Tax Amnesty Berulang Bisa Merusak Reputasi Pemerintah
- Kebijakan Tax Amnesty Jilid 3 dilakukan karena kebutuhan mendesak untuk meningkatkan penerimaan negara. Pemerintah menghadapi tantangan besar, terutama dalam kondisi ekonomi yang melambat dan konsumsi masyarakat yang menurun.
Nasional
JAKARTA - Kebijakan Tax Amnesty Jilid 3 menjadi topik perbincangan hangat di kalangan ekonom dan masyarakat. Pemerintah kembali meluncurkan kebijakan ini untuk mencapai target penerimaan negara yang tinggi di tengah kondisi ekonomi yang kurang mendukung.
Eko Listiyanto, Direktur Eksekutif INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), memberikan pandangannya terkait kebijakan ini dalam wawancara eksklusif dengan TrenAsia.
Menurut Eko, kebijakan Tax Amnesty Jilid 3 dilakukan karena kebutuhan mendesak untuk meningkatkan penerimaan negara. Pemerintah menghadapi tantangan besar, terutama dalam kondisi ekonomi yang melambat dan konsumsi masyarakat yang menurun.
Di tengah situasi ini, pemerintah harus mencari cara untuk memenuhi target penerimaan yang tinggi, sementara tak memungkinkan untuk menaikkan pajak, khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
"Pemerintah tahu bahwa tidak mungkin menaikkan pajak, apalagi PPN. Namun, dengan alasan yang sudah direncanakan dalam undang-undang, mereka tetap nekat melakukannya. Padahal, undang-undang tersebut disusun pada tahun 2021 dan berlaku mulai 2022. Seharusnya, kebijakan itu bisa disesuaikan dengan kondisi ekonomi terkini," jelas Eko kepada TrenAsia, di Jakarta, Jumat 22 November 2024.
Eko juga mengkritik keputusan pemerintah yang tetap bersikeras menaikkan pajak meskipun lingkungan makroekonomi tidak mendukung. Eko menilai Kemenkeu kekeh untuk menaikkan pajak karena target penerimaan yang tinggi, tapi ternyata PPN tidak cukup, dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) juga lebih rendah dari yang diperkirakan. Eko menduga, Kemenkeu berusaha mencari celah penerimaan baru meskipun baru saja dilakukan Tax Amnesty pada 2022.
- Budi Gunawan Sebut Judol Seperti Wabah, Raup Rp900 T dari 8 Juta Orang
- Pengolahan Nikel Dorong Laba Bersih NCKL 8,3 Persen di Kuartal III-2024
- Menggeliat, IHSG Hari Ini 22 November 2024 Ditutup Naik 55 Poin
Hasil Tax Amnesty Jilid I dan II
Mengenai hasil Tax Amnesty Jilid I (2016) dan Jilid II (2022), Eko menilai kedua program tersebut memiliki pencapaian yang berbeda. Pada Jilid I, kebijakan ini berhasil mengumpulkan Rp130 triliun, namun Jilid II hanya mencatatkan Rp61 triliun. Eko mengidentifikasi beberapa faktor yang menyebabkan ketidakefektifan Tax Amnesty Jilid II.
"Pada Jilid I, banyak orang kaya yang ikut, dan Jokowi saat itu turun tangan untuk memotivasi mereka. Namun, pada Jilid II, sudah banyak yang ikut mengaku dan membayar denda sesuai ketentuan. Masalahnya, siapa lagi yang mau meminta pengampunan pajak? Banyak yang sudah melakukannya pada Jilid I," tambah Eko.
Menurutnya, konsep dasar Tax Amnesty tidak bisa dilakukan berulang kali karena dapat merusak reputasi pemerintah. Jika terlalu sering dilakukan, hal tersebut akan menciptakan persepsi bahwa pemerintah tidak mampu meminta masyarakat untuk taat membayar pajak tanpa perlu insentif khusus.
MenurutEko sebelum penerapan Tax Amnesty jilid III harus jelas siapa targetnya, siapa segmen yang mau dijangkau. Eko khawatir, jika kebijakan ini diteruskan, dampaknya akan semakin terbatas, terutama untuk sektor ekonomi yang lebih kecil atau underground.
“Konsep Tax Amnesty kalau dia dilakukan dengan sering, akan mempengaruhi reputasi pemerintah, kok kaya pemerintah gabisa meminta masyarakatnya bayar pajak dengan taat hingga perluTax Amnesty terutama yang (ekonomi) gajah ya,” terang Eko.
- Budi Gunawan Sebut Judol Seperti Wabah, Raup Rp900 T dari 8 Juta Orang
- Pengolahan Nikel Dorong Laba Bersih NCKL 8,3 Persen di Kuartal III-2024
- Menggeliat, IHSG Hari Ini 22 November 2024 Ditutup Naik 55 Poin
Manfaat Tax Amnesty
Meski mendapat banyak kritik, Eko mengakui ada manfaat signifikan dari Tax Amnesty. Salah satunya adalah kemampuan kebijakan ini untuk membawa harta yang selama ini berada di sektor ekonomi bawah tanah ke dalam sistem keuangan yang lebih terbuka. Hal ini, menurutnya, mendukung pertumbuhan ekonomi dengan memasukkan aset yang lebih produktif dalam putaran ekonomi nasional.
Selain itu, Eko juga menekankan bahwa Tax Amnesty berfungsi mendukung dua hal utama dari pajak,sebagai sumber pendapatan negara dan sebagai instrumen untuk mengatur ekonomi. Ia berharap kebijakan pajak yang dirancang oleh pemerintah dapat memberikan insentif menarik, namun tetap memperhatikan kewajiban wajib pajak yang patuh.
Eko juga mengingatkan bahwa kebijakan Tax Amnesty harus dilihat sebagai upaya sementara untuk mengatasi kekurangan penerimaan negara, bukan sebagai solusi jangka panjang.
"Ke depan, pemerintah harus mencari cara yang lebih sustainable agar pajak menjadi alat yang benar-benar mendukung pembangunan tanpa harus mengandalkan pengampunan setiap saat."pungkas Eko.