<p>Ilustrasi Mata Uang Kripto / Pixabay.com</p>
Fintech

Tarif Pajak Transaksi Aset Kripto yang Ideal Menurut Aspakrindo

  • Asosiasi Pedagang Kripto Indonesia (Aspakrindo) menilai pengenaan pajak transaksi aset kripto yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terlalu tinggi dan dapat membebankan para investor.
Fintech
Idham Nur Indrajaya

Idham Nur Indrajaya

Author

JAKARTA – Asosiasi Pedagang Kripto Indonesia (Aspakrindo) menilai pengenaan pajak transaksi aset kripto yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terlalu tinggi dan dapat membebankan para investor. Mereka pun menyebutkan tarif pajak transaksi aset kripto yang dinilai lebih ideal untuk menumbuhkembangkan cryptocurrency di Indonesia. 

Aturan mengenai pajak yang akan mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2022 mendatang itu tercantuma dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 68/PMK.03/2022 yang ditetapkan Menkeu Sri Mulyani pada 30 Maret 2022. 

Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa setiap transaksi kripto yang diselenggarakan oleh pedagang fisik kripto akan dikenai PPN 1% sementara transaksi yang tidak diselenggarakan oleh pedagang fisik kripto akan dikenai PPN 2%. 

Kemudian, PPh 0,1% yang tidak termasuk PPN, berlaku bagi penjual aset kripto, pedagang fisik kripto sebagai penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik, dan penambang aset kripto. Untuk penyelenggara perdagangan yang bukan pedagang fisik kripto, dikenai PPH 0,2%. 

Ketua Umum Aspakrindo Teguh Kurniawan Harmanda mengatakan bahwa para pedagang fisik aset kripto sebenarnya menyambut baik pemberlakuan pajak terhadap transaksi cryptocurrency di Indonesia.  

“Kami yakin peraturan pajak ini dibuat dengan niat dan tujuan yang baik oleh pemerintah. Ini juga merupakan langkah yang baik untuk mendukung berkembangnya industri aset kripto yang dipadang memiliki legitimasi yang kuat,” kata pria yang akrab disapa Manda sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis, Selasa, 12 April 2022. 

Meski demikian, Aspakrindo menilai bahwa ketentuan pajak yang saat ini ditetapkan dapat menghambat perkembangan industri aset kripto di Indonesia karena beban yang tinggi dapat memicu investor untuk bertransaksi dengan crypto exchange di luar negeri. 

Aspakrindo menyoroti pertimbangan tarif PPN final sementara banyak negara seperti Singapura, Malaysia, dan sejumlah negara di Eropa tidak memungut PPN atas transaksi aset kripto. 

“Singapura telah mengecualikan aset kripto dari Goods and Services Tax (GST) dan merinci pengenaan pajak atas aset kripto sesuai kategorinya, seperti token pembayaran, token sekuritas, dan token utilitas. Namun, pedagang aset kripto dikenakan pajak atas jasa yang diberikan kepada pengguna,” papar Manda. 

Tarif Pajak yang Ideal

Aspakrindo menganggap bahwa keringanan pajak akan menjadi alasan kuat bagi para investor aset kripto untuk bertahan di exchange dalam negeri. 

Aspakrindo pun sebelumnya telah mengajukan skema pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,05%. Apabila dihitung dari nilai transaksi aset kripto di Indonesia pada tahun lalu yang mencapai Rp859,4 triliun, maka negara sudah menerima sekitar Rp429,7 miliar. 

“Pada dasarnya bukan melihat dari sisi berapa besar nilai yang harus dikenakan pajak, tapi bagaimana agar regulasi ini bisa berkembang, sehingga nilainya akan mengikuti perkembangan itu sendiri. Dalam 2-3 tahun ke depan, transaksi kripto diprediksi berpotensi menyumbang pajak hingga triliunan rupiah,” ucap Manda.

Menurut Manda, pajak yang terlalu tinggi akan membuat investor merasa rugi. Pasalnya, ketika mereka memperoleh profit dari aset kripto yang diinvestasikan, mereka akan dipungut pajak. Namun, para investor juga tidak mendapatkan pengurangan pajak jika mengalami kerugian. 

Untuk mendukung langkah pemerintah dalam mengadopsi industri aset kripto di Indonesia, Aspakrindo pun menyatakan siap berkoordinasi dengan Kemenkeu untuk diskusi dalam pengambilan keputusan terkait mengenai pajak transaksi aset kripto

“Kami selaku pelaku industri aset kripto senantiasa ingin berkomunikasi bersama dengan pemerintah termasuk pelaksanaan aturan perpajakan ini agar bisa berasaskan keadilan. Kami sebenarnya tidak pernah menolak, tapi berharap seharusnya semua pelaku industri dilibatkan. Jadi hasilnya bisa fair untuk semuanya,” ujar Manda.