Tax Amnesty Jilid III dan Kenaikan PPN, Ekonom: Pemerintah Kelabakan Kejar Target
- Bright Institute memprakirakan penerimaan pajak untuk tahun 2024 hanya akan naik 1,33 persen dari tahun sebelumnya.
Nasional
JAKARTA – Pemerintah diprediksi akan mengejar target penerimaan perpajakan dengan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan menjalankan pengampunan pajak (tax amnesty) jilid baru.
Lembaga riset ekonomi Bright Institute menilai kombinasi kebijakan tersebut bukan hanya berpotensi berdampak buruk dalam jangka panjang, namun dipastikan akan merusak reformasi perpajakan.
Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky menilai penerimaan pajak di tahun 2024 berpotensi mengalami shortfall atau tidak mencapai target. Hal ini membuat target penerimaan di tahun 2025 menjadi jauh lebih berat dari perkiraan pemerintah sebelumnya.
“Jangankan untuk mencapai target peningkatan, beberapa sumber penerimaan bahkan bisa lebih rendah dari tahun sebelumnya,” ujar Awalil dalam webinar yang dilaksanakan pada Selasa 26 November 2024 sore.
Berdasarkan realisasi penerimaan hingga akhir Oktober, Bright Institute melihat terdapat indikasi penerimaan PPN dan Pajak Penghasilan tidak mencapai target.
Bright Institute memprakirakan realisasi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) tahun ini hanya di Rp1.060 triliun atau 93 persen dari target APBN 2024. Sedangkan untuk PPN dan PpnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah), diprakirakan hanya mencapai Rp763 triliun tahun 94 persen dari target.
Oleh dasar tersebut, Bright Institute memprakirakan penerimaan pajak untuk tahun 2024 hanya akan naik 1,33 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini lebih rendah dari target pemerintah di 3,0 persen pada outlook Nota Keuangan 2025, apalagi dari 9,0 persen yang merupakan target awal APBN 2024.
Rendahnya penerimaan pajak tersebut membuat pemerintah perlu mencapai peningkatan penerimaan perpajakan setidaknya 11,48 persen di tahun depan untuk mencapai target APBN 2025. Angka tersebut dinilai Awalil sudah tidak lagi realistis, kecuali dengan kenaikan pajak besar-besaran.
“Kebutuhan dana untuk 2025 ternyata akan jauh lebih sulit daripada outlook pemerintah sebelumnya yang sebenarnya sudah lebih pesimis dari target awal tahun lalu yang penuh optimisme. Padahal, pemerintahan baru Pak Prabowo sudah berencana untuk belanja jauh lebih besar dengan program-program barunya. Keadaan ini membuat pemerintah terlihat desperate untuk menaikkan pendapatan, sehingga menjadi basis untuk kembali menaikkan PPN dan tax amnesty yang baru dua tahun lalu dilaksanakan lagi,” ujar Awalil.
Bright Institute menilai kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen tahun depan memiliki potensi untuk menambah penerimaan sekitar Rp75 triliun atau naik 15 dari prakiraan realisasi 2024. Namun, kenaikan 15 persen ini pun sebenarnya masih belum cukup untuk mencapai target APBN tahun depan yang mana penerimaan PPN perlu mencapai kenaikan setidaknya 23,93 persen.
“Apalagi meningkatkan PPN sangat berpotensi menurunkan aktivitas ekonomi sehingga sangat mungkin untuk tidak mencapai tambahan Rp75 triliun tersebut,” tambah Awalil.
Dalam perihal tax amnesty jilid III, Bright Institute memperkirakan program tersebut memiliki potensi untuk menambah penerimaan sekitar Rp80 triliun. Namun Bright Institute menyayangkan penggunaan tax amnesty sebagai alat untuk mengejar pendapatan dari tebusan.
“Dalam narasi perencanaannya dulu, tax amnesty ini sasaran utama sebenarnya adalah untuk profiling wajib pajak, sehingga menggali potensi penerimaan tahun-tahun berikutnya karena yang tadinya mengemplang sudah bisa ditagih pajaknya secara taat. Namun hal tersebut nyatanya gagal dilakukan dalam tax amnesty jilid I dan II, dan sekarang malah digunakan untuk mencari tambahan penerimaan ketika negara kembali desperate. Hal tersebut berdampak fatal bagi reformasi kebijakan,” ujar Awalil.
Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana ikut menyayangkan arah kebijakan pemerintah saat ini yang rela menambah beban pajak PPN selagi kembali memberikan pengampunan pajak hanya untuk menambah penerimaan negara. Ia menyebutkan kondisi menyedihkan pemerintah dalam menghimpun dana ini sangat berbalik dengan optimisme yang digaungkan tahun lalu.
“Dan tampaknya pemerintah sudah menyadari bahwa mencari pendanaan dari utang kini jauh lebih sensitif dampaknya terhadap perekonomian dibandingkan degan kepercayaan Pak Prabowo tahun lalu yang mengatakan bahwa rasio utang Indonesia masih sangat aman, ujar Andri.
Padahal, penarikan utang baru di tahun depan sudah direncanakan pemerintah dalam APBN 2025 menjadi penambahan utang terbesar setelah tahun-tahun pandemi, jelas Andri.
Andri pun mengafirmasi bahaya kembalinya digunakan tax amnesty untuk menambah pendapatan negara. Ia menilai kebijakan tersebut dipastikan akan berdampak buruk dalam jangka panjang.
“Kalau tax amnesty ini kembali dilakukan, pengemplang pajak bisa memprediksi bahwa tax amnesty akan kembali lagi dan lagi setiap pemerintah kesulitan keuangan, yang mana ke depan akan semakin sering terjadi karena dampak tax amnesty ini sendiri,” ujarnya.