<p>Nasabah melakukan transaksi penarikan uang Rupiah di Jakarta, Kamis, 18 Februari 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Tangkal Corona Jilid Dua (Serial 4): Kuda-Kuda Perbankan Atasi Kredit Macet Lagi

  • Laporan khusus terkait kasus COVID-19 kembali meroket, bagaimana strategi pencegahan dan dampaknya bagi perekonomian Indonesia.

Industri
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Di tengah sinyal dan optimisme pengendalian pandemi dan pemulihan ekonomi, sekonyong-konyong COVID-19 varian Delta (B:1.617.2) datang mengaburkan harapan yang sudah membumbung tinggi.

Walhasil, wacana Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat berskala nasional kembali membayangi perekonomian termasuk industri perbankan.

Belajar dari gelombang pertama COVID-19 awal tahun lalu, kali ini semua sektor perekonomian bersiap akan kemungkinan terburuk sekaligus menyiapkan berbagai jurus agar tak kembali tumbang diterjang wabah.

Tanpa pengecualian industri perbankan, belum pulih ke level positif, penyaluran kredit kembali dibayangi oleh gelombang kedua COVID-19. Hingga Mei 2021, penyaluran kredit perbankan masih mengalami kontraksi sebesar -1,28% year on year (yoy) pada Mei 2021, membaik dari April 2021 yang terkontraksi -2,28% (yoy).

Ancaman lonjakan NPL
Aktivitas pekerja di industri konveksi milik Enca di kawasan Curug, Bogor, Jawa Barat, Jum’at, 12 Maret 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Masih tersendatnya penyaluran kredit juga diiringi oleh meningkatnya rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL). Tercatat, per April 2021 NPL (gross) ada di level 3,22% meningkat bila dibandingkan dengan periode bulan sebelumnya yang sebesar 3,17% atau naik 5 basis poin (bps).

Ancaman NPL juga tak lepas dari pengamatan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada kesempatan beberapa waktu lalu, Sri Mulyani mengatakan risiko lonjakan NPL diakibatkan oleh pemulihan yang tidak simetris antarsektor.

Ia menguraikan, sektor perdagangan, konstruksi, transportasi, dan jasa masuk kategori slow starter. Artinya, merekalah sektor yang paling terkontraksi sekaligus lamban pemulihannya.

Sebaliknya, ada sektor manufaktur yang menjadi growth driver. Sayangnya, di saat profitabilitas keduanya masih rendah, gelombang kedua pandemi kembali datang mengancam.

Maka dari itu, Sri Mulyani menyebut kemampuan membayar (interest coverage ratio/ ICR) kelompok slow starter dan growth driver perlu diintervensi oleh OJK.

“OJK perlu intervensi untuk sektor yang makin terpukul dan kesulitan membayar,” tegas Sri Mulyani.

Jurus restrukturisasi kredit
Karyawan melayani nasabah di gerai salah satu cabang Bank Mandiri, di Jakarta, Selasa, 6 April 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Menyambung yang dikatakan Sri Mulyani, ekonom PT Bank Permata Tbk (BNLI), Josua Pardede melihat salah satu strategi untuk mengelola NPL di angka yang tetap terjaga di tengah kondisi saat ini adalah optimalisasi program restrukturisasi kredit. Kabar baiknya, Peraturan OJK No 11 dan 48 Tahun 2020 tentang restrukturisasi telah diperpanjang hingga Maret 2022.

“Program restrukturisasi ini juga penting untuk menjaga napas pelaku usaha. Sehingga imbasnya NPL bisa tetap dikelola dengan baik,” jelas dia.

Padahal sejatinya, sebelum gelombang kedua ini datang, OJK mencatat adanya tren penurunan nilai dan debitur restrukturisasi kredit. OJK melaporkan per April 2021, outstanding restrukturisasi mencapai Rp775,32 triliun untuk 5,29 juta debitur.

Angka ini melandai dibandingkan dengan posisi restrukturisasi kredit perbankan per September 2020 yang menembus Rp904,3 triliun untuk 7,5 juta debitur. Dari jumlah tersebut, sekitar 3,71 juta debitur usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mendominasi restrukturisasi kredit saat ini.

Penambahan Pencadangan
Nasabah mencari informasi mengeni kredit pemilikan rumah (KPR) melalui gawai di kantor pusat Menara BTN, Gajahmada, Jakarta, Selasa, 16 Februari 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Selain menyiapkan bantalan berupa restrukturisasi, OJK juga meminta agar perbankan untuk mulai menambah pencadangan secara bertahap.

“Kita tidak tahu apa yang terjadi dan apabila ada nasabah yang tidak bisa recover, kita sudah punya cadangan yang cukup. Sehingga, perbankan dan lembaga keuangan agar secara gradual membuat cadangan lebih preemptive,” terang Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso beberapa waktu lalu.

Hingga saat ini, nilai restrukturisasi kredit telah mencapai Rp775 triliun. Dengan adanya gelombang kedua ini, proyeksi awal yang menaksir restrukturisasi kredit akan berakhir pada kuartal I-2021 terancam molor.

“Kami juga tidak bisa memastikan sampai kapan ini berakhir. Sehingga yang mungkin dilakukan oleh perbankan yaitu meningkatkan kewaspadaan.”

Chief Economist PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS), Banjaran Surya Indrastomo ikut sepakat dengan OJK. “Pencadangan ini memang bagian dari regulasi di saat kualitas pembiayaan memburuk, secara otomatis, bank akan menaruh pencadangan,” terang Surya.

Namun demikian, ia melihat 10 bank terbesar di Indonesia masih memiliki Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang cukup kuat. Industri perbankan juga dilihatnya sudah melakukan peningkatan pencadangan secara gradual terutama pada segmen kredit komersial dan UMKM.

Digitalisasi adalah kunci
Nasabah melakukan transaksi di salah satu cabang Bank Negara Indonesia (BNI) di Jakarta, Rabu, 23 Juni 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Tak berpangku tangan pada intervensi pemerintah, industri perbankan sejatinya memiliki senjata lain untuk meminimalisasi dampak negatif krisis ekonomi. Tak hanya memudahkan nasabah, inovasi digital juga berdampak positif bagi perbankan.

Buktinya, OJK mencatat rasio Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) bank umum konvensional turun pada Maret 2021 menjadi 86,44% dibandingkan dengan posisi sama tahun lalu sebesar 88,84%.

“Memang amat diharapkan inovasi digital dapat menaikkan tingkat efisiensi perbankan nasional,” kata pengamat perbankan Paul Sutaryono kepada TrenAsia.com.

Hingga ujungnya, sejumlah bank yang tengah bertransformasi menjadi digital menuai hasil kinerja keuangan yang memuaskan. Contohnya, PT Bank BTPN Tbk (BTPN) membukukan laba bersih sebesar Rp971 miliar pada kuartal 1-2021, naik 29% yoy dari Rp752 miliar pada periode yang sama tahun lalu.

Setali tiga uang, PT Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk (AGRO) juga mencetak laba bersih senilai Rp17,86 miliar pada kuartal I-2021. Meningkat 6,5% yoy dari posisi sama tahun lalu Rp16,70 miliar.

Sebagai bank swasta terbesar di Indonesia, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) juga meraup laba bersih sebesar Rp7 triliun, tumbuh 7% secara yoy.

Produk andalan bank
Nasabah mencari informasi mengenai kredit pemilikan rumah (KPR) di kantor pusat Menara BTN, Gajahmada, Jakarta, Selasa, 16 Februari 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Tak optimalnya fungsi intermediasi bank, membuat pelaku industri harus mengandalkan produk lainnya. Paul mengatakan ada sejumlah produk yang bisa diandalkan industri ini.

Misalnya, bank dinilai masih bisa menggenjot performa kredit UMKM, utamanya bagi bank yang mendapatkan amanah menyalurkan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

“Ingat bahwa UMKM dapat menyerap lebih dari 100 juta tenaga kerja. Dengan demikian, hal itu memiliki efek yang baik bagi ekonomi kerakyatan,” kata Paul.

Selain itu, lanjut Paul, bank juga akan menggeber pendapatan non bunga alias pendapatan dari komisi (fee-based income). Misalnya pengelolaan rekening, ATM, cash management, wealth management, juga remittance.

“Hal itu bermanfaat untuk mendukung pendapatan ketika pendapatan dari bunga (interest income) menurun,” terang Paul. (SKO)

Artikel ini merupakan serial laporan khusus yang akan bersambung terbit berikutnya berjudul “Tangkal Corona Jilid Dua.”

  1. Tangkal Corona Jilid Dua (Serial 1): Serangan Varian Delta dan Pelajaran dari Negara Lain
  2. Tangkal Corona Jilid Dua (Serial 2): Kocar-Kacir Jokowi Tangani Pandemi
  3. Tangkal Corona Jilid Dua (Serial 3): Simalakama Lockdown, Pertumbuhan Ekonomi, dan Utang Membengkak