tembakau.jpg
Nasional

Tak Etis dan Diskriminatif, Materi PP Kesehatan Memberatkan Pedagang

  • Ketua Umum PERPEKSI, Junaidi, menyatakan aturan larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain adalah aturan yang sangat rancu untuk diberlakukan kepada pelaku usaha.

Nasional

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Perkumpulan Pengusaha Kelontong Seluruh Indonesia (PERPEKSI) mengkritisi keras aturan tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang telah disahkan Presiden pada 26 Juli lalu.

Ketua Umum PERPEKSI, Junaidi, menyatakan aturan larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain adalah aturan yang sangat rancu untuk diberlakukan kepada pelaku usaha. Ia menilai aturan tersebut sebagai masalah besar karena menitikberatkan pelarangan hanya kepada pelaku usaha perseorangan.

Perlakuan pelarangan kepada pedagang warung kelontong ini dapat memberikan perlakuan yang berbeda pada satu pedagang dengan pedagang lainnya dan imbasnya menjadi timpang sekali kepada anggota PERPEKSI di seluruh wilayah. Apalagi, warung kelontong umumnya adalah usaha mikro dan ultra-mikro. Maka, aturan ini dinilai merugikan rakyat kecil.

“Ini sangat tidak etis. Bahkan, sebelum adanya peraturan ini, banyak toko kelontong dan warung kecil lainnya yang sudah berjualan. Jaraknya pun gak selalu lebih dari 200 meter. Ini bagaimana jadinya? Masa tiba-tiba dilarang?” serunya kepada wartawan.

Junaidi melanjutkan aturan ini menjadi tidak etis karena kurangnya sosialisasi dengan pelaku usaha dan asosiasi lainnya yang menjadi korban utama pelarangan tersebut. Menurutnya, awal kemunculan dari rencana aturan ini sudah menuai kritik banyak pihak, tidak hanya bagi pelaku usaha, tetapi juga bagi masyarakat yang merasakan dampaknya.

“Aturan ini jelas berisiko apalagi untuk warung kecil. Presentase penjualan rokok untuk satu warung itu bisa sampai 50-80%. Ini besar sekali dan memang produk ini adalah produk yang laku. Bisa dibayangkan kalau aturan ini dijalankan, pasti akan memberatkan kami,” terangnya.

Junaidi menekankan bahwa aturan ini memiliki dampak negatif yang signifikan bagi para pedagang. Ia mengingatkan bahwa pemerintah perlu melihat kondisi di lapangan karena banyak sekali warung kelontong yang sudah lama berjualan di dekat sekolah bahkan sebelum sekolah tersebut ada. Aturan ini menjadi sangat diskriminatif jika aturannya berimbas hanya untuk perorangan saja.

“Saat ini juga belum ada razia atau pelarangan dari pemerintah. Kalau memang dilarang atau ada razia dalam minggu ini, maka kondisinya akan chaos dan ramai menjadi masalah baru bagi para pedagang,” jelasnya.