<p>Buceng Agung atau Buceng Utama dalam tradisi Larung Telaga Ngebel merupakan acara rutin yang digelar masyarakat Ponorogo sebagai ungkapan rasa syukur dan pertanda tanggal 1 Suro atau 1 Muharam di Objek Wisata Telaga Ngebel Ponorogo, Jawa Timur. / Foto: Pemkab Ponorogo</p>
Gaya Hidup

Tahun Baru Islam: Menelisik Sejarah Perbedaan Antara 1 Muharam dan 1 Suro

  • Kala itu sang Sultan memiliki inisiatif untuk memadupadankan penanggalan Hijriah dengan tarikh Saka yang merupakan kalender perpaduan Jawa asli dengan Agama Hindu.

Gaya Hidup

Drean Muhyil Ihsan

JAKARTA – Hadirnya tanggal 1 Muharam pada kalender Hijriah menandakan masuknya Tahun Baru Islam. Pada dasarnya, 1 Muharam merupakan hari peringatan hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, 1.442 tahun lalu. Sejalan dengan peristiwa tersebut, ditetapkanlah tanggal 1 Muharam sebagai awal lahirnya penanggalan Islam.

Di Indonesia, tanggal 1 Muharam kerap kali disebut 1 Suro, khususnya bagi sebagian masyarakat Jawa. Hal ini ternyata karena adanya korelasi antara penanggalan Jawa dengan kalender Hijriah.

Sekitar abad 16, Kerajaan Mataram telah mengenal ajaran Islam. Tampuk kepemimpinan saat itu dipegang oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma yang memang telah memeluk agama Islam.

Pada zaman tersebut, sebagian besar masyarakat Jawa pesisir telah mengenal penanggalan Islam atau Hijriah yang diawali dengan bulan Muharam. Namun kala itu, sang Sultan memiliki inisiatif untuk memadupadankan penanggalan Hijriah dengan tarikh Saka yang merupakan kalender perpaduan Jawa asli dengan Agama Hindu.

Bukan tanpa maksud, Sultan Agung mengambil keputusan itu sebagai upaya untuk menyatukan kaum Abangan (Kejawen) dan Putihan (Islam) yang pada saat itu terancam pecah. Dalam kepecayaan Kejawen sendiri, bulan Suro memang dianggap istimewa.

Sejak saat itulah 1 Suro dimaknai sebagai bulan pertama dalam sistem kalender Jawa-Islam. Uniknya lagi, sistem penanggalan kalender Saka berbasis lunar atau matahari, sementara Hijriah melalui pergerakan bulan. Maka dari itu, ada beberapa pendapat yang menganggap keduanya tidak dapat disatukan.

Warga membawa obor saat pawai peringatan malam 1 Muharram 1442 H di kawasan Rempoa, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Rabu, 19 Agustus 2020 malam. Kegiatan Gema Muharram tersebut diisi dengan berbagai kegiatan lomba, pawai obor dan permainan tradisional sepakbola api yang rutin diadakan warga untuk menjaga kerukunan dan menyambut pergantian Tahun Baru Islam. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Muharaman

Pada saat menyambut Tahun Baru Hijriah, umat Islam di dunia biasanya menjalankan tuntunan sunah untuk memperbanyak zikir dan doa. Bulan Muharam juga biasa disebut Muharaman, bulannya Allah.

Ada amalan spesial untuk umat muslim di bulan mulia ini, yaitu puasa Tasua dan Asyura. Puasa sunah Tasua biasa dilaksanakan pada tanggal 9 Muharam, sedangkan puasa sunah Asyura dikerjakan keesokan harinya, yaitu 10 Muharam.

Hal ini sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:

“Puasa yang paling utama sesudah puasa Ramadan adalah puasa pada bulan Allah Muharam. Sedangkan salat malam merupakan salat yang paling utama sesudah salat fardhu.” (H.R Muslim Nomor 1982)

Puncak Acara Malam 1 Suro di Keraton Kasunanan Surakarta adalah dengan Kirab Kerbau Bule yang dilakukan menjelang pukul 00.00 WIB. Sebanyak Sembilan ekor kerbau bule keturunan Kyai Slamet dikirab sepanjang 7 kilometer dengan diiringi kirab sejumlah pusaka yang dibawa oleh para abdi dalem. / Surakarta.go.id

Malam 1 Suro

Ketika mendengar malam 1 Sura (dibaca: Suro), masyarakat cenderung menanggapinya dengan sesuatu yang mistis. Betul saja, sebagian penganut Kejawen mengisi waktu malam 1 Suro dengan beberapa tradisi yang identik dengan suasana sakral dan berbau gaib.

Hal ini dikarenakan beberapa masyarakat Jawa meyakini bulan Suro merupakan bulannya makhluk gaib dan dipenuhi oleh bencana. Sehingga, tak jarang penganut Kejawen yang menyucikan diri beserta benda-benda pusakanya pada malam 1 Suro.

Bahkan sejumlah keraton dari Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, hingga Kasepuhan Cirebon memiliki tradisi masing-masing untuk merayakan 1 Suro.

Keraton Surakarta misalnya, pada malam 1 Suro akan melaksanakan Kirab Kebo Bule (pawai kerbau putih) yang dianggap keramat. Tak hanya itu, biasanya Keraton Surakarta juga memandikan pusaka-pusaka milik kerajaan pada malam tersebut.

Di Keraton Jogja, para abdi dalem (pelayan kerajaan) akan melakukan tradisi Mubeng Beteng tiap kali datang malam 1 Suro. Ratusan abdi dalem melakukan ritual keliling keraton diikuti oleh sejumlah warga tanpa bersuara atau berbicara.

Dari segi implementasi, memang antara 1 Muharam dan 1 Suro ada perbedaan. Namun dalam sejarah tercatat bahwa Sultan Agung kala itu berusaha menyatukan dua kubu yang berbeda keyakinan dengan cara menyatukan sistem penanggalan. Artinya kita harus menghargai itu.

Lagipula, semua itu merupakan bukti kekayaan budaya bangsa kita. Yang terpenting, masyarakat Indonesia dapat hidup berdampingan sekali pun di tengah perbedaan. (SKO)