<p>Warga mengikuti ujicoba Light Rail Transit (LRT) di Stasiun Boulevard Utara, Kelapa Gading, Jakarta. PT LRT Jakarta kembali Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Telan Anggaran hingga Rp18,6 Triliun, Bagaimana Nasib LRT Jakarta dan LRT Sumsel Saat Ini?

  • Banyak pihak menyatakan sangsi atas proyek Light Rail Transit (LRT) sejak awal dibangun.

Industri

Aprilia Ciptaning

JAKARTA – Sejak awal pembangunannya, proyek Light Rail Transit (LRT) Jakarta sudah menuai pro dan kontra. Kereta ringan yang dibangun di atas lintasan sepanjang 5,7 km ini memiliki rute Kelapa Gading-Velodrome. Proyek ini juga dikenal dengan nama LRT Jakarta fase I.

Sejumlah pihak yang kontra menyebut proyek ini dikhawatirkan bakal sia-sia jika efektivitasnya rendah. Pasalnya, LRT Jakarta memang mulai digarap pada 2015 untuk mendukung perhelatan Asian Games 2018. Namun, kelayakan operasinya sendiri baru diizinkan secara resmi pada 1 Desember 2019.

Sementara itu, pada 11 Juni 2019 baru dilakukan uji coba untuk publik. Saat itu, masyarakat diperkenankan untuk menggunakan moda transportasi tersebut secara gratis dengan waktu operasional pukul 05.30 – 23.00 WIB. Adapun jarak waktu antarkereta alias headway  selama 10 menit.

LRT Jakarta sendiri memiliki enam stasiun layang, atau elevated  yaitu Mal Kelapa Gading, Stasiun Kelapa Gading Boulevard, Stasiun Pulomas, Stasiun Pacuan Kuda, Stasiun Velodrome, dan Depo LRT yang berada di Depok. Depo ini dijadikan lokasi parkir, mencuci, dan pemeliharaan kereta.

Adapun biaya pembangunan LRT Jakarta menelan hingga Rp6,8 triliun yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemprov DKI Jakarta. Dalam hal ini, PT Jakarta Propertindo (Jakpro) bertindak sebagai kontraktor sekaligus operator proyek tersebut. Produksi kereta LRT ini dilakukan oleh Hyundai Rotem, perusahaan asal Korea Selatan.

Saat ini, pemerintah telah merencanakan pembangunan LRT Jakarta fase 2. Namun, pelaksanaannya tidak dilakukan pada tahun ini lantaran masih dalam tahap pengkajian. Kendati demikian, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah memberikan persetujuan izin trase LRT Jakarta fase 2a pada 6 September 2021.

Jakpro disebut masih menyusun Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah (DPPT) sebagai dasar penetapan lokasi pembangunan. Selain itu, kontraktor ini juga tengah mengkaji skema anggaran proyek, kelayakan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), dan lain-lain.

Ada dua rute yang direncanakan yakni Kelapa Gading - Jakarta International Stadium (JIS) untuk fase 2a, sedangkan fase 2b memiliki rute Velodrome-Klender-Cawang.

Anggaran yang disiapkan untuk proyek LRT Jakarta fase 2 mencapai Rp200 miliar dari Pemprov DKI Jakarta, sedangkan Jakpro mengalokasikan Rp122 miliar.

Tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah melalui pembangunan LRT Jakarta tak lain untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Harapannya, kereta ringan ini bisa menjadi pilihan masyarakat beralih dari kendaraan pribadi. Dengan demikian, aksesibilitas dan mobilitas masyarakat dapat dijangkau dengan menggunakan LRT Jakarta. 

Selain itu, moda transportasi yang diklaim ramah lingkungan ini juga akan diintegrasikan dengan Transjakarta dan angkutan umum lainnya.

Pada awalnya, angka okupansi atau keterisian penumpang yang ditargetkan mencapai 14.000 penumpang per hari. Sebelum pandemi, tercatat jumlah penumpang LRT Jakarta rata-rata sebanyak 900 orang. Namun, saat pandemi jumlahnya merosot jauh, rata-rata 102 orang per hari.

Datangnya pandemi yang tak diduga sebelumnya ini memang menjadi penyebab utama kemerosotan jumlah penumpang. Pasalnya, pergerakan masyarakat sangat dibatasi, terutama saat diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pembatasan Kegaitan Masyarakat (PPKM) Darurat.

Namun, di sisi lain saat situasi memasuki new normal seperti sekarang ini, operasional LRT Jakarta juga belum bisa memenuhi target okupansi awal.

Kekhawatiran yang diprediksi adalah terjadinya gap antara pendapatan dengan biaya operasional dan pembangunannya. Dengan kata lain, dana yang diperoleh dari operasional tak akan menutup modal. 

LRT Sumsel Alami Nasib yang Sama

Hal yang sama juga ditujukan untuk LRT (Light Rail Transit) Palembang atau lebih dikenal dengan LRT Sumatra Selatan (Sumsel). Seperti diketahui, proyek ini juga dibangun untuk mendukung infrastruktur Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 2018.

Biaya pembangunan dikucurkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mencapai Rp12,5 triliun. Sementara itu saat beroperasi, penetapan tarif yang dipatok berbeda-beda tergantung rute, yakni tarif Bandara (DJKA - Bandara SMB II) sebesar Rp10.000, tarif umum (DJKA - Asrama Haji) sebesar Rp5.000 dan tarif integrasi (DJKA - Asrama Haji) sebesar Rp2.000.

Jika menilik okupansinya, berdasarkan data Balai Pengelola KA Ringan Sumsel, pada tahun pertama beroperasi alias 2018, jumlah penumpang sebanyak 154.572 per bulan. Lalu, angka ini naik menjadi 218.263 penumpang per bulan pada 2019.

Namun, tak berbeda dengan LRT Jakarta, jumlah penumpang turun drastis selama pandemi. Rata-rata jumlah orang yang menggunakan moda transportasi ini hanya sebanyak 87.803 penumpang.

Kemudian, baru mulai membaik setelah pemerintah melonggarkan PPKM, yakni mencapai 924.306 orang per Agustus 2021. Kenaikannya mencapai 90% dari total penumpang pada 2020.

Perlu kajian yang matang

Terkait hal ini, Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno menyebut potensi pemborosan anggaran sebenarnya bisa saja tak terjadi. Ini bisa dilakukan jika pemerintah lekas menyelesaikan pembangunan proyek LRT Jakarta. Selain itu, pertimbangan awal mestinya dikaji dengan matang.

“LRT Jakarta Kelapa Gading – Velodrome itu kan rutenya terlalu pendek, hanya sepotong. Orang juga mikir, ngapain kan naik kereta, soalnya (sudah) dekat dengan pusat kota,” ungkapnya saat dihubungi TrenAsia.com.

Menurutnya, proyek itu seakan tidak berlanjut saat Gubernur DKI Jakarta dijabat oleh Anies Baswedan. “Ini yang disayangkan, padahal bisa dilanjutkan,” tambahnya.

Di sisi lain, Djoko menjelaskan bahwa keberhasilan integrasi moda transportasi juga didukung oleh faktor-faktor lain. Tidak hanya melalui pembangunan stasiun kereta, strategi push and pull dapat diterapkan, seperti peningkatan tarif parkir, perbaikan transportasi publik, dan penerapan ganjil-genap.

Implementasi tersebut tetap harus didukung oleh manajemen lalu lintas yang baik. Dengan demikian, masyarakat bisa mendapatkan pelayanan yang optimal.