Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono dalam konferensi pers Hari Asuransi ke-18 2024 di Jakarta, Jumat, 18 Oktober 2024.
IKNB

Tantangan Struktural Industri Asuransi dari Perspektif Konsumen, Industri, dan Regulator

  • Dari sudut pandang konsumen, Ogi mengungkapkan bahwa literasi dan inklusi terkait produk serta layanan di sektor PPDP masih terbilang rendah. Kondisi ini menyebabkan banyak konsumen yang kurang memahami secara menyeluruh tentang produk-produk asuransi dan dana pensiun yang ditawarkan.

IKNB

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Dalam konferensi pers Hari Asuransi ke-18 tahun 2024 di Jakarta, Jumat, 18 Oktober 2024, Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menekankan pentingnya kolaborasi untuk membangun industri asuransi yang sehat, kuat, dan berkelanjutan. 

Menurutnya, meskipun Indonesia memiliki potensi besar dengan populasi lebih dari 275 juta orang, penetrasi asuransi di negara ini masih tergolong rendah, baik dari segi tingkat penetrasi maupun densitas, jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara.

“Dari tingkat penetrasi, kita terendah di Asia Tenggara. Kemudian, densitas juga rendah sementara dengan 270 juta penduduk, sebenarnya potensi yang dimiliki Indonesia itu sangat besar,” papar Ogi. 

Ogi menjelaskan bahwa kebutuhan masyarakat terhadap asuransi sangat krusial mengingat risiko selalu ada dalam kehidupan manusia, mulai dari kesehatan, pendidikan, hingga keamanan fisik. Oleh karena itu, tagline "Pahami Dulu Baru Miliki" diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya perlindungan asuransi. 

Tantangan Struktural Industri Ditinjau dari Tiga Perspektif

Industri asuransi Indonesia saat ini memiliki 149 perusahaan dengan total aset mencapai Rp1.132 triliun, namun masih ada tantangan yang harus dihadapi, seperti rendahnya pemahaman masyarakat tentang produk asuransi. 

Kompleksitas produk asuransi, khususnya asuransi unit link, seringkali membuat masyarakat tidak memahami risiko yang mereka tanggung. Masih banyak pengaduan dari pemegang polis terkait proses klaim yang lambat dan perusahaan asuransi yang tidak mampu membayar klaim.

Ogi juga menyoroti pentingnya literasi asuransi agar masyarakat memahami perbedaan antara produk asuransi yang berfokus pada proteksi dan yang mengandung unsur investasi. 

Menurutnya, transparansi dan pemahaman ini penting agar masyarakat tidak terjebak dalam produk asuransi yang tidak mereka pahami.

Ogi mengklasifikasikan tiga perspektif dalam menyoroti tantangan struktural bagi industri asuransi, yaitu perspektif konsumen, industri, dan regulator. 

Tantangan dari Perspektif Konsumen

Dari sudut pandang konsumen, Ogi mengungkapkan bahwa literasi dan inklusi terkait produk serta layanan di sektor PPDP masih terbilang rendah. Kondisi ini menyebabkan banyak konsumen yang kurang memahami secara menyeluruh tentang produk-produk asuransi dan dana pensiun yang ditawarkan.

Selain itu, masih terdapat berbagai pengaduan dan kasus hukum yang menimpa sektor ini. Pengaduan konsumen dan gugatan hukum yang melibatkan perusahaan asuransi atau dana pensiun turut menggerus tingkat kepercayaan masyarakat. Banyaknya kasus tersebut memperlihatkan bahwa masih ada celah dalam penyampaian produk serta pelayanan yang diberikan kepada konsumen.

Ogi juga menyoroti kompleksitas produk di sektor PPDP. Produk-produk di sektor ini sering kali sangat beragam dan rumit, sehingga masyarakat sulit untuk memahami manfaat dan risiko yang ada di dalamnya. Hal ini menambah tantangan dalam meningkatkan kepercayaan dan partisipasi masyarakat terhadap sektor asuransi dan dana pensiun.

Tantangan dari Perspektif Industri

Dari perspektif industri, Ogi menekankan bahwa penetrasi dan densitas di sektor asuransi, penjaminan, dan dana pensiun masih tergolong rendah dibandingkan dengan potensi yang ada. Ini menunjukkan bahwa sektor ini belum mampu menjangkau masyarakat luas dan meningkatkan jumlah partisipan secara signifikan.

Selain itu, kebijakan peningkatan permodalan untuk konsolidasi dan penguatan industri juga menjadi tantangan tersendiri. Ogi menekankan pentingnya penguatan struktur permodalan agar sektor ini lebih tangguh dan dapat berkembang lebih baik di masa depan.

Industri perasuransian juga menghadapi kebutuhan akan tenaga ahli yang mumpuni, terutama di bidang aktuaria, investasi, dan teknologi informasi (IT). Keberadaan tenaga ahli di bidang-bidang ini sangat penting untuk mengembangkan produk yang lebih kompetitif dan inovatif, serta untuk memastikan manajemen risiko yang lebih baik.

Digitalisasi dalam kegiatan usaha sektor PPDP juga dinilai belum optimal. Ogi menekankan bahwa digitalisasi seharusnya bisa menjadi salah satu cara untuk memperluas akses masyarakat terhadap layanan perasuransian, namun penerapan teknologi digital di sektor ini masih memerlukan penguatan.

Lebih lanjut, penguatan ekosistem sektor PPDP juga dinilai sangat penting. Ogi mencontohkan keberadaan penjaminan ulang (reinsurance) dan Program Penjaminan Polis sebagai elemen penting yang perlu ditingkatkan untuk memastikan perlindungan konsumen yang lebih baik.

Tantangan dari Perspektif OJK/Makro

Dari sisi regulator, Ogi menyoroti bahwa OJK perlu memastikan alokasi sumber daya pengawasan yang efektif dan efisien, serta didukung oleh infrastruktur yang memadai. Ini penting untuk memastikan bahwa pengawasan terhadap sektor perasuransian dan dana pensiun berjalan dengan baik dan dapat mengantisipasi berbagai risiko yang mungkin timbul.

Selain itu, implementasi UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) menjadi salah satu tantangan besar bagi OJK. Misalnya, OJK harus mempersiapkan pemisahan Unit Usaha Syariah (UUS) Asuransi pada tahun 2026 dan penerapan Program Penjaminan Polis pada tahun 2028. Konsep asuransi wajib yang direncanakan juga memerlukan perumusan kebijakan yang matang agar dapat diterapkan secara efektif.

Ogi juga menekankan pentingnya kesesuaian kerangka pengaturan dan pengawasan dengan standar internasional. Contoh konkret yang diberikan adalah penyesuaian terhadap penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 117, yang mengatur pengakuan dan pengukuran polis asuransi.

Selain itu, dukungan dari berbagai stakeholder di luar OJK, seperti kementerian dan lembaga terkait, sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa semua regulasi dan kebijakan yang diterapkan dapat berjalan dengan baik. 

Koordinasi antarlembaga menjadi faktor kunci dalam menjaga stabilitas dan perkembangan sektor perasuransian di Indonesia.

Penguatan Industri

Untuk memperkuat industri asuransi di dalam negeri, OJK fokus pada penguatan modal minimum perusahaan asuransi, peningkatan kompetensi tenaga ahli di industri, serta digitalisasi. 

Digitalisasi di industri asuransi dinilai penting untuk meningkatkan efisiensi dan memperluas jangkauan produk asuransi kepada masyarakat. 

Ogi menyebutkan bahwa teknologi akan semakin banyak digunakan dalam industri asuransi, seperti insurtech dan platform digital lainnya yang memungkinkan akses ke berbagai produk asuransi secara online.

Lebih lanjut, OJK berkomitmen untuk menerapkan standar internasional di sektor asuransi, seperti IFRS 17 yang akan meningkatkan transparansi dan pengelolaan risiko di perusahaan asuransi. 

OJK juga menyoroti protection gap yang ada di Indonesia, yaitu perbedaan antara dampak kerugian yang bisa terjadi akibat sebuah kejadian dan kemampuan perusahaan asuransi untuk menanggung risiko tersebut. 

Ada lima area protection gap yang diidentifikasi OJK, yaitu bencana alam, kematian, risiko siber, kesehatan, dan pensiun.

Dalam penutupnya, Ogi menekankan bahwa OJK terus berupaya membenahi infrastruktur ekosistem industri asuransi sambil menangani perusahaan-perusahaan asuransi yang bermasalah. Ia berharap dengan kolaborasi dari semua pemangku kepentingan, industri asuransi di Indonesia dapat tumbuh lebih sehat, kuat, dan berkelanjutan.