Tambal APBN, Misi Menyedot Dana Rp309 T dari Pengemplang Pajak Digeber
- Pemerintah membidik tambahan anggaran sebesar Rp309 triliun dari penanganan pengemplang pajak. Dana jumbo itu rencananya digunakan untuk menambal APBN 2025 yang banyak tersedot untuk membayar utang jatuh tempo.
Makroekonomi
JAKARTA—Pemerintah membidik tambahan anggaran sebesar Rp309 triliun dari penanganan pengemplang pajak. Dana jumbo itu rencananya digunakan untuk menambal APBN 2025 yang banyak tersedot untuk membayar utang jatuh tempo.
Informasi yang dihimpun TrenAsia.com, ada sekitar 300 pengusaha nakal yang bakal dijerat denda akibat ketidakpatuhan membayar pajak. Mayoritas pengemplang pajak tersebut merupakan pengusaha minyak kelapa sawit mentah (CPO).
Pada tahap pertama, pemerintahan di bawah Prabowo Subianto membidik dana sebesar Rp189 triliun yang akan segera masuk ke kas negara tahun ini. Adapun denda senilai Rp120 triliun dijadwalkan masuk ke dompet negara tahun depan. Artinya, ada dana sekitar Rp309 triliun yang dibidik dari para pengemplang pajak.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, mengatakan pemerintah berpotensi mendapatkan tambahan dana mencapai ratusan triliun dari pengemplang pajak. Menurutnya, dana tersebut bakal ditarik dari 300 pengusaha nakal. “Di antaranya ada 25 pengusaha yang tidak memiliki NPWP dan 15 pengusaha yang tidak memiliki rekening di bank dalam negeri,” ujar Hashim, dikutip Kamis, 24 Oktober 2024.
Adik Prabowo ini menargetkan penarikan dana segar dari pengemplang pajak dapat optimal di masa pemerintahan terbaru. Hashim berharap upaya itu sekaligus menghentikan praktik lancung para pengusaha terkait pembayaran pajak. “Kalau pengemplangan pajak terulang lagi pada tahun selanjutnya, artinya pemerintah gagal,” ujarnya.
Implementasi Pasar Karbon
Selain dari pengemplang pajak, tambahan anggaran dibidik dari implementasi pasar karbon nasional. Dua poin tersebut digadang-gadang mampu memperkuat APBN 2025 hingga Rp500 triliun.
Hashim menghitung hutan di dalam negeri telah menyerap 577 juta ton setara karbon dioksida pada 2018-2020. Capaian tersebut setidaknya senilai US$ 5,8 miliar dengan harga minimal karbon senilai US$ 10 per ton.
Adapun total potensi serapan karbon yang sedang ditinjau mencapai 600 juta ton. Serapan karbon di dalam negeri selama enam tahun terakhir mencapai 1.17 miliar ton atau hampir 200 juta ton per tahun. Dari capaian tersebut, Hashim mencatat nilai pemanfaatan pasar karbon menembus Rp 190 triliun.
Di samping itu, Hashim memproyeksi pendapatan negara dapat bertambah lebih dari Rp3 triliun per tahun dengan memanfaatkan pasar karbon di dalam negeri. Deretan proyeksi tambahan anggaran tersebut belum masuk dalam APBN 2025.
Pemerintah diketahui butuh tambahan anggaran sekitar Rp300 triliun untuck memenuhi belanja negara sebesar Rp4.000 triliun tahun depan. Suntikan dana segar dibutuhkan lantaran 45% pendapatan negara akan dipakai untuk membayar utang pada 2025.
Sebagai informasi, pendapatan negara pada tahun depan diproyeksi mencapai Rp3.005,1 triliun. Artinya, sekitar Rp1.353 triliun uang negara habis untuk membayar utang. Sempitnya ruang fiskal tersebut diharapkan membuat Prabowo lebih berhitung dalam menambah utang baru.
Baca Juga: Sri Mulyani Usul Pengemplang Pajak Tak Dipidana
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Muhammad Nawir Messi, mendorong Prabowo menerapkan target pajak progresif alih-alih menambah utang. “Opsi utang ini harus dipersempit agar pemerintah atau menteri bersangkutan punya opsi terbatas selain meningkatkan dari sisi permintaan,” ujarnya.
Pihaknya khawatir pemerintahan Prabowo bakal semakin terjebak dalam utang jumbo apabila tidak segera mendalami opsi lain. Jeratan utang berpotensi menghambat sejumlah program pembangunan. Diketahui, utang jatuh tempo pemerintahan Prabowo pada dua hingga tahun pertamanya mencapai Rp800 triliun.
Belum lama ini Kementerian Keuangan mencatat penarikan utang baru mencapai Rp347,6 triliun pada Agustus 2024. Nilai utang tersebut setara 53,6% dari target APBN 2024 sebesar Rp648,1 triliun.
Menurut Nawir, Prabowo dapat memberikan penekanan pada kementerian terkait untuk mewujudkan target progresif dalam pencapaian perpajakan. “Jika tidak mampu ya ganti menterinya,” ujar Nawir. Selain itu, dia mewanti-wanti Prabowo fokus meningkatkan rasio pajak.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan utang jatuh tempo yang berbentuk surat berharga negara (SBN) bakal jadi permasalahan tersendiri. Sebab, pemerintahan bakal sulit melakukan renegoisasi lantaran pembeli SBN sangat variatif mulai dari rumah tangga, bank, dan lembaga keuangan. “Belum lagi pemain investasi dari asing,” ujarnya.