Ilustrasi kawasan kumuh.
Makroekonomi

Target SDGs Tahun 2030 Semakin Sulit Dicapai Negara Berkembang

  • Hal ini karena dampak perang di Ukraina yang masih berlanjut, inflasi yang cukup tinggi, hingga besarnya suku bunga pinjaman.
Makroekonomi
Rizanatul Fitri

Rizanatul Fitri

Author

JAKARTA -Sejumlah target pembangunan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) di tahun 2030 semakin sulit diraih negara-negara berkembang. Hal ini karena dampak perang di Ukraina yang masih berlanjut, inflasi yang cukup tinggi, hingga besarnya suku bunga pinjaman.

Tak hanya itu, disrupsi rantai pasok global juga menjadi peringatan nyata bahwa krisis ekonomi global masih belum berakhir. Hal itu mengemuka dalam pertemuan Champions Group of the GCRG (Global Crisis Response Group) on Food, Energy, and Finance yang diselenggarakan secara virtual, akhir pekan lalu.

GCRG adalah grup yang dibentuk oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Grup dengan anggota 6 Kepala Negara/Kepala Pemerintahan itu bertujuan mengkoordinasikan kebijakan dan implementasi untuk mengatasi krisis yang muncul dari dampak konflik Rusia-Ukraina dan COVID-19.

Saat ini ada 9 Kepala Negara dan Pemerintahan yang menjadi anggota Champion GCRG, termasuk pro tempore chairs dari G7 (Jepang), G20 (India) dan Uni Afrika (Komoro). Sekretaris Jenderal UNCTAD, Rebeca Grynspan, melaporkan keberadaan GCRG masih diperlukan dalam merespon tantangan global saat ini, terutama di bidang Pangan, Energi dan Keuangan.

Sustainable Development Goals

“Sekarang kita melihat kondisi global berubah dari fast developing crisis menuju slow moving developing crisis”, ujar Rebeca dikutip dari ekon.go.id, Senin 24 Juli 2023. Selain laporan perihal krisis hutang global berjudul “A World of Debt”, GCRG juga telah mengeluarkan Global Vulnerability Assessment, di mana ada 30 negara yang masuk kategori lebih rentan daripada sebelumnya. 

Adapun hanya ada 10 negara yang keluar dari kategori rentan. Sementara dalam parameter Human Development Index (HDI), terdapat 111 negara telah mengalami penurunan nilai dibandingkan tahun 2022. Harga komoditas pangan dan pupuk tercatat turun, namun banyak negara berkembang yang tidak merasakan dampaknya.

Hal ini terjadi karena adanya inflasi dan kemerosotan nilai tukar mata uang. Terhentinya Black Sea Initiatives atau Kesepakatan Laut Hitam juga membuat harga komoditas gandum dan jagung naik secara signifikan. Rebeca mengingatkan harga pupuk masih 48% di atas harga rata-rata pasar sebelum perang di Ukraina. 

Angka Kemiskinan Meningkat

Hal ini mengakibatkan angka kemiskinan dan angka kelaparan meningkat dibandingkan tahun lalu berdasarkan laporan Food and Agriculture Organization (FAO). Harga energi dunia tercatat mengalami penurunan. Namun harga ini tergolong masih tinggi dan memberikan dampak luas di mana masih sangat besar penduduk dunia yang terancam tidak dapat membayar listrik. 

Tingginya harga energi juga memberikan dampak proses rantai pasok dunia, seperti di transportasi dan logistik. Beralih ke bidang keuangan, terdapat 3,3 miliar orang saat ini tinggal di negara-negara di mana pembayaran bunga utang melebihi belanja mereka untuk kesehatan dan pendidikan. “Pentingnya restrukturisasi utang, terutama bagi 52 negara yang tengah mengalami kondisi keuangan yang sulit,” demikian solusi yang ditawarkan dalam laporan GCRG.

Sementara itu, Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan tekad pemerintah Indonesia untuk mempercepat penerapan Common Framework for Debt Treatments dan mendukung G20 Note on the Global Debt Landscape

Pemerintah Indonesia juga menyambut baik Global Sovereign Debt Roundtable untuk memperkuat komunikasi dan toleransi di antara para pemangku kepentingan. Sebagai Ketua ASEAN tahun ini, Indonesia juga menyadari dampak yang ditimbulkan dari ketidakpastian global bagi negara-negara anggota ASEAN.  “Memperkuat ketahanan ASEAN dalam menghadapi future shocks merupakan langkah paling penting” tandas Airlangga.