<p>Ilustrasi pertambangan batu bara. / Pixabay</p>
Industri

Tambang Batu Bara Makin Membara Akibat Omnibus Law Cipta Kerja

  • Berdasarkan draf UU Cipta Kerja yang beredar luas, memang tercatat ada tiga pasal yang berkaitan erat dengan sektor tambang batu bara. Pertama, Pasal 39 UU Ciptaker. Dalam pasal ini, pemerintah mengubah sejumlah ketentuan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Industri
Fajar Yusuf Rasdianto

Fajar Yusuf Rasdianto

Author

JAKARTA – Sabtu malam, 3 Oktober 2020, DPR dan pemerintah mengesahkan pembahasan Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) untuk dibawa ke sidang paripurna.

Senin pekan berikutnya, 5 Oktober 2020, sidang paripurna digelar. Pembahasan itu sempat diwarnai aksi ‘mematikan mic’ yang dilakukan Ketua DPR RI Puan Maharani kepada politikus Partai Demokrat Benny K. Harman saat hendak menginterupsi rapat.

Aksi itu membuat perlawanan dari kubu opisisi menjadi tidak berarti sama sekali. Bagaimana tidak? Wong bicara saja tidak boleh. Tetapi singkat cerita, RUU Ciptaker pun akhirnya disahkan menjadi Undang-undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Pengesahan itu dilakukan tepat sehari sebelum rencana mogok massal buruh terlaksana pada 6 Oktober 2020. Tak pelak, pengesahan yang terburu-buru itupun akhirnya semakin menimbulkan gejolak di akar rumput.

Tidak hanya buruh, mahasiswa dan elemen masyarakat lainpun akhirnya ikut turun ke jalan. Selama tiga hari berturut-turut, 6-8 Oktober 2020, aksi protes massal di berbagai daerah digelar.

Tetapi pemerintah bergeming. Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap meyakini bahwa UU Cipta Kerja ini akan berguna bagi kemaslahatan bangsa.

Di Istana Negara, selang sehari setelah demo massa mulai mereda, Jokowi menyampaikan pidatonya. Intinya, dia menyebut bahwa UU Ciptaker ini bakal membantu Indonesia mengentaskan pengangguran. Sekaligus pula memudahkan izin usaha dan menguatkan investasi dalam negeri.

“Pembentukan PT atau perseroan terbatas juga dipermudah, tidak ada lagi pembatasan modal minimum,” imbuh Jokowi, Jumat 9 Oktober 2020.

Ribuan buruh mengikuti aksi unjuk rasa di Jalan Daan Mogot, Kota Tangerang, Banten, Rabu, 7 Oktober 2020. Aksi tersebut sebagai bentuk kekecewaan buruh atas pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR yang dianggap merugikan kaum buruh. Foto: Panji Asmoro/TrenAsia
Gelombang Protes Membesar

Tetapi masyarakat, pengamat, dan pemerhati lingkungan tidak percaya begitu saja dengan pidato mantan Wali Kota Solo itu. Kritik masih bertebaran di mana-mana.

Khususnya, kritik terkait adanya dugaan permainan para politikus dan pebisnis tambang batu bara dalam upaya menyegerakan pengesahan UU sapu jagat ini.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional Merah Johansyah menduga, ada peran 12 aktor intelektual yang terafiliasi dengan perusahan tambang dalam pengesahan UU itu. Mereka berasal dari pelbagai kalangan, termasuk menteri, politikus, hingga pebisnis.

Nama-nama itu antara lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesai Rosan P. Roeslani. Lalu Puan Maharani dan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Arteria Dahlan.

Di luar nama-nama beken itu, ada sejumlah pejabat dan pebisnis lain yang terlibat. Di antaranya, Pandu Patria Sjahrir, Benny Sutrisno dan Azis Syamsudin. Kemudian Erwin Aksa, Raden Pardede, M Arsjad Rasjid, Bobby Gafur Umar, dan Lamhot Sinaga.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyerahkan berkas tanggapan akhir pemerintah kepada Ketua DPR, Puan Maharani pada rapat paripurna pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 5 Oktober 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Keterlibatan Pejabat

Airlangga diduga terhubung dengan PT Multi Harapan Utama. Perusahaan ini merupakan pemilik tambang batu bara di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Sementara Rosan terlibat sebagai anggota Indonesia Coal Mining Association.

“Pada saat Pemilu Presiden 2019, Rosan menjabat sebagai Wakil Ketua Tim Kampanye Jokowi-Ma’ruf Amin. Saat itu, ketua dari Tim Kampanye dijabat oleh Erick Thohir, yang merupakan sahabat dekat Rosan sejak masa sekolah,” terang Merah.

Sementara itu Azis Syamsuddin, Wakil Ketua DPR RI, terkait dengan perusahaan pertambangan batu bara melalui kedekatannya dengan bekas Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rita Widyasari. Menurut laporan Coalruption, Rita mengangkat Azis sebagai komisaris perusahaan tambang batu bara milik ibunya, Sinar Kumala Naga.

Sedangkan sembilan nama lainnya, diduga memiliki hubungan dengan bisnis tambang dan energi kotor batu bara baik langsung maupun tidak langsung. Rerata dari mereka memiliki posisi penting di perusahaan tambang batu bara, baik sebagai pemilik, komisaris hingga direksi. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada satupun pihak yang berhasil dikonfirmasi.

Area pertambangan batu bara Bukit Asam. / Ptba.co.id
Empat Pasal Terkait

Berdasarkan draf UU Cipta Kerja yang beredar luas, memang tercatat ada tiga pasal yang berkaitan erat dengan sektor tambang batu bara. Pertama, Pasal 39 UU Ciptaker. Dalam pasal ini, pemerintah mengubah sejumlah ketentuan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Dalam omnibus law itu, telah disisipkan pasal 128A yang berbunyi bahwa para pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara bakal diberikan perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara. Di ayat berikutnya, pemerintah mempertegas maksud dari perlakuan tertentu itu.

“Pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batu bara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0%,” tulis Pasal 128A (2) dalam Pasal 39 Poin 1 UU Cipta Kerja. Ketentuan lebih lanjut atas perlakuan tertentu itu akan diatur dengan peraturan pemerintah.

Tambang Emas Tujuh Bukit Banyuwangi PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) milik konglomerat Edwin Soeryadjaja, Garibaldi Thohir, dan Sandiaga Uno / Merdekacoppergold.com
Izin Pertambangan Khusus

Selanjutnya ada pasal terkait perpanjangan perjanjian karya pengelolaan batu bara (PKP2B) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) tanpa mekanisme lelang. Pasal ini masuk dalam UU Minerba yang pengesahannya sudah dilakukan Mei lalu.

Selain itu, ada juga pasal terkait penyederhanaan izin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Aturan ini tertuang dalam Pasal 11 Angka 1 UU Ciptaker. Dalam beleid tersebut disebutkan bahwa izin Amdal akan disederhanakan menjadi hanya tiga proses, yakni dokumen lingkungan, persetujuan lingkungan, dan perizinan berusaha.

Aturan ini sekaligus mengubah aturan terkait Amdal dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), persyaratan terakait izin lingkungan dan perizinan diletakkan secara terpisah. Namun dalam omnibus law kedua persyaratan ini digabung menjadi satu.

Ketiga aturan baru itu disinyalir bisa menjadi penyokong bisnis tambang maupun batu bara di masa mendatang. Namun di sisi lain, ada pula rupanya pasal yang dianggap justru menekan sektor bata bara.

Aturan itu tertuang dalam 4A (2) terkait Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah. Dalam beleid ini disebutkan, batu bara sebagai salah satu objek eksplorisasi yang akhirnya juga turut dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Ilustrasi jaringan listrik PLN / Pln.co.id
Tambah Beban

Dengan sejumlah aturan baru itu, Head of Investment PT Reswara Gian Investa Kiswoyo Adi Joe menilai bahwa aturan yang tertuang dari omnibus law masih setengah hati. Pasal-pasalnya, kata dia, tidak akan memberikan efek apapun bagi emiten tambang batu bara. Misalnya, aturan terkait royalti 0%.

Dalam peraturan ini diterangkan bahwa bagi perusahaan yang bersedia memberikan nilai tambah bagi batu bara akan menerima insentif 0% royalti. Tetapi, jika direalisasikan aturan ini justru malah akan menambah beban perusahaan.

Pasalnya, proses pertambahan nilai batu bara ini agak berbelit. Sederhananya begini, batu bara hanya akan memberi nilai tambah jika diubah menjadi listrik. Untuk proses mengubah batu bara menjadi listrik itu, maka dibutuhkan pembangkit listrik alias power plant.

Pembangunan power plant ini tentulah membutuhkan biaya. Plus, proses perizinan baru yang harus berurusan dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Biasanya, kata Kiswoyo, PLN akan meminta pembangunan power plant di wilayah Jawa yang cenderung banyak konsumennya.

PLN, sambung Kiswoyo, tidak mau jika perusahaan membangun power plant dekat yang sebagian besar berada di wilayah Kalimantan. Sebab itu akan membuat voltase listrik yang terhantar ke Pulau Jawa semakin kecil. Dalam hal ini, beban perusahaan tambang batu bara akan semakin bertambah.

Petugas PLN Area Bulungan Distribusi Jakarta Raya melakukan penyambungan penambahan daya pelanggan 1300 VA menjadi 2200 VA di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Harga Ditentukan

Di sisi lain, harga listrik di Indonesia juga sudah ditentukan oleh pemerintah dan PLN. Maka, penyesuaian harga demi menutup kerugian operasional ataupun mengurangi beban semakin sulit terealisasi jika perusahaan tambang harus membangun power plant.

“Jadi enggak ada efeknya sih menurut saya. Bikin pembangkit listrik malah tambah pusing. Urusan sama PLN lagi,” kata Kiswoyo saat dihubungi TrenAsia.com, Senin 12 Oktober 2020.

Selain itu, perpanjangan PKP2B menjadi IUPK tanpa mekanisme lelang juga dinilai Kiswoyo sebagai sesuatu yang wajar dan tidak memberi dampak signifikan pada perusahaan batu bara. Pasalnya, kemudahan izin usaha ini memang sudah dibahas lama oleh pemerintah dan para pengusaha tambang batu bara.

Tidak ada unsur kejutan dalam aturan baru tersebut. Sebab, izin perpanjangan tambang batu bara memang harus dimudahkan lantaran bahan bakar listrik di Tanah Air sebagian besarnya masih sangat bergantung pada batu bara.

Malah kalau tidak, maka negara sendiri yang akan merugi. Banyak lahan bekas tambang yang akan terbengkalai dan tidak terurus. Hasilnya, ekspor batu baru pun akan anjlok.

“Bata baru kita masih produksi sendiri, pembangkit listrik kita itu tenaganya 50 persen masih pakai batu bara. Kalau tambang izinnya enggak jelas, masa tambang-tambang harus tutup,” kata dia.

RUPST Bumi Resources / Dok. Bumi Resources
Emiten Sambut Baik

Terlepas dari pandangan Kiswoyo, rupanya sejumlah emiten tambang batu bara cukup menyambut baik pengesahan UU Cipta Kerja ini. PT Bumi Resources Tbk (BUMI) misalnya, menilai bahwa UU omnibus law bakal memberikan dampak positif bagi bisnis batu bara di masa mendatang.

Direktur sekaligus Sekretaris Peruhaan Bumi Resources Dileep Srivastava menilai, pembentukan omnibus law sudah komprehensif dengan adanya aturan hilirisasi energi dan sumber daya mineral (ESDM) di dalam beleidnya. Khususnya, aturan mengenai royalti 0% bagi peningkatan nilai tambah batu bara dalam pasal 39 UU Ciptaker.

“Kami menunggu penjelasan lebih lanjut terkait kriteria kelayakan dan proyek yang memenuhi syarat dalam peraturan selanjutnya (Peraturan Pemerintah/PP),” terang Dileep saat dihubungi melalui sambungan telepon.

Selain itu, penyederhanaan izin analisis Amdal yang tertuang dalam Pasal 11 Angka 1 UU Cipta Kerja juga dinilai mampu memudahkan operasional perusahaan tambang. Menurut Dileep, aturan ini bakal memudahkan BUMI untuk mengefisiensikan pembuangan limbah dengan lebih terintegrasi.

Meski diakui Dileep ada juga pasal omnibus law yang sedikit menekan sektor tambang, namun hal tersebut bisa tertutupi oleh aturan lain yang memudahkan. Misalnya saja pada pasal 4A (2) yang menyebut bahwa batu bara juga menjadi objek yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Tambang batu bara PT Arutmin Indonesia, anak usaha PT Bumi Resources Tbk / Bumiresources.com
Optimistis

Tetapi di sisi lainnya, nomenklatur perpanjangan PKP2B menjadi IUPK akan menutupi tekanan perpanjangan coal contract of works (CCOW) dua anak usaha BUMI.

Dua anak usaha yang dimaksud PT Arutmin Indonesia yang CCoW-nya akan berakhir pada November 2020. Serta PT Kaltim Prima Coal (KPC) yang berakhir pada 2021.

“Secara keseluruhan, UU ini diharapkan dapat mendorong FDI (foreign direct investment) dan bermanfaat bagi investasi, serta mendorong pertumbuhan sektor batu bara dan BUMI,” tegas dia.

Dengan adanya aturan baru ini, Dileep meyakini bahwa produksi batu bara BUMI hingga akhir tahun pun bakal mencapai target. Hingga akhir tahun, kata dia, total produksi batu bara BUMI ditargetkan bakal mencapai 85 juta ton.

Sementara itu, berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), pada penutupan perdagangan Senin, 12 Oktober 2020, saham BUMI masih berada di level Rp50. Kapitalisasi saham sejuta umat ini berada pada nilai Rp3,37 triliun.

Bos Adaro Energy Garibaldi Thohir bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. / Facebook @AdaroEnergy
Wait And See

Sebaliknya, jika BUMI mengapresiasi adanya omnibus law, emiten tambang milik konglomerat Garibaldi ‘Boy’ Thohir, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) justru menanggapi biasa saja terkati pengesahan UU Cipta Kerja itu.

Head of Corporate Communication Adaro Febriati Nadira bahkan enggan menanggapi pertanyaan TrenAsia.com, bagaimana perusahaannya bakal diuntungkan dengan adanya omnibus law ini.

Melalui pesan singkat, Febriati hanya menyebut bahwa pihaknya hanya akan menaati seluruh aturan yang berlaku dalam omnibus law. Upaya ini dilakukan guna menerapkan tata kelola perusahaan dengan prinsip good corporate governance (GCG).

“Tentunya akan patuh dan mengikuti atuaran yang berlaku dengan melaksanakan optimalisasi pemanfaatan cadangan untuk peningkatan penerimaan negara dan pengembangan perusahaan,” tulis Febriati singkat melalui pesan WhatsApp.

Sementara itu, pada perdagangan Senin 12 Oktober 2020, saham ADRO ditutup melemah 0,45% ke harga Rp1.110 per lembar. Sedangkan sejak awal tahun, saham ADRO telah tersungkur 25,75% dari level Rp1.495 per lembar.

Kapitalisasi pasar ADRO pada hari yang sama berada di nilai Rp35,5 triliun. Dengan rentang pergerakan nilai saham sejak awal tahun berada di kisaran Rp610 – Rp1.715 per lembar.

Secara keseluruhan, saham-saham sektor tambang pada pekan lalu berhasil tumbuh 1,26%. Sementara pada perdagangan hari ini, saham sektor tambang ditutup naik 1,01%. (SKO)