadikan orang-orang Indonesia untuk bertemu dengan saudara sebangsa.
Bagaimana kesan mencoblos di luar negeri, berikut tulisan ringan dari Nurhadi Sucahyo yang dikirim untuk TrenAsia. Sosok yang akrab dipanggil NHD iniyang sedang bekerja di Washington DC sebagai jurnalis Voice of Amerika (VOA). Mari simak tulisannya
Sebenarnya saya tidak terlalu bergairah menggunakan hak pilih dalam Pemilu 2024. Tetapi, mertua di tanah air berpesan, tentunya lewat istri, agar mencoblos agar hak suara yang dimiliki tidak hilang. Maka jadilah, 10 Februari 2024, saya dan istri datang ke Wisma Indonesia di Washington DC.
Wisma Indonesia ini ada di jalan Tilden SW 2700. Mudah dijangkau dengan kendaraan umum. Juga tersedia parkir yang luar untuk mobil pribadi. Bangunan tua yang indah ini berdiri di tanah, yang kabarnya seluas sekitar 1,3 hektar. Areanya tepat di tanah meninggi, sehingga dari rumah bersama orang Indonesia di Amerika Serikat ini, kita bisa melihat kawasan sekitar.
Sabtu pagi yang dingin dengan suhu kurang dari 10 derajat. Ketika saya tiba di Tilden, suasana belum begitu ramai. Daya tarik utama datang ke TPS sebenarnya bukan memilih. Bagi sebagian orang, atau mungkin mayoritas, justru ini didatangi karena ada food truck makanan Indonesia, dan kesempatan ketemu saudara sebangsa dalam jumlah cukup banyak.
Antara nyoblos atau makan dulu. Akhirnya malah sholat luhur duluan. Saya berjamaah dengan Pak Andang Purnama, Ketua Panitia Pemungutan Luar Negeri (PPLN) di Washington DC. Waktu dia tanya kenapa sholat dulu, saya jawab biar tidak salah milih presiden. Dia tertawa.
Belum banyak yang datang di tengah hari. Ada sekitar 1200 surat suara disediakan, baik bagi mereka yang terdaftar, pemilih pindahan, maupun yang asal datang dengan harapan kebagian sisa surat suara. Sewaktu rekapnya keluar, hasilnya cukup mengecewakan. Hanya 730 orang yang datang ke TPS 001 dan 002, yang meski nomornya beda tapi ada di satu tempat. Lebih 500 surat suara akhirnya tidak terpakai.
Milih di luar negeri memang tidak gampang. Di kampung halaman, paling cukup jalan kaki ke lapangan badminton atau halaman rumah Pak RT. Di Amerika Serikat, bagi mereka yang memutuskan untuk datang ke TPS, ada yang mesti menempuh perjalanan 2-3 jam. Kalau malas sejak awal, ada pilihan mengirim surat suara lewat pos. Jadi tantangannya banyak. Berat di ongkos, waktunya panjang, suhu tidak bersahabat karena dingin, sudah begitu pilihannya cuma tiga pasangan itu saja.
Enggak ada serangan fajar lagi. Lagipula kalau ada, misal dapat amplopan Rp100.000 dari timses ditukar dollar baru dapat US$6,5 an dolar. Duit segitu dapat apa.
Tidak jauh dari TPS, ada beberapa food truck yang menjual makanan asli Indonesia. Batagor saja, yang paling sederhana harganya US$11 dollar atau sekitar Rp170.000 Menu lain yang standar, macam sate padang atau nasi campur, dibanderol US$14 dollar (sekitar Rp220.000). Air putih atau teh kotak kecil US$2 dollar. Minimal makan US$16 dollar lah. Butuh tiga amplop serangan fajar hanya agar bisa makan nasi, daging rendang dan potongan mentimun. Belum ongkos jalan.
Tetapi, ya itu tadi, nyoblos sekalian silaturahmi. Ibu-ibu menari bersama poco-poco, bapak-bapak gantian karaokean, mulai lagunya Didi Kempot sampai pop era 80-an.
Kumpul-kumpul begini, menghapus kangen jadi orang Indonesia. Rasa mangkel karena coblosan lima tahun sekali yang enggak mengubah nasib bangsa, bisa sedikit terobati.
Sudahlah. Ambil semua yang ada dari Sabang sampai Merauke. Kita kebagian rendang sama poco-poco aja sudah seneng…