<p>Presiden Joko Widodo saat sosialisasi pengampunan pajak alias tax amnesty / Dok. BPMI Setpres</p>
Nasional

Tax Amensty II Mulai Januari 2022: Kerek Penerimaan Negara atau Manjakan Orang Kaya?

  • JAKARTA -- Pemerintah kembali memberlakukan program pengampunan pajak atau Tax Amnesty jilid II untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak Indonesia. Kebijakan in

Nasional

Daniel Deha

JAKARTA -- Pemerintah kembali memberlakukan program pengampunan pajak atau Tax Amnesty Jilid II untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak Indonesia. Kebijakan ini segera menjadi topik utama pemberitaan media nasional pada Jumat, 1 Oktober 2021.

Dalam RUU HPP, program Tax Amnesty II mulai berlaku sejak 1 Januari sampai 20 Juni 2022. Sementara, untuk pengalihan aset Wajib Pajak paling lambat 30 September 2020.

Adapun ketentuan Tax Amnesty II tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang telah disepakati DPR, berikutnya dibawa ke sidang paripurna untuk disahkan menjadi UU pada Kamis, 30 September 2021.

Pemerintah dan DPR boleh dibilang sangat cepat membahas RUU HPP ini. Karena publik secara tiba-tiba mendapatkan informasi bahwa RUU ini sudah disetujui DPR.

Sementara, sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani hanya berbicara blak-blakan mengenai revisi RUU KUP tahun ini tanpa mempertegas pembahasan RUU ini.

Pengesahan RUU HPP ini disebut masih menunggu kesepakatan Badan Musyawarah DPR RI terkait pelaksanaan sidang paripurna yang direncanakan pekan depan.

RUU HPP sendiri merupakan nama baru dari RUU tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021.

Salah satu poin penting dalam RUU KUP ini adalah mengatur pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela.

Adapun program ini dijalankan melalui pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) berdaasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program Tax Amnesty dan pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahuan (SPT) PPh orang pribadi Tahun Pajak 2019.

Namun dalam RUU HPP ketentuannya berubah, dimana wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang Direktur Jenderal Pajak (DJP) belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud.

Harta bersih yang dimaksud di sini adalah nilai harta dikurangi nilai utang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Dua Skema

Berdasarkan draft RUU HPP yang diperoleh, terlihat bahwa ada dua skema penting mengenai program pengungkapan harta sukarela Wajib Pajak tahun depan.

Pertama, pengungkapan harta bersih yang diperoleh mulai 1 Januari 1985 sampai Desember 2015. Kemudian pengungkapan harta yang diperoleh sejak 1 Januari 2016 hingga 31 Desember 2020 berlaku.

Kedua program ini akan berlaku mulai 1 Januari-30 Juni 2022 mendatang.

Untuk periode tahun 1985-2015, pemerintah menetapkan tarif Wajib Pajak sebagai berikut:

a. 6% atas harta bersih yang berada di dalam wilayah NKR dan diinvestasikan ke sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan dan surat berharga negara.

b. 8% atas harta bersih yang berada di dalam wilayah NKRI jika tidak diinvestasikan pada kedua sektor tersebut di atas.

c. 6% atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI yang dialihkan untuk diinvestasikan pada kedua sektor di atas.

d. 8% atas harta bersih yang berada di luar wilayah NKRI yang tidak dialihkan dan tidak diinvestasikan pad kedua sektor tersebut.

e. 11% atas harta bersih yang berada di luar NKRI yang  tidak dialihkan ke dalam negeri.

Selanjutnya, untuk pengungkapan harta periode tahun 2016-2020 sebagai berikut:

a. 12% untuk harta di wilayah NKRI dan diinvestasikan kepada ke sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan dan surat berharga negara.

b. 14% jika tidak diinvstasikan di kedua sektor tersebut.

c. 12% untuk harta di luar negeri yang dialihkan dan diinvestasikan pada kedua sektor tersebut.

d. 14% untuk harta di luar negeri yang diallihkan ke NKRI tetapi tidak diinvestasikan di kedua sektor tersebut.

e. 18% untuk harta di luar negeri yang tidak dialihkan ke dalam negeri.

Dasar pengenaan pajak yakni sebesar jumlah harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan.

Adapun nilai harta yang dijadikan pedoman untuk menghitung besarnya jumlah harta bersih juga dihitung dengan lima ketentuan.

Pertama, nilai nominal untuk harta berupa kas atau setara kas. Kedua, nilai yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah dan/atau bangunan serta nilai jual kendaraan bermotor.

Ketiga, nilai yang dipublikasikan oleh PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) untuk emas dan perak. 
Keempat, nilai yang dipublikasikan oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk saham dan waran yang diperjualbelikan di BEI.

Kelima, nilai yang dipublikasikan oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia untuk surat berharga negara dan efek bersifat utang dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh perusahaan sesuai kondisi dan keadaan harta pada akhir Tahun Pajak terakhir.

Jika tidak terdapat nilai yang dapat dijadikan pedoman dengan 5 ketentuan di atas, maka nilai harta ditentukan berdasarkan nilai dari hasil penilaian kantor jasa penilai publik.

Refromasi Perpajakan

Menteri Keuangan mengatakan bahwa RUU HPP dikebut guna mendorong reformasi di bidang perpajakan, termasuk untuk mengerek penerimaan.

"RUU (HPP) ini merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rangkaian panjang reformasi perpajakan yang telah dan sedang dilakukan, baik reformasi administrasi maupun reformasi kebijakan, dan akan menjadi batu pijakan yang penting bagi proses reformasi selanjutnya,” katanya dalam keterangan resmi, Kamis.

Dia memastikan bahwa RUU HPP bertujuan mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum.

"Selain itu, RUU ini diharapkan terus meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak," imbuhnya.

Tahun depan, pemerintah menargetkan pendapatan negara mencapai Rp1.743,6 triliun yang terdiri penerimaan perpajakan ditargetkan mencapai Rp1.444,5 triliun.

Penerimaan pajak diproyeksikan akan mencapai Rp1.229,6 triliun atau tumbuh optimal sekitar 2,6% dari target Perpres Nomor 72 Tahun 2020, dengan fokus memberikan dukungan insentif secara selektif dan terukur untuk percepatan pemulihan ekonomi serta melanjutkan reformasi pajak.

Pemerintah berupaya menekan defisit APBN masih cukup besar. Tahun depan, defisit APBN ditargetkan 4,85% terhadap PDB.

Dimana dalam postur APBN 2022, pendapatan negara direncanakan sebesar Rp1.846,1 triliun dan belanja negara sebesar Rp2.714,2 triliun.

Dalam RUU HPP terbaru, tergambar dengan jelas upaya pemerintah untuk menambal defisit APBN dengan melakukan reformasi perpajakan. Salah satunya menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11%,

Selain itu, ada juga pengenaan pajak atas natura, pengaturan mengenai tindak lanjut atas putusan Mutual Agreement Procedure (MAP), pengaturan kembali besaran sanksi administratif dalam proses keberatan dan banding, serta penyempurnaan beberapa ketentuan penegakan hukum perpajakan.

Yang santer dilakukan belakangan ini adalah praktik door to door yang dilakukan Ditjen Pajak untuk membidik pengemplang pajak. Dalam target pemerintah, tahun ini sektor pajak bisa menyetor Rp1.229,6 triliun.

Namun sampai Agustus 2021, penerimaan pajak yang baru tercapai Rp741,3 triliun atau 60,3% terhadap pagu anggaran 2021.

Melalui RUU HPP, Sri Mulyani bermaksud memperkuat reformasi administrasi sektor perpajakan. Salah satunya dengan menggabungkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP untuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 83/2021.

"Implementasi berbagai ketentuan yang termuat dalam RUU ini diharapkan akan berperan dalam mendukung upaya percepatan pemulihan ekonomi dan mewujudkan perekonomian yang berkelanjutan," ungkapnya.

Bukan Usulan Pemerintah

Ekonom Faisal Basri sebelumnya mengatakan bahwa program Tax Amnesty bukan berasal dari usulan Kementerian Keuangan tapi diusulkan oleh pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri Indonesia.

"Tax amnesty itu bukan berasal dari Kementerian Keuangan. Bukan dari draf revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Tapi, (itu) minta dimasukkan oleh yang namanya Airlangga Hartarto," ungkap Faisal dalam diskusi online Indef belum lama ini.

Dia menegaskan banyak pengusaha yang bandel dengan tidak membayar pajak dan berharap mendapat santunan dari pemerintahan Presiden Joko Widodo.

"Mungkin mereka mendukung Jokowi (Presiden RI). Kalau Jokowi selesai, mereka akan diburu (pajak) lagi. Mereka takut nih. Makanya ada Tax Amnesty Jilid II," katanya.

Dia menambahkan, dalam program Tax Amnesty sebelumnya, banyak pengusaha yang menghindari pelaporan pajak. Disebutkan denda untuk mereka yang tidak mengikuti program Tax Amnesty sebesar 300%.

"Denda 300 persen bisa miskin. Bisa tinggal 10 persen kekayaan mereka. Makanya mereka ini minta Tax Amnesty Jilid II. Supaya kekayaan tidak diambil pemerintah," pungkasnya.*