Tapera Tak Bisa Disamakan Dengan Program BPJS Ketenagakerjaan hingga Kesehatan
- Kehadiran pemerintah dalam Tapera ini sangat kecil, artinya dana berasal dari masyarakat dan saling membantu masyarakat yang membutuhkan dengan alasan azas gotong royong
Properti
JAKARTA - CEO Indonesia Property Watch Ali Tranghanda, menilai Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tak dapat disamakan dengan program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) -Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan hingga program BPJS Kesehatan yang telah ada.
Ali menjelaskan, Tapera merupakan program pengumpulan dana masyarakat yang nantinya akan digunakan sebagai dana murah untuk pembiayaan perumahan, khususnya bagi masyarakat Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang membutuhkan pembiayaan seperti kredit Perumahan Rakyat atau KPR.
"Sehingga dana segar dari Tapera bisa disalurkan melalui perbankan sebagai dana murah. Peserta karyawan yang gajinya dipotong adalah karyawan dengan gaji di atas upah minimum. Karenanya dengan azas gotong royong, dana iuran yang terkumpul akan digunakan untuk membantu masyarakat MBR yang membutuhkan, sedangkan peserta yang mungkin tidak membutuhkan rumah, dananya tidak hilang dan akan dikembali dengan imbal investasi yang wajar," katanya pada Senin, 3 Juni 2024.
Menurutnya, Tapera bukanlah iuran untuk mencicil rumah setiap bulannya. Justru iuran dari semua peserta ini dikumpulkan dan akan dikelola oleh Tapera untuk kepentingan masyarakat yang belum mempunyai rumah untuk memperoleh pembiayaan murah.
Tapera tidak dapat disamakan dengan Manfaat Layanan Tambahan (MLT)-Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan, karena dana ini memang manfaat yang diberikan kepada pesertanya. Diperkirakan potensi dana MLT saat ini sebesar Rp138 triliun dan sejak 2017 baru tersalurkan 4000-an unit dengan nilai Rp 1triliunan.
Artinya masih sangat minim penyalurannya dan BPJSTK terus mengoptimalkan program ini. Penggunaan MLT ini bisa untuk uang muka atau renovasi dan digunakan biasanya untuk rumah non-MBR. Penyaluran MLT ini pun memiliki beberapa kendala karena harus berada 5% di atas BI Rate untuk dapat memberikan manfaat juga bagi BPJSTK. Namun dalam perkembangannya keloaan dana MLT ini bisa disinergikan dengan Tapera.
Masalah lain, Tapera juga tidak bisa disamakan dengan iuran BPJS Kesehatan yang berfungsi sebagai asuransi. Dan penerima manfaat tidak hanya yang non MBR namun semua peserta BPJS Kesehatan.
“Terlepas dari besaran iuran 3%, sebenarnya yang terjadi saat ini merupakan akibat dari banyaknya pengelolaan dana masyarakat yang tidak optimal oleh pemerintah. Dalam perkembangannya masyarakat disuguhkan dengan aksi korupsi dan penyelewangan dana masyarakat yang membuat semakin lama kepercayaan masyakakat semakin berkurang,” jelas Ali.
Selain itu juga kehadiran pemerintah dalam Tapera ini sangat kecil, artinya dana berasal dari masyarakat dan saling membantu masyarakat yang membutuhkan dengan alasan azas gotong royong. Yang terpenting juga masalah pengelolaan dana melalui Manajer Investasi (MI) yang menjadi wajib dalam kelolaan dana Tapera.
Dana yang dikelola oleh MI ini sangat besar dan berpotensi menjadi dana ‘bancakan’ belum lagi besarnya fee yang harus dibayarkan ke MI. Karenanya pengawasan yang ada harus benar, karena saat ini belum ada pasal yang menyebutkan mengenai pengawasan kelolaan dana tersebut. Perwakilan dari pengusaha dan peserta harusnya hadir untuk dapat mengawasi penyaluran dana tersebut.
Tidak hanya sampai disini, perwakilan masyarakat, pengusaha, atau profesional yang diamanatkan juga belum ada di dewan Tapera saat ini dan relatif hanya mewakili golongan tertentu.
Isu-isu ini sudah dibahas sejak tahun 2016 melalui FGD atau diskusi-diskusi dengan asosiasi dan perwakilan masyarakat, namun tentunya dapat dilihat bahwa sampai dikeluarkannya Tapera, belum ada perubahan dan nyaris isu-isu tersebut tidak dipikirkan solusinya oleh pemerintah atau bahkan pemerintah tidak mau pusing dan terkesan memaksakan kehendaknya.
Indonesia Property Watch menilai program Tapera yang harusnya dapat lebih bermanfaat ini jangan sampai tercoreng akibat pengelolaan dana yang buruk. Tidak bisa kita hanya dijanjikan dengan pengelolaan yang bagus tanpa ada bukti dan mekanisme yang jelas mengenai hal tersebut.