Potret sarjana.
Dunia

Tak Puas dengan Sistem Pendidikannya, Mahasiswa China Berlomba-Lomba Kuliah ke Luar Negeri

  • Semakin banyak mahasiswa China yang memutuskan kuliah di luar negeri karena merasa tidak puas dengan sistem pendidikan di negaranya sendiri. Alasan lain mengapa mereka memutuskan untuk kuliah di negara lain adalah keinginan untuk meningkatkan daya saing pribadi.

Dunia

Rumpi Rahayu

JAKARTA - Tuntutlah ilmu hingga negeri China jadi pepatah yang menggambarkan kemajuan pendidikan di negeri Tirai Bambu. Sayangnya, hal tersebut tampaknya kini telah bergeser. 

Pasalnya, banyak pemuda China yang memutuskan kuliah di luar negeri karena merasa tidak puas dengan sistem pendidikan di negaranya sendiri. Alasan lain mengapa mereka memutuskan untuk kuliah di negara lain adalah keinginan untuk meningkatkan daya saing pribadi. 

Dikutip dari South Morning China Post, sejak reformasi dan pembukaan di tahun 1978 hingga akhir tahun 2021, sekitar 8 juta siswa Tiongkok telah belajar di luar negeri. Jumlah aplikasi kuliah ke luar negeri juga melonjak sebesar 23,4% pada tahun 2022 dari tahun sebelumnya. 

Menurut EIC Education sebuah lembaga studi luar negeri terkemuka di China, program magister tetap menjadi pilihan utama bagi siswa China yang belajar di luar negeri yaitu sebesar 81,2%. 

Statistik dari Kementerian Pendidikan juga menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan jumlah pelamar yang melamar ujian masuk pascasarjana melambat dari 21% pada tahun 2022 menjadi hanya 3,7% pada tahun 2023.

Fenomena ini dikaitkan erat dengan ketidaksukaan terhadap ujian, sistem pendidikan dalam negeri yang cacat, dan berkurangnya manfaat gelar master untuk pekerjaan di masa depan.

Banyak anak muda yang kecewa dengan sistem pendidikan tinggi di China, sehingga mendorong mereka untuk belajar di luar negeri.

“Sistem ujian masuk pascasarjana China membatasi siswa untuk melamar hanya satu program di satu universitas, yang menciptakan ketidakpastian yang substansial,” kata Blythe Lou yang berbasis di Jiangsu, seorang mahasiswa universitas tahun ketiga berusia 20-an.

“Tetapi melamar studi pascasarjana di luar negeri tanpa ujian masuk memungkinkan siswa memiliki banyak pilihan dan fleksibilitas,” lanjutnya.

“Setidaknya saya akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk belajar lebih lanjut,” tambah Lou dari jurusan bahasa Inggris, yang sedang mempersiapkan aplikasi untuk studi pascasarjana di Inggris dan Hong Kong.

Banyak juga yang mengatakan tidak ada gunanya menghabiskan satu tahun penuh untuk mempersiapkan ujian pascasarjana, yang memiliki risiko kegagalan yang tinggi, dibandingkan dengan proses persiapan yang lebih santai dan peluang sukses yang lebih besar saat melamar studi di luar negeri.

Chen Jianwei, seorang peneliti rekanan di Institute of Education and Economy Research di University of International Business and Economics, mengatakan bahwa kualitas sebagian besar pendidikan pascasarjana di China masih memiliki kesenjangan jika dibandingkan dengan universitas tingkat tinggi di negara-negara Barat.

“Negara-negara AS dan Eropa, bagaimanapun, masih memiliki universitas paling top di dunia,” paparnya. 

Ujian masuk pascasarjana yang diperebutkan dengan sengit memaksa siswa China untuk bersaing dengan cara baru, termasuk belajar di luar negeri, yang dapat membantu mereka mendapatkan kualifikasi akademik yang lebih baik dengan lebih mudah.