5fe4957ad54ee.jpg
Nasional

Tak Kalah dengan Kartini, Ini Empat Pejuang Perempuan yang Pernah Ada di Indonesia

  •  JAKARTA- Tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini. Mengambil dari hari lahir pejuang emansipasi Indonesia RA Kartini, Hari Kartini kini menjadi s
Nasional
Rizky C. Septania

Rizky C. Septania

Author

JAKARTA- Tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini. Mengambil dari hari lahir pejuang emansipasi Indonesia RA Kartini, Hari Kartini kini menjadi simbol perjuangan perempuan di Indonesia dalam memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia.

Selain Kartini, rupanya ada sejumlah tokoh wanita hebat yang berkontribusi dalam catatan sejarah Indonesia.Seperti dirangkum TrenAsia.com dari berbagai sumber, berikut daftarnya:

1. Keumalahayati

Keumalahayati atau dikenal dengan Laksamana Malahayati adalah salah satu pejuang asal Kesultanan Aceh yang hidup pada abad ke-16.

Ia masih memiliki kekerabatan dengan Kesultanan Aceh pada masa itu. Ayah dan kakeknya merupakan Panglima Angkatan Laut dari Kesultanan Aceh. Tak heran jika Malahayati ikut rekam jejak orangtuanya dengan menempuh pendidikan angkatan laut di Baitul Maqdis.

Pada 1585–1604, dia memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.

Perjuangan Malahayati membela tanah airnya berawal ketika pertempuran di Teluk Haru antara Kesultanan Aceh dan pasukan Portugis pecah. Dalam pertempuran tersebut, suami Malahayati Laksamana Zainal Abidin gugur.

Setelah kepergian suami, Malahayati mengusulkan pada Sultan Aceh untuk membentuk pasukan yang terdiri dari para janda prajurit yang suaminya telah gugur dalam peperangan.

Gayung bersambut, usulan tersebut diterima dan Malahayati diangkat sebagai pemimpin pasukan tersebut yang kemudian dikenal dengan Inong Balee dengan pangkat Laksamana.

Dalam perjuangannya membela tanah kelahirannya, Laksamana Malahayati dan pasukannya bertugas melindungi pelabuhan pelabuhan dagang di Aceh.

Pada 21 Juni 1599, Laksamana Malahayati berhadapan dengan kapal Belanda yang mencoba memaksakan kehendaknya. Tak tinggal diam, Ia dan pasukannya melakukan perlawanan.

Dalam perlawanan tersebut, Cornelis de Houtman dan beberapa pelaut Belanda tewas. Sedangkan sang wakil komandan armada Belanda, Frederick de Houtman, ditangkap oleh Kesultanan Aceh.

Tak hanya pertempuran, Laksamana Malahayati juga terlibat pada perundingan antara Aceh dengan Belanda. Kala itu, perundingan dilaksanakan untuk melepaskan Frederick de Houtman yang ditangkap oleh Laksamana Malahayati.

Perdamaian pun terwujud. Frederick de Houtman dilepaskan dengan syarat Belanda harus membayar ganti rugi kepada Kesultanan Aceh. 

Tak hanya itu piawai dalam pertempuran dan perundingan, Laksamana Malahayati juga menjadi orang yang menerima James Lancaster, duta utusan Ratu Elizabeth I dari Inggris.

Laksamana Malahayati meninggal dunia pada tahun 1615. Ia dimakamkan di bukit Krueng Raya, Aceh besar. Atas perjuangannya, Laksamana Malahayati mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 9 November 2017.


2. Dewi Sartika

Dewi Sartika merupakan pejuang pendidikan yang berasal dari Jawa Barat. Ia lahir pada 4 Desember 1884 di Cicalengka dan masih keturunan bangsawan di daerah tersebut.
Di masa kanak-kanak, ia sudah mengenyam pendidikan. Bahkan, Dewi Sartika selalu bermain peran menjadi seorang guru ketika seusai sekolah bersama teman-temannya.

Setelah ayahnya meninggal, ia tinggal bersama dengan pamannya. Ia menerima pendidikan yang sesuai dengan budaya Sunda oleh pamannya, meskipun sebelumnya ia sudah menerima pengetahuan mengenai budaya barat.

Pada 16 Januari 1904, ia membuat sekolah yang bernama Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten Bandung. Sekolah tersebut kemudian direlokasi ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri pada tahun 1910.

Di sekolah tersebut, Ia mengajarkan para wanita membaca, menulis, berhitung, pendidikan agama dan berbagai ketrampilan.

Pada tahun 1912, sekolah rintisannya sudah mencapai sembilan cabang yang tersebar di seluruh Jawa Barat. Hingga pada akhirnya berkembang menjadi satu sekolah tiap kota maupun kabupaten di Jawa Barat pada tahun 1920.

Pada September 1929, sekolah tersebut berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi.[4]

Sekolah Raden Dewi berkembang dengan pesat. Namun, masa pendudukan Jepang membuat sekolah tersebut mengalami krisis keuangan dan peralatan.

Pasca kemerdekaan, kesehatan Dewi Sartika mulai menurun. Saat terjadi Agresi Militer Belanda dalam masa perang kemerdekaan, iamengungsi ke Tasikmalaya.

Dewi Sartika meninggal pada 11 September 1947 di Cineam dan dikebumikan di sana sebelum makamnya akhirnya dipindahkan ke Bandung.

3. Rasuna Said

Perempuan bernama Hajjah Rangkayo Rasuna Said adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Sama seperti Kartini, Ia gigih memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. 
Lahir di Rasuna Said lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat pada 14 September 1910, Rasuna Said dikenal sebagai sosok yang berkemauan keras dan memiliki pengetahuan yang luas.

Semasa Kecil, Ia mengenyam pendidikan Islam di Pesantren di tanah kelahirannya. Semasa sekolah, Ia pernah menjadi satu-satunya santri perempuan.

Sejak saat itu Rasuna Said sangat memperhatikan kemajuan dan pendidikan bagi kaum perempuan. Ketika membantu mengajar, ia banyak mengajarkan wanita tentang pendidikan sebagai fondasi akan kemajuan wanita di tanah Minang.

Seiring berjalannya waktu, Rasuna Said berpendapat bahwa perjuangan tidak hanya bisa dilakukan melalui jalur pendidikan. Ia pun mulai masuk ke jalan perjuangan politik. 
Dalam karirnya, ia memulai perjuangannya untuk membela kaum perempuan dengan bergabung di Sarekat Rakyat sebagai sekretaris cabang, kemudian menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia.

Rasuna Said juga sering memberikan pidato di tengah masyarakat yang isinya pesan anti kolonialisme secara terbuka dan tajam. Hal ini membuat rasuna Said menjadi wanita pejuang pertama yang dijatuhi hukuman speechdelict.

Sebagai informasi, speechdelict merupakanhukuman yang ditujukan pada orang orang yang berbicara menjelek-jelekkan atau mendesak pemerintahan Belanda di depan umum.

Rasuna Said juga dikenal dengan tulisan-tulisannya yang tajam. Pada tahun 1935 Rasuna menjadi pemimpin redaksi di majalah Raya. 
Majalah ini dikenal radikal, bahkan tercatat menjadi tonggak perlawanan di Sumatera Barat. Namun kala itu, Polisi Rahasia Belanda (PID) mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawan.

Pada tahun 1932, Rasuna Said dan kelompoknya ditangkap dan dipenjara oleh pemerintah Belanda karena kemampuan dan cara berpikirnya yang kritis.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Rasuna Said masih melanjutkan perjuangannya. Ia tercatat aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia.

Rasuna Said juga duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS). Setelah itu, ia juga menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Rasuna Said meninggal pada 2 November 1965 di umur 55 tahun. Pada tanggal 13 Desember 1974, ia pun diangkat menjadi pahlawan nasional.

 

4. Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut yang lahir di Nusa Laut, Maluku, 4 Januari 1800.
Saat berusia 17 Tahun, Ia ikut serta melawan penjajah Belanda bersama dengan sang ayah, Kapitan Paulus Tiahahu.

Sebagai informasi, ayahnya  merupakan tangan kanan pahlawan Nasional Thomas Matulessy atau Pattimura yang berperang melawan Belanda pada tahun 1817.

Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik. Sebab, ia merupakan seorang  remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda.  

Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekwen terhadap cita-cita perjuangannya.

Martha yang masih gadis selalu ikut mengambil bagian dan pantang mundur sejak awal perjuangan.

Perjuangannya harus terhenti ketika terjadi pertempuran sengit di  Pulau Saparua. Meski bertempur dengan heroik bersama para pejuang rakyat, akhirnya mereka terpaksa harus bertekuk lutut.

Kurangnya persenjataan, tipu daya musuh dan pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman menjadi penyebab utama kekalahan mereka dalam pertempuran. 

Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya di Kapal Eversten saat akan diasingkan ke Pulau Jawa. Jenazah Martha Christina Tiahahu disemayamkan dengan penghormatan militer ke Laut Banda.