<p>Presiden Joko Widodo menjadi individu pertama yang mendapat vaksin Sinovac / Dok. BPMI Setpres</p>
Nasional

Tangkal Corona Jilid Dua (Serial 2): Kocar-Kacir Jokowi Tangani Pandemi

  • Indonesia kembali kocar-kacir akibat COVID-19. Kenaikan kasus pasca Lebaran dan munculnya virus COVID-19 varian Delta membuat fasilitas kesehatan Indonesia kembali terancam kolaps.

Nasional
Reza Pahlevi

Reza Pahlevi

Author

JAKARTA – Indonesia kembali kocar-kacir akibat COVID-19. Kenaikan kasus pasca-Lebaran dan munculnya virus corona varian Delta membuat fasilitas kesehatan Indonesia kembali terancam kolaps.

Dalam seminggu terakhir ini, 21-28 Juni 2021, Indonesia bahkan beberapa kali mencatatkan rekor pertambahan kasus baru. Pertama, terdapat 14.536 kasus baru COVID-19 pada 21 Juni 2021. Jumlah ini mengalahkan rekor pada 30 Januari lalu yang sebanyak 14.518 kasus baru.

Sejak pemecahan rekor tersebut, Indonesia terus mencatatkan peningkatan pertambahan kasus baru. 23 Juni tercatat ada 15.308 kasus baru, 24 Juni ada 20.574 kasus baru, 26 Juni ada 21.095 kasus baru, dan 27 Juni ada 21.342 kasus baru.

Pada Senin, 28 Juni 2021, tercatat 20.694 kasus baru dengan total 2.135.998 kasus sejak COVID-19 pertama kali tercatat di Indonesia. Dari jumlah kasus tersebut, 57.561 orang tercatat meninggal dunia. Ini berarti tingkat fatalitas COVID-19 di Indonesia tercatat 2,69%.

Angka tersebut memang terlihat kecil, tapi ini bukan berarti Indonesia bisa menepuk dada. Angka tes per orang per hari Indonesia sampai saat ini belum pernah sekalipun menyentuh angka 100.000. Ini membuat positivity rate di Indonesia sebesar 25,77%, lima kali lebih tinggi dari standar World Health Organization (WHO) yang dipatok 5%.

Meski keadaan semakin memburuk, Presiden Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi masih teguh pendirian untuk melanjutkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Mikro. Bedanya, PPKM Mikro kali ini diperketat.

“Pemerintah telah memutuskan PPKM Mikro masih menjadi kebijakan yang paling tepat untuk menghentikan laju penularan COVID-19 hingga ke tingkat desa atau langsung ke akar masalah, yaitu komunitas,” ujar Jokowi pada Rabu, 23 Juni 2021.

Jokowi memandang bahwa kebijakan PPKM Mikro masih menjadi kebijakan pengendalian COVID-19 yang paling tepat dalam situasi saat ini karena dinilai bisa mengendalikan pandemi tanpa mematikan ekonomi rakyat.

“Saya sampaikan bahwa PPKM Mikro dan lockdown memiliki esensi yang sama, yaitu membatasi kegiatan masyarakat. Untuk itu, tidak perlu dipertentangkan,” tegasnya.

Adanya penebalan PPKM Mikro ini membatasi jam operasional di pusat keramaian seperti mal, warung, kafe, restoran, pasar, pedagang kaki lima, lapak jalanan, dan lain-lain menjadi hingga 20.00 WIB saja. Selain itu pengunjung pun dibatasi paling banyak 25% dari kapasitas. Kebijakan ini berlaku mulai 22 Juni-5 Juli 2021.

Sementara itu, kegiatan perkantoran baik kementerian/lembaga (K/L) maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di zona merah harus menerapkan work from home (WFH) 75%. Sedangkan di zona non-merah 50% dengan protokol kesehatan ketat.

Meski begitu, berbagai pihak menilai kebijakan ini belum cukup untuk membatasi pergerakan masyarakat dan penyebaran COVID-19. Buktinya, sejak pertama kali PPKM diperkenalkan pada Januari dan diubah menjadi PPKM Mikro pada Februari tidak pernah benar-benar mengurangi angka penyebaran COVID-19 secara drastis.

Kilas balik strategi Jokowi hadapi pandemi
Suasana kios pedagang di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Selasa, 6 Oktober 2020. Jika pandemi tak bisa dikendalikan yang salah satunya dilihat dari indikator positive rate di bawah 5%, masyarakat, khususnya kelas menengah akan enggan membelanjakan uangnya, karena khawatir terinfeksi. Inilah yang menjadi penyebab, meski reaktivasi ekonomi sudah dilakukan pada Juni 2020 lalu, tetapi kinerja daya beli tetap melorot. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Sejak pertama kali COVID-19 muncul di Indonesia, Jokowi tidak pernah mengambil opsi karantina wilayah atau yang lebih populer disebut lockdown. Padahal, Indonesia sudah punya Undang-undang (UU) nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan yang mengatur soal ini.

Dalam UU 6/2018 tersebut, ada empat opsi yang bisa diambil apabila terjadi kedaruratan kesehatan masyarakat. Keempat opsi tersebut adalah karantina rumah, karantina rumah sakit, karantina wilayah, dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Saat itu, banyak pihak termasuk ahli epidemiolog yang menyarankan pengambilan opsi karantina wilayah dapat mempercepat pemutusan rantai penyebaran COVID-19 di masyarakat. Hal ini karena pemerintah jadi memiliki kewenangan untuk benar-benar melarang pergerakan antar wilayah serta menutup pintu masuk dari luar negeri.

Pada April tahun lalu, Jokowi malah memutuskan mengambil opsi PSBB untuk mengatasi pandemi. Padahal, kondisi penyebaran COVID-19 seharusnya sudah memenuhi syarat untuk dilakukan karantina wilayah karena sudah ditetapkan sebagai pandemi oleh WHO sejak 11 Maret 2020.

Ini sesuai dengan pasal 14 ayat (1) UU 6/2018 yang berbunyi, “Dalam keadaan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia, pemerintah pusat dapat menetapkan Karantina Wilayah di pintu masuk.”

Satu tahun berselang, tepatnya 10 Maret 2021, Sekretaris Eksekutif I Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) Raden Pardede baru mengungkapkan pemerintah tidak mengambil opsi karantina wilayah karena tidak sanggup membiayai kebijakan tersebut.

Memang, pasal 55 ayat (1) UU 6/2018 mengatur selama dalam karantina wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.

“Kita tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pelaksanaan lockdown total untuk jangka waktu yang lama, itu bukan pilihan kita, kita tidak sanggup, jujur saja,” ujar Raden dalam webinar beberapa waktu lalu.

Jalan Tengah
Suasana lengang akibat tenant yang tutup di area salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Pejaten, Jakarta, Jum’at (10/4/2020). Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar membuat sejumlah pusat perbelanjaan kembali memperpanjang masa penutupan sampai 19 April sebagai upaya mencegah penyebaran wabah COVID-19. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Menurut Raden, pemerintah mengambil jalan tengah antara kesehatan dan penghidupan atau pemulihan ekonomi dengan mengambil opsi PSBB. Kebijakan ini diambil agar masyarakat menengah bawah masih bisa mencari makan dengan beraktivitas keluar rumah.

Penerapan PSBB sendiri diresmikan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 21 tahun 2018 pada 1 April 2020. Itu pun tidak berlaku langsung karena PSBB hanya bisa dilakukan dengan inisiatif pemerintah daerah meminta persetujuan dari pemerintah pusat.

Sejak PSBB berakhir, pembatasan kegiatan masyarakat tetap berlangsung dengan berbagai istilah seperti PSBB Transisi, PSBB Proporsional, PPKM Jawa-Bali, PPKM Mikro, hingga hari ini yang disebut penebalan PPKM Mikro.

Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, sempat menyebut pemerintah Indonesia “bersilat istilah” dalam menentukan penamaan pembatasan kegiatan masyarakat ini di tengah jumlah penularan yang meningkat tiap hari.

“Pemerintah lagi-lagi “bersilat istilah”: PSBB (pembatasan sosial berskala besar), PSBB transisi, micro lockdown, dan terakhir PPKM. Apakah untuk menghindari “berskala besar” yang bertujuan menyelamatkan ekonomi?” cuit Faisal di akun Twitter-nya @FaisalBasri ketika PPKM pertama kali diumumkan.

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, berbagai istilah untuk menandakan perbedaan pengetatan di Indonesia ini memang membingungkan. Selandia Baru, salah satu negara yang dianggap sukses menangani COVID-19, memiliki empat tingkat kewaspadaan dalam membatasi kegiatan masyarakat.

Empat tingkat tersebut adalah tingkat 1 – siaga, tingkat 2 – kurangi, tingkat 3 – batasi, dan tingkat 4 – lockdown. Keempat tingkat ini memiliki penilaian risikonya masing-masing dengan rangkaian kebijakan yang sesuai dengan tingkat kewaspadaan tersebut.

Hal serupa juga dilakukan di Korea Selatan yang memiliki 3 tingkat social distancing dengan prasyarat berbeda-beda. Tingkat 1 bisa terjadi jika jumlah pertambahan kasus di bawah 50 dengan tingkat rute infeksi yang tidak diketahui di bawah 5%. Lalu, status penyebaran klaster juga perlu berkurang dan setidaknya 80% kasus berada dalam status karantina.

Tingkat 2 terjadi jika jumlah pertambahan kasus sebanyak 50-100 dengan status penyebaran klaster yang perlahan meningkat. Terakhir, tingkat 3 terjadi jika 100-200 kasus baru tercatat tiap harinya dengan tingkat rute infeksi yang tidak diketahui serta penyebaran klaster melonjak tinggi.

Dituntut kembali berlakukan PSBB
Suasana lengang tampak di ruas Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Jumat (10/4/2020). Pemprov DKI Jakarta mulai memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) selama 14 hari dimulai pada 10 April hingga 23 April 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) serta 5 perhimpunan dokter spesialis meminta pemerintah pusat untuk kembali memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) terutama di Pulau Jawa minimal dua pekan dan memastikan penerapan PSBB dapat berjalan maksimal.

Permintaan dari asosiasi dokter terbesar di Indonesia tersebut bukan tanpa alasan. Sejak angka pertambahan kasus kembali naik, tingkat keterisian ruang isolasi dan ICU (bed occupancy rate/BOR) di beberapa wilayah Indonesia sudah di atas 90%.

“Setidaknya lebih dari 24 kabupaten/kota melaporkan keterisian ruang isolasinya di atas 90 persen. BOR untuk ICU dari berbagai RS mendekati angka 100 persen,” ujar Ketua Tim Mitigasi PB IDI dr. M. Adib Khumaidi dalam siaran pers, Minggu, 27 Juni 2021.

PB IDI melihat terjadi penumpukan pasien dan antrean panjang di banyak Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS di kota-kota besar. Bahkan, banyak terjadi kasus di mana pasien meninggal ketika baru sampai IGD.

Adanya PSBB dapat diharapkan dapat memberikan fasilitas kesehatan ruang untuk bernapas. Kondisi pertambahan kasus yang terus meningkat ini menyebabkan keterbasan tenaga, fasilitas, dan sumber daya manusia untuk melakukan pelayanan yang dapat menyebabkan infrastruktur kesehatan di Indonesia kolaps.

Hal ini diperburuk dengan bertambahnya kasus COVID-19 di lingkungan dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya yang membuat mereka pun harus menjalani perawatan atau isolasi mandiri.

Selain itu, ada juga ancaman COVID-19 varian Delta yang disebut PB IDI memiliki karakteristik yang lebih mudah menyebar, menyerang segala usia tanpa perlu ada komorbid, lebih memperberat gejala, lebih meningkatkan kematian dan menurunkan efektifitas vaksin.

Pemerintah juga diminta PB IDI untuk melakukan tes dan pelacakan yang lebih masif, termasuk untuk anak dan remaja. Angka positivity rate dan jumlah pelacakan per 1.000 orang per minggu sesuai dengan standar WHO juga diminta dijadikan penilaian kinerja setiap kepala daerah.

Terakhir, pemerintah diminta untuk melakukan percepatan dan memastikan vaksinasi untuk semua target populasi termasuk untuk anak dan remaja dan tercapai sesuai target. Tim Mitigasi PB IDI meminta vaksinasi dapat mencapai lebih dari 2 juta dosis per hari dan tempat pelayanan vaksinasi diperbanyak.

Menumpukan harapan di vaksinasi
Nampak peserta melakukan pemeriksaan kesehatan di area vaksinasi dalam acara Program vaksinasi kerja sama GoTix dengan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) dengan menyasar 20.000 warga di 6 wilayah yakni Jakarta dan sekitarnya, yaitu Depok, Tangerang Kota, Tangerang Selatan, Kota Bekasi. Sentra Vaksinasi COVID-19 ini diperuntukkan bagi masyarakat umum termasuk pelaku UMKM, di antaranya mitra usaha ekosistem Gojek. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia

Hingga Senin, 28 Juni 2021, pemerintah Indonesia sudah memberikan vaksinasi dosis pertama untuk 27.419.898 atau sekitar 27,42 juta penduduknya. Sementara itu, vaksinasi dosis kedua baru diberikan untuk 13.182.034 atau sekitar 13,18 juta penduduk. Ini berarti Indonesia mencapai 7,26% dari target vaksinasi penuh untuk 181.554.465 atau sekitar 181,55 juta penduduk untuk mencapai kekebalan komunitas atau herd immunity.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri sudah memiliki target untuk dapat melakukan vaksinasi setidaknya 1 juta dosis per hari mulai Juli 2021. Idealnya, capaian ini dapat terus meningkat di bulan-bulan selanjutnya hingga dapat memvaksinasi 2 juta-2,5 juta dosis per hari.

“Hitungan kita mungkin tidak cukup 1 juta suntikan (vaksin COVID-19) per hari. Malah mungkin harus naik sampai 2 juta, sampai 2,5 juta per hari,” ujar Menkes Budi Gunadi Sadikin pada Kamis, 24 Juni 2021.

Dengan target 181,5 juta rakyat divaksinasi, ini berarti Indonesia membutuhkan sekitar 363 juta dosis untuk mencapai target itu. Sayangnya, jumlah itu terbatas karena baru ada lima negara yang mampu memproduksi vaksin COVID-19 secara mandiri.

Jumlah vaksin yang terbatas itu membuat Indonesia baru bisa mendapat 75 juta dosis pada semester I-2021. Sisa sekitar 290 juta dosis vaksin baru akan diterima Indonesia pada semester II-2021.

“Bisa dibayangkan menyuntikkan 75 juta dosis di 6 bulan pertama tetapi harus naik jadi 290 juta dosis suntikan di 6 bulan berikutnya. Ini jumlah yang besar sehingga hitungan kita tak cukup hanya 1 juta sehari,” ujar Budi.

Per Sabtu, 26 Juni 2021, Kemenkes mengklaim Indonesia sudah memiliki ketersediaan dan logistik vaksin yang cukup untuk melakukan vaksinasi 1 juta dosis per hari. Rinciannya adalah 3 juta dosis vaksin Sinovac dalam bentuk jadi, 91,5 juta dosis vaksin Sinovac dalam bentuk bulk, 8,2 juta dosis vaksin AstraZeneca bentuk jadi, dan 2 juta dosis vaksin Sinopharm bentuk jadi.

Pada hari yang sama, Indonesia pun memecahkan rekor pertama kali menembus 1 juta dosis vaksin per hari. Hari itu, Indonesia berhasil memberikan 1,3 juta dosis vaksinasi. Sayangnya, capaian ini tidak dapat dilanjutkan pada keesokan harinya dengan catatan vaksinasi kembali di bawah 1 juta per hari.

Untuk dapat konsisten melakukan vaksinasi 1 juta per hari, Kemenkes juga sudah mengeluarkan kebijakan hanya memerlukan KTP untuk vaksinasi di fasilitas kesehatan dan rumah sakit pemerintah pusat. Sebelumnya, masyarakat yang tinggal di luar wilayah sesuai KTP-nya perlu membawa surat domisili atau keterangan bekerja wilayah tersebut untuk divaksinasi.

Percepatan vaksinasi COVID-19 ini dapat dilakukan melalui kegiatan pos pelayanan vaksinasi dan bekerja sama dengan TNI, Polri, organisasi masyarakat, UPT Vertikal Kemenkes seperti Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), RS Vertikal, Poltekkes serta peran aktif dunia usaha.

Selain itu, Jokowi juga sudah mengumumkan vaksin Sinovac sudah mendapat izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk digunakan untuk anak usia 12-17 tahun.

“Vaksin Sinovac dinyatakan aman digunakan anak usia 12 sampai 17 tahun, sehingga vaksinasi untuk anak-anak usia tersebut bisa segera dimulai,” kata Jokowi melalui tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Senin, 28 Juni 2021.

Bertambahnya target populasi ini diharapkan dapat mempermudah pemerintah mencapai target 1 juta dosis vaksin per hari hingga akhir Juli 2021. Pada Agustus 2021, target tersebut naik dua kali lipat jadi 2 juta dosis vaksin per hari. Lantas, mampukah Pemerintahan Jokowi mengatasi pandemi? (SKO)

Artikel ini merupakan serial laporan khusus yang akan bersambung terbit berikutnya berjudul “Tangkal Corona Jilid Dua.”

  1. Tangkal Corona Jilid Dua (Serial 1): Serangan Varian Delta dan Pelajaran dari Negara Lain