Tembus Level Psikologis, PMI Indonesia pada November Tembus 50,6
JAKARTA – Survei teranyar HIS Markit menunjukkan Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia naik tiga poin dari 47,8 pada bulan Oktober ke 50,6 pada bulan November. Sejauh ini, PMI November 2020 menjadi yang terkuat sejak kuartal III-2019, dengan rerata 49,2. Perbaikan PMI didorong oleh kenaikan pada rekor tertinggi produksi dan meningkatnya pesanan baru untuk pertama kalinya […]
Industri
JAKARTA – Survei teranyar HIS Markit menunjukkan Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia naik tiga poin dari 47,8 pada bulan Oktober ke 50,6 pada bulan November.
Sejauh ini, PMI November 2020 menjadi yang terkuat sejak kuartal III-2019, dengan rerata 49,2. Perbaikan PMI didorong oleh kenaikan pada rekor tertinggi produksi dan meningkatnya pesanan baru untuk pertama kalinya dalam tiga bulan.
“Perpindahan ke PSBB transisi memberikan dorongan bagi sektor manufaktur Indonesia pada pertengahan kuartal keempat,” kata Bernard Aw, Kepala Ekonom IHS Markit dalam publikasi yang dirilis Selasa, 1 Desember 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Pelonggaran PSBB memicu adanya kenaikan produksi, ditandai dengan pembukaan kembali pabrik dan peningkatan permintaan. Permintaan baru juga kembali meningkat, meskipun laju peningkatan hanya pada kisaran marginal.
Di sisi lain, produsen barang setengah jadi masih melaporkan penurunan penjualan. Dengan pertumbuhan penjualan yang lemah, survei menunjukkan adanya surplus kapasitas operasi, sebagaimana ditunjukkan oleh penurunan lebih lanjut pada penumpukan pekerjaan.
“Hal ini menghambat perekrutan. Pekerjaan berkurang selama sembilan bulan berturut-turut selama bulan November sebagaimana PHK paksa terus terjadi,” tambah dia.
Rantai Pasokan Belum Stabil
Adapun, rantai pasokan rupanya masih di bawah tekanan. Cuaca buruk, aturan PSBB berkelanjutan, dan kurangnya tenaga kerja di distributor disebut sebagai alasan penundaan pengiriman.
Di sisi harga, inflasi biaya input meningkat pada bulan November, dengan biaya naik pada tingkat tercepat selama tiga bulan.
Bernard menekankan bahwa harga bahan baku yang lebih tinggi dan turunnya nilai rupiah mendorong inflasi lebih tinggi. Akibatnya, sebagian perusahaan meneruskan beban biaya yang lebih tinggi kepada konsumen melalui biaya yang lebih tinggi.
Namun, kenaikan harga output masih rendah dan jauh di bawah kenaikan biaya input. Akhirnya, sentimen bisnis tetap positif.
Mayoritas perusahaan terus mengharapkan output meningkat selama tahun mendatang, mengutip ekspektasi kembalinya ke kondisi pasar yang normal bersamaan dengan kegiatan promosi yang terencana dan peningkatan kualitas produk.
“Pada akhirnya, keberlanjutan kenaikan akan bergantung pada pemulihan permintaan yang lebih kuat.”