Ilustrasi pajak karbon.
Industri

Target Penerimaan Pajak Karbon Sri Mulyani Dipertanyakan

  • Ekonom mempertanyakan besaran penerimaan negara dari sektor pajak karbon.
Industri
Daniel Deha

Daniel Deha

Author

JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan menerapkan pungutan pajak karbon sebesar Rp30 per kilogram bagi pengusaha penyumbang emisis karbon mulai 1 April 2022. Penerapan pajak karbon sejalan dengan visi untuk menurunkan emisi karbon menjadi 29% pada 2030 dan menjadi nol persen pada 2060.

Kepala Peneliti Center of Food, Energy and Sustainable Development Indef Abra P.G Talattov mengapresiasi upaya pemerintah dalam meratifikasi konvensi internasional untuk menurunkan emisis karbon sebagai upaya memitigasi dampak perubahan iklim salah satunya melalui pajak karbon.

Menurut dia, penerapan pajak karbon yang pertama kali dilakukan di Indonesia harus dirancang dan disusun secara terukur, hati-hati dan tidak perlu terlalu tergesa-gesa sehingga bisa memberikan dampak yang lebih signifikan terhadap perekonomian.

Namun, dia mempertanyakan besaran target penerimaan negara dari sektor pajak karbon yang belum ditentukan setelah DPR mengesahkan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) baru-baru ini.

"Kita sampai sejauh ini, belum pernah kita mendapatkan angka proyeksi atau estimasi dari pemerintah, kira-kira penerimaan pajak karbon ini estimasi penerimaan pajak karbon seberapa besar sih. Dan ini berkaitan dengan roadmap pajak karon itu sendiri," ujarnya dalam Diskusi Indef: Menimbang Untung Rugi Pajak Karbon dan Kesiapan Implementasinya, Jumat, 22 Oktober 2021.

Abra mengatakan, secara global, penerimaan negara dari pajak karbon berbeda-beda, berkisar antara US$1 miliar sampai dengan US$8 miliar.

Norwegia, misalnya, memiliki pendapatan US$1.455 juta dari pajak karbon. Sementara Finlandia berada di urutan kedua dengan US$1.420 juta. Negara tetangga di ASEAN, Singapura, memiliki pendapatan US$134 juta.

Abra menegaskan pemerintah perlu membuat peta jalan yang komprehensif mengenai pajak karbon sehingga bisa dilakukan secara berkelanjutan. Melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan sektor energi dan perpajakan sangat diperlukan.

Pasalnya, tidak bisa dipungkiri bahwa selain diimplementasikan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), pajak karbon sebetulnya juga dibuat untuk mengerek penerimaan negara.

Dengan demikian, pemerintah bisa kembali memberlakukan pajak karbon setelah tahun 2025 dengan memperluas sektor-sektor yang bisa dikenakan pajak tersebut, dari saat ini masih menyasar sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara.

"Indikator atau target yang harus dibuktikan (nantinya) dalam pelaksanaan pajak karbon ini adalah apakah penurunan emisi gas rumah kaca berbanding lurus dengan pengenaan pajak karbon," pungkas Abra.

Dia mengingatkan pemerintah agar menerapkan pajak karbon secara lebih hati-hati di tengah industri kelistrikan dan masyarakat yang masih rentan akibat dampak pandemi COVID-19.

Menurut dia, pajak karbon akan berkaitan langsung dengan produksi dan konsumsi listrik nasional. Untuk itu, tujuan mengurangi emisi karbon harus dibarengi dengan penurunan suply listrik dalam negeri.

Dalam sembilan tahun terakhir, surplus listrik nasional mencapai 25%. Dengan asumsi BPP tenaga listrik Rp1.348 per kWh maka over supply yang terjadi pada tahun 2020 mengakibatkan pemborosan keuangan negara sebesar Rp120 triliun dari PLN.

Sementara kompensasi listrik dari APBN pada tahun lalu hanya sebesar Rp17,9 triliun, menurun dari tahun 2019 Rp22,3 triliun. Adapun kompensasi listrik dialokasikan pemerintah dari APBN sejak 2017.

"Pemerintah juga mendorong demand penggunaan listrik atau menurunkan supply listrik secara kesluruhan," pungkas Abra.

Abra menepis rumor bahwa penerapan pajak karbon akan berdampak pada kenaikan tarif listrik. Namun dia berharap pemerintah lebih hati-hati dalam menentukan kenaikan tarif listrik di tengah permintaan yang masih rendah.

"Saya pikir untuk jangka pendek tarif listik tidak akan dinaikkan. Tentu pemerintah akan berhat-hati," katanya.