<p>Ilustrasi pemerintah berupaya menahan dampak COVID-19 terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.  Grafis: Azka Yusra/TrenAsia </p>
Industri

Tangkal Corona Jilid Dua (Serial 3): Simalakama Lockdown, Pertumbuhan Ekonomi, dan Utang Membengkak

  • Laporan khusus terkait kasus COVID-19 kembali meroket, bagaimana strategi pencegahan dan dampaknya bagi perekonomian Indonesia.

Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Raut wajah semringah tampak dari wajah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat menyampaikan kasus COVID-19 yang sempat ditekan hingga di bawah 10.000 kasus per hari pada awal Juni 2021.

Meski diingatkan ada potensi lonjakan kasus COVID-19 akibat libur Lebaran, Airlangga tetap sesumbar mengobral janji pertumbuhan ekonomi 7,3%-8,3% year on year (yoy) pada kuartal II-2021. 

“Kasus harian yang terkendali dan kasus aktifnya pun relatif terjaga. Pemerintah meyakini di kuartal II-2021 ekonomi kita bisa tumbuh di range 7-8 persen,” ucap Airlangga dalam konferensi pers, Senin, 7 Juni 2021. 

Janji pertumbuhan ekonomi itu kembali diobral Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu coba menenangkan masyarakat dengan narasi kasus COVID-19 yang terkendali membuat ekonomi bisa tumbuh hingga 7%-8%.

Tidak sampai dua pekan, janji yang diobral keduanya bertahan. Pasalnya, Indonesia kembali mengalami ledakan kasus COVID-19 varian Delta dari India. Ekonomi yang sedang dipacu, mau tidak mau, harus direm kembali oleh pemerintah untuk meredakan lonjakan kasus COVID-19. 

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro pun diperketat. Pemerintah menarik rem darurat dengan penutupan mal, restoran, dan kebijakan work from home (WFH) 100% di Jawa-Bali.

Ancaman Pengangguran 
Pekerja menyelesaikan pembuatan mukena di Pabrik Mukena Siti Khadijah, Cinere, Depok , Kamis 15 April 2021. Foto : Panji Asmoro/TrenAsia

Direktur Riset Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai kondisi COVID-19 yang kembali melonjak ini mengubur mimpi pemerintah hadirkan pertumbuhan ekonomi 7%-8% pada kuartal II-2021. 

“Tanpa ada lonjakan kasus COVID-19 pun saya yakin tidak akan mencapai target (7-8 persen), apalagi ketika ada second wave seperti sekarang. Dampaknya sekarang ruang gerak dunia usaha kian terbatas dengan PPKM Mikro yang ketat,” ucap Piter kepada TrenAsia.com, Selasa, 29 Juni 2021.

Piter menilai berbagai intervensi kebijakan pemerintah dalam memacu perekonomian banyak yang sia-sia akibat tidak menjaga kondisi COVID-19. Dirinya mengkhawatirkan tren kenaikan Purchase Managers’ Index (PMI) Manufaktur harus berhenti pada Juni 2021 akibat lonjakan kasus COVID-19 ini. 

Seperti diketahui, Indonesia tercatat terus mengalami kenaikan PMI sejak Maret 2021. Menurut data IHS Markit, PMI Manufaktur Indonesia merangkak naik dari 50,9 pada Februari, 53,2 pada Maret 2021, 54,6 pada April, dan 55,3 pada Mei 2021.

Merosotnya PMI Manufaktur akibat gelombang kedua COVID-19 punya multiplier effect terhadap perekonomian Indonesia. Pertama, PMI Manufaktur yang melambat menjadikan kinerja ekspor-impor Indonesia terkoreksi. 

Lalu, Piter mengindikasikan adanya ledakan angka pengangguran bila PMI Manufaktur Indonesia tidak kembali pulih dalam waktu dekat. Alasannya, industri manufaktur punya kemampuan menyerap tenaga kerja yang tinggi.

Di masa sebelum pandemi COVID-19, industri manufaktur menyerap 18,93 juta orang atau 14,96% dari total tenaga kerja nasional pada Agustus 2019. Kala itu, PMI Manufaktur Indonesia berada di angka 49,0.

Serapan tersebut kemudian anjlok menjadi 17,48 juta orang atau 13,6% pada Agustus 2020. Dengan demikian, ada 1,45 juta orang yang kehilangan pekerjaan di industri manufaktur akibat pandemi COVID-19. 

Hal ini menunjukkan kinerja PMI manufaktur punya kaitan yang erat terhadap serapan tenaga kerja di Indonesia. Piter menyebut PMI Manufaktur Indonesia terancam parkir bawah angka 50 pada Juni 2021 bila kasus COVID-19 masih tinggi.

“Kalau sampai PPKM darurat seperti sekarang, PMI diyakini di bawah 50. Ketika itu perusahaan akan berhitung produktivitas, kalau tidak produktif bisa memilih tutup saja dan merumahkan pegawai,” ujar Piter.

Padahal, Indonesia belum bisa mengembalikan tingkat pengangguran terbuka (TPT) ke masa sebelum pandemi. Tingkat pengangguran di Indonesia pada Februari 2021 mencapai 6,26% dari total angkatan kerja atau lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 4,94%.

Tidak hanya itu, Piter menyebut lambatnya pemulihan ekonomi juga bisa memperburuk kondisi ketenagakerjaan di Indonesia. Level pendapatan yang diterima pekerja bisa menurun sebagai akibat dari keterbatasan ruang gerak perusahaan.

Studi bertajuk The Short- and Long-Term Career Effects of Graduating in a Recession yang terbit dalam American Economic Journal pada 2012 menemukan level pendapatan tenaga kerja di masa resesi, seperti yang dialami Indonesia sekarang, jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi normal. Level pendapatan yang diterima tenaga kerja di masa resesi ini pun efeknya bertahan setidaknya hingga 10 tahun ke depan. 

Sejumlah kenyataan-kenyataan ini yang membuat Piter pesimistis ekonomi Indonesia bakal rebound pada kuartal II-2021. Menurut riset CORE, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2021 ditaksir hanya 3%-4% yoy atau separuh dari target pemerintah. 

Jika Lockdown, Bagaimana Risikonya?
Suasana pengunjung dan tenant di pusat perbelanjaan Mal Kasablanka, Jakarta, Rabu, 23 Juni 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Opsi karantina total atau lockdown menyeruak usai kasus harian COVID-19 terus melonjak beberapa waktu belakangan. Meski melumpuhkan perekonomian selama dua pekan, opsi ini dinilai bisa mengurangi dampak ekonomi dibandingkan dengan menjalankan PPKM Mikro yang ada saat ini. 

Indonesia berpotensi kehilangan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp463 triliun-Rp848 triliun bila memilih tidak menerapkan lockdown saat kasus COVID-19 terus melonjak. Pada skenario terburuknya, ekonomi Indonesia berpotensi terkontraksi 0,5% yoy sepanjang 2021.

Direktur Center of Economic and Law Studie (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kerugian ekonomi lebih besar dialami Indonesia bila tidak segera merespons kondisi pandemi COVID-19.

Dalam proyeksinya tersebut, Bhima menyebut pertumbuhan ekonomi maksimal yang bisa dicapai Indonesia bila tidak menerapkan lockdown hanya 2% yoy.

“Ekonomi Indonesia akan tumbuh lebih solid ketika lockdown berhasil. Kondisi darurat ini harus ditangani dengan kebijakan darurat juga,” kata Bhima saat dihubungi terpisah, Selasa, 29 Juni 2021.

Kendati demikian, kebijakan lockdown ini memiliki konsekuensi biaya. Menurut Bhima, biaya yang diperlukan untuk kebijakan lockdown selama dua pekan mencapai Rp11 triliun-Rp25 triliun. Biaya tersebut setara 6% anggaran infrastruktur.

Biaya itu tidak bisa terelakkan karena pemerintah memang wajib memenuhi kebutuhan harian masyarakat saat lockdown berlangsung. Hal itu termaktub dalam Undang-Undang (UU) 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Nasional 

“Kebijakan untuk menanggulangi COVID-19 ini jangan nanggung,” ujar Bhima.

Efek lockdown, kata Bhima, juga lebih berkelanjutan terhadap perekonomian Indonesia. Bila sukses melakukan lockdown, Indonesia bisa mengalami rebound yang luar biasa di kuartal selanjutnya.

Rebound yang dialami itu, kata Bhima, secara langsung bisa mengurangi ketergantungan terhadap penarikan utang. Pasalnya, ekonomi bisa berjalan optimal jika kasus COVID-19 terkendali. 

Pemerintah bisa secara perlahan mengurangi insentif-insentif dalam menopang perekonomian Indonesia. Dengan begitu, Indonesia tidak perlu lagi menarik utang secara terus-terusan di masa pandemi COVID-19 ini. 

Terlilit Bunga Utang Akibat Pembiayaan Pandemi
Menteri Keuangan, Sri Mulyani saat hadir dalam rapat kerja dengan Komisi XI di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 15 Maret 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Seperti diketahui, untuk tahun ini saja, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati harus mengeluarkan dana Rp150 triliun untuk penanganan COVID-19. Dana itu belum termasuk sejumlah insentif pemerintah dalam memulihkan perekonomian nasional. Total dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 tercatat sebesar Rp699 triliun.

Akibatnya, defisit APBN di tahun ini diproyeksikan mencapai Rp1.006,4 triliun atau 5,7% dari PDB. Sri Mulyani pontang-panting mencari sumber pendanaan melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) hingga pinjaman. 

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang Indonesia berada di angka Rp6.418 triliun per Mei 2021. Utang tersebut mengalami kenaikan Rp1.159,58 triliun dibandingkan dengan Mei 2020.

Perlu diingat, angka tersebut belum termasuk dana bunga yang perlu dibayarkan pemerintah. Bhima menyebut agresivitas penarikan dana ini berpotensi membebankan warisan utang pada generasi berikutnya.

Bunga utang Indonesia pada 2022 diprediksi menyentuh Rp417 triliun. Angka itu masih berpotensi naik karena pemerintah bisa saja menaikkan imbal hasil atau yield SBN untuk menjaga investor tidak kabur.

Indonesia menarik utang dari penerbitan SBN valas sebesar Rp1.126,45 triliun. Lalu, utang luar negeri (ULN) yang ditarik dalam valas mencapai Rp828,51 triliun.

“Perlu diwaspadai karena beban belanja utang yang meningkat ini perlu diwaspadai karena nantinya bebannya tinggi terhadap APBN,” kata Bhima. 

Menakar kemampuan Indonesia dalam membayar utang bisa dilihat dari debt service ratio (DSR) atau rasio utang terhadap pendapatan. DSR sendiri adalah jumlah beban pembayaran bunga dan cicilan pokok dari utang berbentuk valas yang dibagi penerimaan negara. 

Menurut Bhima, kemampuan DSR Indonesia terus menurun. Hal itu dibarengi dengan kemampuan menarik penerimaan berbentuk valas yang dinilainya juga melempem. 

“DSR kita pada 2015 sudah 25 persen dan diingatkan IMF (International Monetary Fund) dan di 2020 itu mencapai 54 persen. Masalahnya DSR ini soal bagaimana negara mendorong sektor-sektor yang berkaitan dengan penerimaan valas, ini yang semakin tidak sinkron,” kata Bhima. 

Krisis utang ini, kata Bhima, dipicu oleh beban pembiayaan COVID-19 yang tinggi. Oleh karena itu, Bhima mendorong pemerintah untuk segera melakukan mitigasi penurunan kurva agar agresivitas penarikan utang bisa diredam.

Bila kondisi ini terus berlanjut, Bhima menyebut tidak menutup kemungkinan Indonesia bakal masuk dalam krisis utang. “APBN kita bebannya semakin tinggi, nilai rupiah juga terancam karena utang valas kita,” ucap Bhima. (SKO)

Artikel ini merupakan serial laporan khusus yang akan bersambung terbit berikutnya berjudul “Tangkal Corona Jilid Dua.”

  1. Tangkal Corona Jilid Dua (Serial 1): Serangan Varian Delta dan Pelajaran dari Negara Lain
  2. Tangkal Corona Jilid Dua (Serial 2): Kocar-Kacir Jokowi Tangani Pandemi