<p>Ilustrasi bisnis PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. / Tower-bersama.com</p>
Industri

TBIG Milik Konglomerat Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno Punya Utang Rp21,6 Triliun

  • PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG) milik konglomerat Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno memiliki total utang kotor (gross debt) senilai Rp21,6 triliun.

Industri

Aprilia Ciptaning

PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG) milik konglomerat Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno memiliki total utang kotor (gross debt) senilai Rp21,6 triliun. Dari jumlah itu, total pinjaman senior (gross senior debt) mencapai Rp7,9 triliun hingga kuartal I-2020.

Direktur Keuangan Tower Bersama Infrastructure Helmy Yusman Santoso mengatakan pinjaman kotor itu termasuk utang dalam mata uang dolar Amerika Serikat yang telah dilakukan lindung nilai (hedging).

Dia menjelaskan, saldo kas perseroan Rp798 miliar membuat total pinjaman bersih (net debt) senilai Rp20,85 triliun. Sedangkan, total pinjaman senior bersih (net senior debt) perseroan menjadi Rp7,19 triliun.

Emiten tower telekomunikasi dengan kode saham TBIG itu membukukan earning before interest, taxes, depreciation, and amortization (EBITDA) senilai Rp1,08 triliun per 31 Maret 2020. Sehingga, rasio pinjaman senior bersih terhadap EBITDA sebesar 1,7 kali dan pinjaman bersih terhadap EBITDA sebesar 4,8 kali.

“Pada kuartal pertama tahun ini, kami berhasil mengakses pasar obligasi dalam mata uang rupiah dan dolar Amerika Serikat dengan tingkat bunga yang sangat kompetitif,” kata Helmy dalam keterangan resmi di PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta, Jumat, 1 Mei 2020.

Pada Januari 2020, sambungnya, TBIG menjadi perusahaan Indonesia non-Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pertama yang berhasil menerbitkan obligasi tanpa peringkat dengan jangka waktu 5 tahun dan bunga 4,25% senilai US$350 juta setara Rp5,25 triliun.

Kemudian, perseroan pada Maret 2020, kembali menerbitkan surat utang berdenominasi rupiah senilai Rp1,5 triliun. Kedua surat utang itu digunakan perseroan untuk refinancing pinjaman yang jatuh tempo.

“Kedua obligasi memberikan efek netral terhadap leverage kami dan memperpanjang jangka waktu rata-rata struktur utang kami,” ujarnya.

Setelah refinancing, ucapnya, tingkat leverage TBIG berkurang menjadi 4,8 kali pada kuartal I-2020. Leverage itu diklaim jauh di bawah batasan surat utang perseroan, yakni 6,25 kali terhadap EBITDA pada tahun lalu.

Manajemen TBIG mengklaim hedging terbilang efektif dan tidak merugikan perseroan di tengah volatilitas rupiah saat ini. Perseroan menggunakan strategi konservatif terhadap lindung nilai untuk seluruh pinjaman sesuai dengan masa jatuh tempo.

“Tahun ini, perusahaan akan melunasi obligasi rupiah senilai Rp2,15 triliun dengan menggunakan arus kas operasi yang kuat serta fasilitas kredit revolving yang telah kami miliki,” tuturnya.

Hingga 31 Maret 2020, total liabilitas perseroan mencapai Rp29,03 triliun, melonjak 14,5% dari akhir tahun lalu Rp25,34 triliun. Liabilitas janga pendek mencapai Rp5,4 triliun dan janga panjang Rp23,63 triliun.

Laba Bersih Naik Tipis

Sementara itu dari sisi kinerja keuangan, Tower Bersama Infrastructure membukukan laba bersih yang dapat diatribusikan kepada entitas induk senilai Rp228,53 miliar pada kuartal I-2020. Jumlah laba tersebut naik tipis 4,8% year-on-year (yoy) dari periode Januari-Maret 2019 senilai Rp218,06 miliar.

Perolehan laba itu didapat setelah TBIG mengantongi pendapatan Rp1,26 triliun pada kuartal I-2020. Pendapatan itu naik 11,5% dari kuartal I-2019 senilai Rp1,13 triliun.

Saat bersamaan, manajemen TBIG berhasil menekan beban pokok pendapatan tipis 1,09% yoy menjadi Rp212,2 miliar. Sehingga, laba kotor yang diraup perseroan naik 14,5% menjadi Rp1,04 triliun.

“Pada triwulan pertama 2020, TBIG mencapai pertumbuhan penyewa organik terbesar yang pernah dicapai,” kata Direktur Utama TBIG Hardi Wijaya Liong.

Per 31 Maret 2020 TBIG telah memiliki sebanyak 29.997 penyewaan dan 15.681 tower yang terdiri dari 15.540 menara telekomunikasi, dan 141 jaringan distributed antenna system (DAS). TBIG mengklaim mampu menambahkan 1.402 penyewaan kotor yang terdiri dari 134 sites telekomunikasi dan 1.268 kolokasi.

“Fokus kami adalah pada pelaksanaan yang tepat waktu untuk menyelesaikan pesanan dan pelayanan berkelanjutan untuk pelanggan telekomunikasi kami, sambil mengambil langkah-langkah tambahan untuk memastikan kami menjaga kesehatan karyawan kami selama pandemi COVID-19 global ini. Dengan situasi ini yang terus berkembang, tim manajemen kami berusaha keras untuk menjaga kemampuan kami untuk beroperasi di masa yang tidak pasti ini,” kata dia.

Kendati demikian, laba bersih periode berjalan yang diraup TBIG turun 1,9% yoy menjadi Rp244,83 miliar dari Rp229,3 miliar tahun sebelumnya. Adapun, total aset TBIG mencapai Rp34,06 triliun per akhir Maret 2020 dari 31 Desember 2019 senilai Rp30,87 triliun.

Sebagai informasi, saham TBIG digenggam secara tidak langsung oleh PT Saratoga Investama Sedaya Tbk. (SRTG) yang dimiliki oleh Konglomerat Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Salahuddin Uno. Saratoga menggenggam saham TBIG lewat PT Wahana Anugerah Sejahtera sebesar 30,62% dan PT Provident Capital Indonesia sebesar 24,95%.

Sedangkan, Edwin Soeryadjaya menggenggam saham TBIG secara langsung sebesar 0,33%. Sisanya, saham TBIG dimiliki publik sebesar 43,08%.

Edwin Soeryadjaya adalah orang terkaya ke-47 di Indonesia versi majalah Forbes 2019. Kekayaan Edwin ditaksir mencapai US$635 juta setara Rp9,5 triliun dari Saratoga hingga PT Adaro Energy Tbk. (ADRO). Dia adalah putra pendiri PT Astra International Tbk. (ASII), William Soeryadjaya.

Pada perdagangan Kamis, 30 April 2020, saham TBIG ditutup melejit 4,37% sebesar 50 poin ke level Rp1.195 per lembar. Kapitalisasi pasar saham TBIG mencapai Rp27,07 triliun dengan imbal hasil positif 69,9% dalam setahun terakhir. (SKO)