logo
Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di perairan Banten. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Korporasi

Tarif Royalti Minerba Dikaji Naik: Ini Dampaknya ke PTBA, ANTM, hingga AMMN

  • Pemerintah melalui Kementerian ESDM tengah mengkaji kenaikan tarif royalti minerba untuk meningkatkan PNBP. Kebijakan ini berpotensi menekan kinerja emiten tambang besar seperti PTBA, ITMG, INCO, dan ANTM.

Korporasi

Alvin Bagaskara

JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah membahas rencana kenaikan tarif royalti minerba. Rancangan amandemen tarif ini masih dikaji dalam forum konsultasi publik sejak 8 Maret 2025.

Pemerintah berencana menaikkan tarif royalti nikel, tembaga, dan emas. Penyesuaian tarif royalti batu bara juga diusulkan berdasarkan kontrak dan Harga Batu Bara Acuan (HBA), menargetkan tambahan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor pertambangan.

Untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan PKP2B, royalti batu bara kalori ≤4.200 dan >4.200–5.200 akan naik 1 persen jika HBA di atas US$90 per ton. Khusus PKP2B, Penerimaan Hasil Tambang (PHT) justru akan turun 1 persen.

Sementara itu, bagi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), pemerintah mengusulkan penyesuaian rentang tarif royalti dan Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan). PPh Badan yang semula 22 persen akan disesuaikan mengikuti ketentuan pajak penghasilan yang berlaku saat ini.

Selain batu bara, komoditas mineral seperti bijih tembaga dan feronikel akan mengalami kenaikan royalti signifikan. Royalti bijih tembaga akan naik dari 5 persen menjadi 15 persen. Sedangkan feronikel naik dari 2 persen menjadi 5 persen.

Alhasil, kenaikan tarif royalti diprediksi menekan kinerja perusahaan tambang nasional. Misalnya, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) sebagai produsen batu bara menjadi dua emiten yang paling terdampak dari kebijakan tersebut.

Di samping itu, emiten produsen mineral yang berpotensi tertekan antara lain PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL), PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS), dan PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN).

Investment Analyst Stockbit Sekuritas, Hendriko Gani mengatakan lonjakan royalti tembaga dari 5 persen menjadi 15 persen akan memangkas profit emiten tambang tembaga, mengingat harga tembaga global kini menyentuh US$9.362 per ton.

Namun, emiten batu bara berkontrak IUPK justru bisa diuntungkan. Dengan HBA Maret 2025 sebesar US$128 per ton, perusahaan seperti PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Indika Energy Tbk (INDY), dan PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) berpotensi meraup untung.

Meski pemerintah ingin menambah PNBP, pelaku industri khawatir dampaknya pada daya saing tambang nasional, khususnya nikel dan tembaga. Investor diminta mencermati rencana ini karena berpotensi menggerus prospek laba perusahaan tambang.

Saat ini, pemerintah masih membuka dialog dan konsultasi publik guna menampung masukan dari pelaku industri, asosiasi, dan emiten terkait sebelum aturan final disahkan menjadi kebijakan resmi dan diberlakukan ke semua sektor pertambangan.

Dari sisi pergerakan saham perdagangan hari ini Senin, 10 Maret 2025, pukul 11.04 WIB, saham ANTM terpantau longsor 4,60% ke level Rp1.555 per saham. Ini disusul oleh PTBA dan INCO yang masing-masing melemah 1,18% ke level Rp2.520 per saham dan 8,71% ke level Rp2.830 per saham.