<p>Ilustrasi  / Foto: Sanyangtaxconsultants.com</p>
Industri

Tarif Cukai Rokok Sederhana, Lindungi Industri Kecil Hingga Duit Negara

  • Narasi simplifikasi alias penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT) terus mendapat respons pro dan kontra. Sejumlah pihak mendukung simplifikasi karena dianggap memiliki banyak keuntungan bagi negara dan industri rokok.

Industri
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Narasi simplifikasi alias penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT) terus mendapat respons pro dan kontra. Sejumlah pihak mendukung simplifikasi karena dianggap memiliki banyak keuntungan bagi negara dan industri rokok.

Di sisi lain, penolakan justru datang dari petani dan industri rokok menengah dan kecil yang menganggap simplifikasi hanya akan membuat persaingan bisnis menjadi tidak sehat.

Terlepas dari perbedaan pandangan tersebut, faktanya, kerumitan struktur tarif CHT di Indonesia membuat banyak tujuan sering kali tidak sejalan satu sama lain.

Sebut saja optimalisasi penerimaan negara, pengendalian konsumsi tembakau guna menyokong sektor kesehatan, dan mewujudkan kesinambungan bisnis dan ketenagakerjaan sebagai beberapa di antaranya.

Bahkan, Bank Dunia menyebut CHT di Indonesia merupakan salah satu yang paling rumit di dunia dengan sistem multi-tier berdasarkan produk tembakau, jumlah produksi, dan harga jual eceran (HJE) per unit.

Di satu sisi, CHT merupakan salah satu kontributor besar dalam penerimaan negara. Melansir data Kementerian Keuangan, kontribusi CHT terhadap penerimaan perpajakan pada 2018 dan 2019 mencapai 10,07% dan 10,67%.

Satu dekade lalu, kontribusi CHT tercatat hanya berkisar 8% dari total penerimaan perpajakan. Tidak hanya itu, ada lebih dari 5 juta orang yang menggantungkan hidupnya di industri hasil tembakau (IHT).

Rokok ilegal di Sidoarjo/ Sumber: beacukai.go.id

Membentuk Iklim Usaha Sehat

Mencermati kondisi terkini, Bawono Kritiaji, Partner, Tax Research & Training Services DDTC menilai simplifikasi sangat penting untuk menciptakan suatu iklim usaha yang kondusif. Dengan kata lain, kebijakan CHT di Indonesia sudah seharusnya mengakomodasi persaingan yang dirasa adil dan tidak berpihak.

“Simplifikasi sendiri memiliki urgensi paling tinggi dalam konteks IHT di Indonesia. Sebagai catatan pula, kekhawatiran apabila simplifikasi akan menyebabkan terjadinya oligopoli atau monopoli di dalam pasar justru kurang beralasan.”

Terlebih, apabila ditelaah lebih jauh, penurunan jumlah pabrikan IHT justru tidak disebabkan oleh simplifikasi melainkan karena regulasi lain di luar CHT. Di sisi lain, simplifikasi justru dapat mendorong terciptanya level of playing field yang lebih setara.

“Oleh karenanya, kebijakan cukai yang berimbang akan sangat berdampak luas bagi kondisi perekonomian negara,” kata Bawono.

Atas dasar latar belakang dan permasalahan fundamental tersebut, Bawono memaparkan perlu ada kebijakan CHT yang dianggap ideal untuk menyeimbangkan banyak aspek. Utamanya, melanjutkan peta jalan simplifikasi strata tarif CHT yang mengacu pada PMK 146/2017.

Dari sisi ekonomi, tarif cukai bukanlah satu-satunya instrumen untuk menambah penerimaan negara. Sejumlah penelitian menyebut salah satu langkah yang dapat diambil pemerintah adalah simplifikasi struktur tarif CHT.

Artinya, sistem pengenaan cukai hari ini dianggap kurang optimal karena lapisan tarif yang banyak terbukti menyisakan ruang bagi pelaku industri untuk menghindarkan kewajiban membayar cukai yang semestinya.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani saat hadir pada Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 2 September 2020. Raker tersebut membahas asumsi dasar Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Rencana Pemerintah

Kabar baiknya, pemerintah kembali berniat menyederhanakan struktur tarif cukai rokok dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020-2024. 

Hal ini didukung oleh Kementerian Keuangan yang telah menerbitkan PMK 77/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020 – 2024. 

Sebelumnya, penyederhanaan struktur tarif cukai tertuang dalam PMK 146/2017 tentang tarif cukai hasil tembakau (CHT). Dalam aturan tersebut, pemerintah akan menyederhanakan dari 12 layer pada tahun 2017 dan menjadi 5 layer pada 2021. 

Tujuannya, untuk mengoptimalisasi penerimaan CHT, meningkatkan kepatuhan pengusaha pabrik serta penyederhanaan sistem administrasi di bidang cukai.

Sayangnya, kebijakan tersebut hanya berjalan satu tahun pada 2018 dan tidak dijalankan kembali. Hingga kini, struktur tarif cukai dengan 10 layer dipertahankan untuk tahun fiskal 2019.

Ilustrasi pedagang rokok eceran / Bungkusrokok.com

Dampak Positif Simplifikasi

Sekjen Transparansi International Indonesia (TII), Danang Widoyoko menyatakan “Berbagai studi telah menyarankan bahwa penyederhanaan struktur tarif cukai rokok merupakan best practice bagi pengendalian konsumsi rokok.”

Studi membuktikan, struktur tarif yang diterapkan saat ini membuka peluang dan memberikan insentif bagi perusahaan besar multinasional untuk membayar cukai lebih rendah yang pada akhirnya berpotensi merugikan negara dalam jumlah besar.

Riset dari Pusat Kajian dan Pengembangan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PKPM FEB UB) menunjukkan kompleksitas tarif CHT memberikan celah penghindaran pajak (tax avoidance) beberapa perusahaan besar multinasional.

Kecurigaan ini bukan hanya datang dari berbagai riset, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah lama mencium gelagat pengindaran pajak oleh pabrikan rokok besar. Fungsional Utama Kedeputian Pencegahan Niken Ariati mengakui KPK sudah melakukan kajian terkait dengan masalah cukai tembakau ini sejak 2010.

“Memang kita sudah melihat bahwa banyak pengusaha yang mencari celah dari regulasi tersebut, misalnya perusahaan berupaya agar jumlah produksinya tidak melebihi plafon sehingga tarifnya lebih rendah,” ujarnya.

Artinya, sistem cukai saat ini memungkinkan perusahaan rokok besar bersiasat dengan menahan produksi untuk bisa membayar di golongan yang lebih rendah.

Selain itu, perusahaan juga mengalihkan jumlah produksinya dengan membuat perusahaan-perusahaan baru agar jika dihitung, produksi dari masing-masing perusahaan tidak menyentuh golongan I atau yang dikenai tarif cukai tertinggi.

Ilustrasi rokok linting / id.quora.com

Celah Tarif Cukai

“Dengan banyaknya golongan, masih ada perusahaan besar dan asing yang membayar cukai lebih rendah. Dimanfaatkan pemain-pemain besar  untuk menahan produksi supaya dia tidak membayar cukai di golongan I,” kata Abdul Ghofar, Ketua Tim Peneliti PKPM FEB UB dalam diskusi secara virtual, Senin, 7 September 2020.

Kompleksitas tarif cukai termaksud adalah banyaknya layer atau penggolongan tarif CHT. Saat ini, Indonesia masih menerapkan sistem CHT dengan 10 layer.

Padahal, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 146/2017 yang berisi peta jalan roadmap simplifikasi ke 5 layer pada 2021

Tidak hanya itu, kebijakan simplifikasi justru tidak berdampak signifikan bagi pabrik rokok menengah dan kecil seperti yang selama ini dikhawatirkan. Selama ini mereka memang dilindungi oleh tarif yang lebih rendah, karena tergolong usaha kecil, menyerap tenaga kerja banyak, dan kandungan bahan baku lokalnya tinggi.

Itulah sebabnya KPK mendorong pemerintah untuk menerapkan sistem penarifan cukai yang lebih sederhana dan transparan. Misalnya berdasarkan jumlah produksi gabungan rokok mesin suatu perusahaan.

“Kemudian pemilik perusahaannya juga ditelusuri. Kalau kita ingin melindungi UKM kan jadinya juga enggak berguna, kalau ternyata yang punya UKM juga perusahaan besar,” katanya.

Ilustrasi rokok Gudang Garam. / Gudanggaramtbk.com

Banyak Modus Perusahaan Besar

KPK menyoroti kecenderungan perusahaan yang berupaya untuk menghindari tarif cukai yang tinggi dengan cara membuat perusahaan baru, namun sebenarnya memiliki afiliasi yang sama.

Adapun, penggolongan tarif cukai berdasarkan pada batasan produksi yakni 3 miliar batang per tahun. Apabila pabrik rokok memproduki kurang dari 3 miliar batang per tahun, maka akan dimasukkan dalam golongan 2 atau 2 ke bawah, artinya akan membayar cukai yang lebih rendah.

Sementara golongan I diisi pemain kelas kakap yang mampu memproduki rokok di atas 3 miliar batang per tahun. Masalahnya, banyak pabrik rokok besar dan termasuk multi national company (MNC) yang masih bermain di golongan II.

Penelitian Ghofar dan tim menyebut, apabila pemerintah merealisasikan simplifikasi sesuai dengan PMK 146/2017, aka nada beberapa perusahaan yang naik golongan.

Sebut saja, Japan Tobacco International (JTI) yang saat ini berada di golongan II dan II B untuk jenis sigaret kretek mesin (SKM). Lalu di jenis sigaret putih mesin (SPM) ada British American Tobacco (BAT) dan Korean Tobacco & Ginseng di golongan II.

“Di sigaret kretek tangan (SKT), malah lebih parah, ada BAT yang masih membayar di golongan III,” tambah Ghofar.

Ghofar menegaskan, perusahaan rokok yang mampu memproduksi 3 miliar batang rokok adalah perusahaan besar. Bayangkan, dengan asumsi sederhana saja yaitu per batang hanya dijual Rp1.000, maka perusahaan telah mendapatkan omzet Rp3 triliun.

“Mana ada perusahaan menengah omzetnya Rp3 triliun? Itu perusahaan besar, harus bayar cukai di golongan tertinggi,” tegas Ghofar.

Ilustrasi Pajak / Sumber: id.pinterest.com

Modus Penghindaran Pajak

Bagaimana perusahaan besar tersebut membayar cukai di golongan rendah? Seperti sudah disebutkan sebelumnya, kebijakan penggolongan tarif cukai hanya berdasarkan volume produksi. Artinya, tidak ada akumulasi dari perusahaan yang saling terafiliasi atau biasa disebut sister company.

Padahal, pemerintah sebelumnya telah menyadari adanya praktek penghindaran pajak seperti ini. Pada PMK 131/2013 sudah dijelaskan soal hubungan keterkaitan, artinya volume produksi dari sister company akan disatukan.

Ada tiga kriteria di mana perusahaan dianggap berafiliasi dengan perusahaan lain. Pertama, apabila ada penyertaan modal 20% atau 10% di masing-masing perusahaan. Kedua, aspek menajemen kunci, ada direksi atau komisaris yang menjadi pengurus di perusahaan lain.

Ketiga, dari  aspek bahan baku, yakni jika perusahaan memakai bahan baku irisan tembakau lebih dari 10% maka diangap punya hubungan istimewa. Masalahnya, kriteria ‘hubungan  darah’ ini telah dihapus.  

Akibatnya, negara menderita kehilangan potensi penerimaan dari optimalisasi CHT. Maka, Ghofar merekomendasikan kembali dijalankannya peta jalan simplifikasi tarif cukai.

Ternyata, jika tarif cukai disimplifikasi dari 10 layer ke 5 layer potensi penerimaan negara pada 2020 naik Rp0,06 triliun, 2021 Rp2,9 triliun, 2022 Rp2,73 triliun, 2023 Rp4,4 triliun.

Sehingga potensi penerimaan negara  selama empat tahun melakukan simplifikasi dapat mencapai Rp10 triliun lebih.

“Ini tidak bisa didapatkan negara kalau simplifikasi tidak dilakukan,” tegasnya.

Pabrik rokok HM Sampoerna. / Facebook @InsideSampoerna

Penelitian Berbeda

Penelitian dari Forum for Socio-Economic Studies (Foses) memberikan pandangan perbeda terkait isu penyederhanaan struktur tarif cukai rokok. Menurut riset tersebut, simplifikasi itu akan menimbulkan sejumlah masalah di IHT, utamanya soal persaingan pabrik rokok kecil dan pabrik besar.

Putra Perdana, salah satu peneliti dari Foses memaparkan penyederhanaan ini akan menimbulkan persaingan yang tidak adil. Sebab, hal itu akan memaksa perusahaan rokok kecil atau rumahan bersaing dengan perusahaan rokok besar.

Padahal, serapan tenaga kerja di industri ini disebabkan ragam kategori pabrikan yang ada di Indonesia mulai dari pabrikan kecil, menengah hingga besar. Sehingga, apabila struktur dibuat sederhana, maka persaingan menjadi tidak sehat.

“Penyederhanaan struktur tarif cukai memiliki dampak negatif terhadap industri dan tenaga kerja. Hal ini ditunjukkan dari simulasi penyederhanaan struktur tarif cukai model estimasi simplifikasi dari 10 layer ke 6 layer,” kata Putra, Rabu, 17 Juni 2020.

Produk rokok HM Sampoerna. / TrenAsia-Sukirno

Simulasi Simplifikasi

Hasil simulasi menunjukkan setiap terjadi pengurangan 1 layer dari struktur tarif CHT akan berpotensi pada turunnya sejumlah aspek. Misalnya volume produksi rokok sigaret kretek mesin (SKM) sebesar 7%, sigaret kretek tangan (SKT) sebesar 9%, dan sigaret putih mesin (SPM) sebesar 6%.

“Artinya, ada indikasi penyederhanaan tarif CHT dari 10 layer menjadi 6 layer berpotensi menurunkan tenaga kerja IHT sebesar 18,4 % dan menurunkan volume produksi rokok sebesar 3,6%,” papar Putra.

Dalam risetnya, Putra menjelaskan hasil implementasi kebijakan PMK periode 2015-2018 selalu memberikan pengaruh negatif terhadap jumlah tenaga kerja di sektor IHT.

PMK yang terbit tahun 2016, 2017 dan 2018 secara berturut-turut terindikasi berkontribusi pada penurunan jumlah tenaga kerja IHT sebesar 7,77 %, 4,26 % dan 4,88 %.

Sebagai informasi, selama ini pabrikan besar biasanya menyerap tembakau kualitas tertinggi. Dengan menghasilkan produk dengan volume tertinggi di atas 3 miliar batang per tahun untuk SKM dan SPM, serta di atas 2 miliar untuk SKT.  

Di sisi lain, pabrikan menengah dan kecil, menyerap kualitas tembakau yang ada di bawahnya, serta menghasilkan volume produksi yang lebih kecil pula.

“Keberagaman pabrikan dan tingkatan inilah yang menghidupkan IHT di Indonesia selama berpuluh tahun menjadi industri yang strategis serta memberi kontribusi yang positif kepada negara,” tegasnya. 

Disinggung soal penyederhanaan tarif cukai, Agus Parmuji dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menegaskan pihaknya sudah sejak awal menentang agenda ini. “Kami protes sejak tahun lalu agar jangan dilaksanakan karena IHT itu, kan, terbagi besar menengah, kecil.”

Dalam pandangannya, keberadaan pabrikan yang beragam akan menciptakan kompetisi penyerapan tembakau lokal, khususnya yang kualitasnya sedang. Karena tembakau kualitas sedang ini paling banyak diserap industri menengah ke bawah. (SKO)