<p>Ilustrasi kerja sama bank dengan financial technology / ScienceSoft</p>
Industri

Tak Lagi Kompetisi, Bank Kini Kolaborasi Gandeng Financial Technology

  • Kolaborasi dinilai dapat memperbaiki profil risiko kredit bank. Sebab, mekanisme kedua sektor tersebut berbeda, seperti bank yang masih kaku menggunakan cara profesional, sementara fintech telah menggunakan teknologi big data dan artificial intelligence (AI) untuk menyeleksi calon debitur.

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Tak dapat dielak, kehadiran teknologi yang semakin canggih membawa perubahan bagi lanskap bisnis di sektor jasa keuangan. Industri inipun dituntut untuk beradaptasi dan berinovasi dalam memberikan produk dan layanan bagi masyarakat.

Terlebih di tengah situasi pandemi, tantangan yang dihadapi industri keuangan semakin besar. Pasalnya, hampir seluruh elemen masyarakat membatasi mobilitasnya di luar rumah, yang kemudian berdampak pada perkembangan ekonomi.

Tercatat, permintaan dan konsumsi masyarakat menurun drastis dibandingkan dengan sebelum pandemi. Data Bank Indonesia (BI) per September 2020 memperlihatkan indeks purchasing manufactur index (PMI) sebesar 47,2. Angka tersebut melemah empat poin ketimbang 50,8 pada Agustus 2020.

Meskipun demikian, pandemi juga membawa perubahan tren terhadap model transaksi masyarakat. Semula dilakukan secara tunai, sekarang hampir seluruhnya melalui digital.

Perkembangan yang dilaporkan BI, nilai transaksi uang elektronik (UE) terus tumbuh menjadi 33,8% year-on-year (yoy) per Agustus 2020. Angka tersebut naik dibandingkan dengan 24,42% yoy per Juli 2020.

Hal ini sejalan dengan volume transaksi digital banking yang juga mengalami kenaikan sebesar 52,69% yoy pada Agustus 2020, meningkat dari capaian bulan sebelumnya sebesar 38,81% yoy.

Ilustrasi belanja online di e-commerce. / Shutterstock
Gaya Hidup Bergeser

Menurut Gubernur BI Perry Warjiyo, peningkatan tersebut tak lain disebabkan oleh pergeseran preferensi masyarakat yang beralih ke instrumen digital. Namun, seperti yang dapat diprediksi, peningkatan transaksi digital berimbas pada penurunan nilai transaksi non tunai melalui ATM, kartu debet, dan kartu kredit menjadi sebesar 6,86% yoy pada Agustus 2020. Padahal bulan sebelumnya pertumbuhan yang terjadi masih 13,94% yoy.

Sementara itu, Uang Kartal Yang Diedarkan (UYD) masih mengalami pertumbuhan dari 6,82% yoy pada Agustus 2020, menjadi 7,02% yoy pada September 2020. Adapun nilai peredaran uang yang tercatat sebesar Rp762,1 triliun.

Namun, secara keseluruhan indikator tersebut masih menandakan bahwa permintaan masyarakat belum pulih. Perkembangan baru terjadi sebatas pada pertumbuhan sistem pembayaran, yang belum begitu berdampak pada pemulihan ekonomi.

Dalam hal ini, beberapa strategi diupayakan oleh pemerintah demi mendorong konsumsi masyarakat, baik melalui stimulus kebijakan, bantuan sosial (bansos), maupun penempatan dana di perbankan.

Dengan anggaran mencapai Rp78 triliun, pemerintah meminta sejumlah bank yang ditunjuk untuk menyalurkan dalam bentuk kredit, disertai ekspansi tiga kali lipat dari nominal yang diberikan.

Namun, kredit yang disalurkan melalui bank konvensional saja agaknya kurang maksimal. Sebab, target utama yang dibidik oleh pemerintah adalah segmen mikro dan ultamikro. Sementara itu, masih banyak pangsa pasar yang unbankable alias tak terjamah oleh bank.

Co-Founder & CEO PT Investree Radhika Jaya Adrian Gunadi yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) / Investree.id
Bantu Perbankan

Apabila melihat tren keuangan digital saat ini, kehadiran financial technology atau fintech dinilai dapat membantu kinerja bank dalam menyalurkan kredit.

Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum lama ini memberikan lampu hijau terkait penyaluran stimulus pemulihan ekonomi nasional (PEN) melalui fintech peer-to-peer lending (fintech P2P lending).

Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Tris Yulianta mengatakan, pihaknya sudah memberikan rekomendasi terkait penyaluran dana PEN yang akan dilakukan oleh pelaku fintech lending kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Kendati demikian, Tris berpendapat ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi entitas fintech lending yang berhak menyalurkan dana PEN tersebut. Misalnya, status izin dari OJK, pertumbuhan pembiayaan dan kualitas pembiayaan dari perusahaan tersebut.

“Kami sebagai regulator akan selektif memilih platfom fintech lending yang akan ditetapkan untuk bekerja sama dengan pemerintah,” ungkapnya.

Sebab, kata dia, data statistik pengawasan OJK memperlihatkan bahwa pelaku fintech lending yang secara optimal menguasai pangsa pasarnya baru 20%.

Materi diskusi tampak dilayar komputer peserta pada Seminar Nasional Daring kerjasama KADIN Indonesia dan AFPI di Jakarta, Kamis, 3 September 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Potensi fintech

Meskipun demikian, industri yang belum lama muncul di Tanah Air ini selalu mencatat pertumbuhan yang signifikan. Akumulasi pertumbuhan kredit yang disalurkan fintech mencapai Rp116,97 triliun per Juli 2020.

Angka tersebut naik 134,91% yoy dibandingkan dengan akhir tahun lalu yang sebesar Rp81,49 triliun. Rinciannya, senilai Rp100,32 triliun disalurkan di wilayah Jawa, sedangkan Rp16,65 triliun di luar Jawa.

Di samping itu, jumlah akumulasi rekening peminjam (borrower) secara nasional juga melejit 164,46% yoy atau sebanyak 25.768.329 entitas. Pun dengan jumlah rekening pendana (lender) yang naik 32,15% yoy atau sebanyak 659.186 entitas.

Lain halnya dengan perbankan, sektor keuangan yang satu ini sangat terdampak oleh pandemi. Saat ini, hampir semua bank mengalami pelemahan kredit. Berdasarkan laporan BI, pertumbuhan kredit perbankan pada September 2020 kembali mengalami penurunan. Penyaluran kredit bank tercatat rendah sebesar 0,12% yoy, angka tersebut lebih kecil dibandingkan dengan 1,04% yoy pada bulan sebelumnya.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai, sektor perbankan dapat memanfaatkan potensi besar dari fintech melalui kolaborasi penyaluran kredit. Hal itu dapat menjadi channeling untuk segmen konvensional yang masih belum terjamah oleh bank.

“Bank bisa melakukan channeling pada segmen tidak terjamah sebelumnya, misalnya pinjaman yang kecil, itu bisa disasar oleh fintech P2P Lending,” ujar Bhima saat dihubungi TrenAsia.com, Selasa, 13 Oktober 2020.

Ketua AFPI terpilih Adrian Gunadi mengikuti sidang virtual MUNAS AFPI 2020 di Jakarta, Rabu, 30 September 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Saling Mengisi

Senada dengan pernyataan tersebut, ekonom senior Indef Aviliani juga menyebut bahwa kolaborasi tersebut dapat menimbulkan dampak positif yang saling menguntungkan.

Menurutnya, fintech memiliki kelebihan dapat menyalurkan segmen unbankable, akan tetapi industri ini tidak mudah dalam menggaet sumber dana. Oleh karena itu, dengan adanya koordinasi antarelemen bank dengan fintech, kedua pihak bisa sama-sama mengambil keuntungan.

Fintech bisa mendapat fee dari bank, begitu pula bank juga tetap mendapat bunga,” ungkap Aviliani.

Pendanaan fintech, lanjutnya, bukan merupakan sesuatu yang mudah karena setiap orang belum tentu memberikan kepercayaan penuh untuk menaruh alias menginvestasikan dana di sektor pembiayaan ini.

“Hadirnya bank dapat mempermudah pendanaan fintech,” sebutnya.

Meskipun demikian, pelaksanaannya harus dijalankan dengan hati-hati. Terlebih persepsi fintech yang masih terkesan kurang positif di masyarakat. Misalnya dalam penagihan, membuat image-nya menjadi sedikit minus.

Debt collector di fintech ‘kan biasanya melebihi perbankan dari cara penagihannya,” ungkap Aviliani.

Hal positif lainnya, kolaborasi tersebut juga dinilai dapat memperbaiki profil risiko kredit bank.  Sebab, mekanisme kedua sektor tersebut berbeda, seperti bank yang masih kaku menggunakan cara profesional, sementara fintech telah menggunakan teknologi big data dan artificial intelligence (AI) untuk menyeleksi calon debitur.

“Sehingga ketika dikombinasikan, tingkat risiko kredit bisa diminimalkan,” ujarnya.

Ilustrasi Fintech pinjaman online atau kredit online ilegal. / Foto: Modalrakyat.id
Waspadai Risiko

Meskipun potensi kerja sama tersebut besar, Bhima pun menjelaskan sejumlah efek negatif yang kemungkinan dihadapi oleh perbankan. Karena sektor fintech adalah mikro dan ultramikro, maka risiko yang muncul juga lebih besar ketimbang perbankan.

Hal ini berkaitan dengan ketatnya persaingan dengan perusahaan fintech asing atau maupun yang mendapat pendanaan dari investor asing.

“Dilihat dari sisi ekosistem, infrastruktur mereka tentu lebih baik,” sebut Bhima.

Kemudian, kekhawatiran lain juga timbul terkait data. Kolaborasi yang melibatkan data dan informasi penting dari debitur, menjadi rentan dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan lain di luar pinjaman.

Integrasi data dengan end user yang dilakukan oleh fintech, membuat informasi nasabah menjadi riskan bocor kepada pihak ketiga. “Risiko seperti ini yang harus di-manage oleh bank,” katanya.

Dalam hal keamanan data, ia menilai bank konvensional tetap lebih baik karena peraturan dan regulasi yang mengikat lebih ketat ketimbang fintech.

Namun, secara keseluruhan potensi kerja sama keduanya cukup besar, terlebih lemahnya penyaluran kredit juga dibarengi dengan kenaikan jumlah simpanan alias dana pihak ketiga (DPK) di bank.

“DPK September ini telah mencapai 12,88%, naik dari Agustus 2020 sebesar 11,64% sehingga bank pun juga harus membuat channeling untuk menyalurkan pinjaman,” ungkap Bhima. Di sisi lain, fintech juga dapat berperan untuk melakukan pendalaman di pasar keuangan.

Ia menambahkan, bank dapat memaksimalkan kerja sama ini dengan beberapa cara. Pertama, melalui anak usaha atau modal ventura, bank dapat mengakuisisi saham fintech yang sudah terbukti bagus dalam hal penyaluran pinjaman maupun kualitas pinjaman.

Kedua, bank bisa berinvestasi kepada fintech yang masih kecil sehingga perusahaan tersebut dapat menjadi pelengkap layanan perbankan.

Ketiga, teknologi-teknologi di fintech, seperti AI, big data, mekanisme credit scoring, dan user experience, dapat dimanfaatkan perbankan untuk keperluan penetrasi kredit.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso. / Facebook @official.ojk
Dorong Regulator

Berjalannya kerja sama tersebut dianggap perlu mendapatkan dukungan dari regulator sebagai pengawas. OJK pun didorong untuk segera mengeluarkan kebijakan terkait arsitektur sistem keuangan, yang dapat menjangkau fintech, termasuk di dalamnya sistem pembayaran.

Diketahui, belum lama ini OJK telah memperbarui dan menambah aturan main industri fintech, meskipun aturannya masih dalam tahap rancangan.

Direktorat Pengaturan, Perizinan, dan Pengawasan Fintech OJK melakukan perubahan nama atas Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI) menjadi Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI).

Dalam Rancangan POJK ini terdapat 11 poin perubahan serta 22 poin tambahan dalam POJK sebelumnya. Pembaharuan dilakukan karena banyaknya sejumlah pengaturan yang masih belum diatur dan perlu untuk diatur dalam sebuah peraturan yang setingkat dengan POJK.

Selain itu, hal ini juga dinilai sebagai upaya mengikuti perkembangan industri fintech lending di Tanah Air serta melakukan perubahan terhadap peraturan yang tidak efektif dan sesuai dengan perkembangan industri.

Deretan bank-bank yang berkolaborasi dengan fintech
1. Bank Mandiri

Selain menyalurkan kredit dengan skema konvensional, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) bekerja sama dengan beberapa fintech, seperti Investree, Koinworks, Akseleran, Amartha, dan Crowde.

Perseroan pun menargetkan penyaluran kredit dari dana PEN tak tanggung-tanggung, yakni mencapai Rp400 miliar sampai akhir 2020.

Pertimbangan dalam pemilihan fintech tersebut, salah satunya dilihat dari keberhasilan menyalurkan kredit. Investree, misalnya, angka Tingkat Keberhasilan Bayar pada hari ke-90 atau umum disebut TKB90 tercatat sangat bagus, mendekati level 100%.

Direktur Bisnis dan Jaringan Bank Mandiri Aquarius Rudianto mengatakan, skema channeling dapat membantu ekspansi bank, lantaran fintech memiliki infrastruktur digital yang memudahkan dalam penyaluran kredit.

“Terutama di masa pandemi, penyaluran kredit lewat fintech memiliki potensi besar,” ujarnya beberapa waktu lalu.

2. Bank Central Asia

Bank swasta terbesar di Tanah Air, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), bekerja sama dengan fintech Modalku dalam menyalurkan kredit UMKM sejak awal tahun 2020. Pinjaman modal usaha yang diberikan kepada setiap borrower mencapai Rp2 miliar yang diberikan tanpa agunan.

Bagi bank besar seperti BCA, memang diakui cukup sulit menyalurkan kredit pada sektor UMKM lantaran segmen kreditnya adalah kelas menengah dan korporasi.

Oleh karena itu, kolaborasi ini diharapkan dapat semakin memperluas jangkauan segmen UMKM pada debitur atau nasabah BCA.

3. Bank OCBC NISP

Untuk menyalurkan pembiayaan rantai pasok atau supply chain kepada UMKM, PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP) menggandeng PT Simplefi Teknologi Indonesia dengan fintech AwanTunai.

Setelah entitas bisnis perseroan, yakni PT OCBC NISP Ventura resmi beroperasi pada awal tahun ini, kerja sama pembiayaan dengan fintech terus dikembangkan sebagai bagian jangka panjang dalam penetrasi layanan finansial.

Kendati tak disebutkan jumlahnya, kerja sama ini dianggap dapat mempercepat penyaluran kredit, terutama di masa pandemi.

4. Bank Danamon

Melalui skema yang sama dengan bank lain, yakni loan channeling, PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN) menggandeng Investree untuk penyaluran kredit usaha.

Wakil Direktur Utama Bank Danamon Michellina Triwardhany mengatakan, skema tersebut dapat memudahkan para nasabah menerima akses cepat dari layanan pinjaman online dengan plafon pinjaman yang lebih tinggi layaknya kredit perbankan.

“Bahkan, nasabah dapat mengajukan pinjaman Rp200 juta hingga Rp2 miliar,” katanya.

5. Bank Sahabat Samporna

Tak disebutkan nominalnya, PT Bank Sahabat Sampoerna juga mengandalkan fintech dalam mengembangkan bisnisnya, yakni melalui perusahaan UangTeman.

VP Corporate Finance & Investor Relations UangTeman Irfan Sidik mengatakan, jumlah pendanaan cukup signifikan. Ia sendiri berharap dapat membantu masyarakat kecil yang akan memulai usaha melalui pendanaan tersebut.

“Kami berharap kerja sama dengan Bank Sampoerna ini dapat segera membantu masyarakat yang membutuhkan dana untuk membuka usaha di tengah pandemi,” tambahnya. 

Selain memiliki izin dan diawasi oleh OJK, UangTeman juga telah bekerja sama dengan beberapa lembaga pemerintah seperti BPJS Ketenagakerjaan, Dukcapil, serta Peruri untuk verifikasi data dan perjanjian digital.

6. BPD Jawa Timur

PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Timur Tbk (BJTM) menggandeng Amartha dengan memberikan pendanaan sebesar Rp500 miliar. Anggaran tersebut dikucurkan untuk disalurkan kepada pelaku UMKM perempuan di wilayah Jawa Timur.

Perusahaan fintech yang didirikan oleh mantan staf ahli presiden Andi Taufan Garuda Putra ini pun tercatat telah menyalurkan pendanaan lebih dari Rp928 miliar sejak 2017. Dana tersebut disalurkan kepada 280.000 perempuan pengusaha mikro di 3.165 desa yang tersebar di 23 kota dan kabupaten Jatim. (SKO)