Tak Hanya Garuda, Maskapai Penerbangan Dunia Juga Terancam Bangkrut
Maskapai penerbangan pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. harus menelan pil pahit akibat merugi US$712,72 juta setara Rp10,4 triliun (kurs Rp14.600 per dolar Amerika Serikat) hanya dalam kurun waktu enam bulan.
Industri
JAKARTA – Pandemi COVID-19 memukul keras industri penerbangan dunia yang saat ini menghadapi ancaman kebangkrutan masal, termasuk maskapai pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan pandemi COVID-19 mengancam kebangkrutan industri penerbangan, terutama maskapai di seluruh dunia termasuk Indonesia.
“Pandemi merupakan masa suram bagi berbagai bisnis, termasuk transportasi. Bahkan, transportasi dan logistik merupakan sektor terdalam yang mengalami masalah,” kata Menhub dilansir Antara, Selasa, 11 Agustus 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Budi Karya menjelaskan, transportasi udara mengalami kondisi terparah karena adanya pembatasan pergerakan penumpang, baik domestik maupun internasional. Adanya ketakutkan penumpang akan tertular COVID-19 membuat omzet merosot 30%-50%.
“Ini membuat ancaman bangkrut. Saya ambil contoh, angkutan udara secara umum, pada pandemi di industri penerbangan nasional tampak moderat pada triwulan I dan turun tajam di bulan Maret, masuk triwulan II amat berat, dan kita harapkan triwulan III makin baik,” jelas Menhub.
Terancam Bangkrut
Ancaman kebangkrutan maskapai ini juga terjadi di sejumlah negara. Menhub mencontohkan, maskapai penerbangan Virgin Australia dan Thai Airways meminta dana talangan kepada pemerintah agar bisa bertahan.
“Dua maskapai Eropa, Luthfansa dan Air France Prancis terancam gulung tikar. Kemudian Thai Airways lakukan penggantian operasi bulan ini karena lockdown di Thailand,” kata Menhub.
Sektor lain yang tak kalah terganggu, menurut dia, adalah sektor logistik yang basisnya adalah transportasi. “Dengan pemberhentian perusahaan penerbangan, biaya kargo pun meningkat dan ganggu sektor logistik,” imbuhnya.
Kedua sektor itu, sambungnya, juga berkontribusi ke pertumbuhan ekonomi yang terkoreksi minus 5,32%. Kemudian, sektor pariwisata yang juga mengalami imbas dari pandemi COVID-19, namun saat ini Bali mulai dibuka dan kembali bangkit.
Budi Karya mengatakan, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang terdampak perekonomiannya. Negara maju seperti Amerika Serikat juga menghadapi masalah yang sama.
“Kita tidak bisa menyerah, maka harus move on dengan kegiatan terukur untuk dorong transportasi yang menjunjung protokol kesehatan,” kata Menhub.
Penyesuaian pun banyak dilakukan, di antaranya pembelian tiket secara daring dan penerapan protokol kesehatan di masa normal baru ini.
Rugi Garuda Bengkak
Maskapai penerbangan pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. harus menelan pil pahit akibat merugi US$712,72 juta setara Rp10,4 triliun (kurs Rp14.600 per dolar Amerika Serikat) hanya dalam kurun waktu enam bulan.
Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan di PT Bursa Efek Indonesia, Kamis, 30 Juli 2020, kinerja Garuda berbanding terbalik dengan perolehan laba pada periode semester I-2019.
Tahun lalu, Garuda masih mampu membukukan laba bersih yang dapat diatribusikan kepada entitas induk senilai US$24,11 juta. Namun, pada semester I-2020, Garuda harus menderita rugi bersih tahun berjalan US$723,26 juta.
Memang, Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra baru-baru ini mengungkapkan sinyalemen kebangkrutan maskapai nasional akibat pandemi COVID-19. Sinyal kebangkrutan bahkan sudah dialami lebih dulu oleh maskapai penerbangan seluruh dunia.
“Bapak Ibu mengetahui juga banyak maskapai yang menyatakan kebangkrutan. Di dekat kita ada Thai Airways. Jadi, enggak usah terlalu kaget kalau dalam waktu dekat ada maskapai di Indonesia yang tidak tahan lagi,” kata Irfan dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi X DPR awal Juli lalu. (SKO)