Ilustrasi penanaman modal dan investasi dari investor asing ke Indonesia. Grafis: Deva Satria/TrenAsia
Pasar Modal

Tenang! Ekonomi Indonesia Kokoh, Tak Terdampak Besar Tapering Off The Fed

  • Piter Abdullah mengatakan pemerintah Indonesia saat ini lebih siap dalam menghadapi kebijakan penghentian quantitative easing (QE) atau tapering off oleh The Federal Reserve.

Pasar Modal

Daniel Deha

JAKARTA -- Saat dunia menanti suara Jerome Powell, Gubernur bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed) terkait kebijakan tapering off November ini, Indonesia terlihat lebih percaya diri.

Tapering off merupakan pengurangan stimulus moneter yang dikeluarkan bank sentral saat perekonomian sedang terancam dan membutuhkan banyak suntikan dana likuiditas. Hal ini dilakukan The Fed dengan mengurangi ukuran program pembelian obligasi yang dikenal sebagai pelonggaran kuantitatif (Quantitative Easing/QE).

Kepercayaan diri tersebut bertumbuh oleh karena fundamental ekonomi yang makin kokoh meski terpapar COVID-19. Lagipula, The Fed telah jauh-jauh hari mengumumkan rencana pengurangan pembelian obligasi pemerintah akhir tahun ini, sehingga Indonesia sejak awal sudah berjaga-jaga.

Direktur Center of Reform on Economics  (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan pemerintah Indonesia saat ini lebih siap dalam menghadapi kebijakan penghentian Quantitative Easing (QE) oleh bank sentral AS.

Menanggapi kebijakan pengetatan stimulus moneter tersebut, kata dia, Indonesia tidak perlu khawatir berlebihan terhadap isu yang dihembuskan The Fed.

"Tidak akan terjadi dampak yang besar seperti fenomena taper tantrum pada tahun 2013. Kondisinya jauh berbeda. The Fed juga sudah menyampaikan akan terus mengkomunikasikan rencana tapering agar tidak terjadi gejolak di pasar keuangan," katanya ketika dihubungi TrenAsia.com, Senin, 15 November 2021.

Baru-baru ini, The Fed disebutkan akan segera mulai mengurangi laju pembelian obligasi bulanannya, sebuah langkah pertama untuk menarik kembali sejumlah besar bantuan yang telah diberikannya kepada pasar dan ekonomi sejak 18 bulan terakhir.

Pengurangan pembelian obligasi disebut sekitar US$15 miliar setiap bulan, dengan US$10 miliar dalam Treasurys dan US$5 miliar dalam sekuritas berbasis hipotek, dari total US$120 miliar per bulan saat ini yang dibeli The Fed.

Pembelian obligasi US$120 miliar The Fed terdiri dari US$80 miliar Treasuries dan US$40 miliar pembiyaan sekunder perumahan setiap bulan untuk membantu merangsang aktivitas ekonomi yang tergerus akibat lockdown pada awal pandemi.

Pengurangan aset nantinya berlangsung hingga Juli 2022, atau delapan bulan sampai obligasi yang dimiliki pemerintah berakhir. Pengurangan ini sebetulnya merupakan sinyal bahwa ekonomi AS mulai bangkit dari keterpurukan.

Kendati demikian, inflasi di AS masih cukup tinggi. Piter memandang bahwa tingginya inflasi di Negeri Paman Sam terjadi karena tersumbatnya rantai pasokan, lonjakan harga minyak dunia, dan pulihnya ekonomi setelah berbulan-bulan tertekan pembatasan.

Seperti dikatakan Powell bahwa inflasi akan terus meningkat karena masalah pasokan berlanjut dan kemudian mulai mundur sekitar pertengahan tahun depan.

"Tapering tidak serta merta akan menurunkan inflasi [di AS]," kata Piter.

Tertahannya Capital Inflow

Kepala Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve Jerome Powell / Reuters

Piter meniilai bahwa dampak tapering off The Fed tidak berpengaruh langsung terhadap ekonomi Indonesia yang saat ini sedang merangkak bangkit menuju pemulihan.

Demikian halnya dengan tingkat inflasi domestik yang sejak kuartal II-2021 cukup terkendali bahkan sempat mengalami deflasi.

"Inflasi di Indonesia berpotensi meningkat tetapi bukan karena faktor tapering off dan inflasi di Amerika. Mulai pulihnya ekonomi seiring meredanya pandemi akan meningkatkan demand dan mendorong terjadinya inflasi. Meskipun begitu inflasi masih akan terjaga cukup rendah," katanya.

Menurut dia, yang paling terasa adalah banyak investor asing yang akan menahan aliran modal masuk (capital inflow) ke pasar saham dan obligasi Indonesia. Hal itu membuat kinerja mata uang lokal terdepresiasi.

"Tapering off berpotensi menahan aliran modal asing yang masuk ke Indonesia sehingga memunculkan tekanan pelemahan rupiah," kata Piter.

Pada penutupan perdagangan hari ini, kurs rupiah terlihat meningkat tipis 0,04% dibandingkan dengan penutupan sehari sebelumnya.

Menurut referensi kurs JISDOR Bank Indonesia, posisi kurs rupiah berada di level harga Rp14.211 per dolar AS, naik dari sebelumnya Rp14.206 per dolar AS. Namun pelemahan rupiah terlihat mulai terjadi sejak 5 November, yaitu sebesar 0,74%, selang beberapa hari setelah pengumuman The Fed.

Meski begitu, dalam sepekan terakhir posisi rupiah masih bertengger di level Rp14.200 dibandingkan dengan periode Oktober yang sempat berada di bawah Rp14.100 per dolar AS.

Piter memperkirakan bahwa mata uang lokal tidak cukup terkontraksi dalam akibat isu tapering off bank sentral AS. Akhir tahun nanti, dia memproyeksi kurs rupiah tidak turun dari level harga Rp14.000.

"Saya memperkirakan rupiah hingga akhir tahun ini akan relatif stabil di kisaran Rp14.000 sampai dengan Rp14.200," ucapnya.

Kendati bakal terjadi kontraksi nilai mata uang lokal, Piter lagi-lagi menegaskan bahwa aliran modal di pasar Indonesia tidak cukup terganggu, kecuali The Fed menaikkan suku bungan acuannya. Sementara dalam rencananya, The Fed kemungkinan baru berpikir menaikkan suku bunga setelah periode tapering off-nya berakhir.

Kalaupun nantinya dinaikkan, kata Piter, suku bunga The Fed berdampak terhadap aliran modal portofolio karena bersifat jangka pendek sehingga tidak mempengaruhi aliran investasi langsung asing (FDI).

"Capital flow akan terdampak ketika The Fed sudah menaikkan suku bunga. Diperkirakan pertengahan tahun 2022. Seberapa besar dampaknya juga masih bergantung pada respons kebijakan Bank Indonesia," terangnya.

Adapun, The Fed telah memutuskan untuk menahan suku bunga acuan pada kisaran 0%-0,25% pada tahun ini. Kenaikan secara perlahan diprediksi terjadi tengah tahun depan. Menurut proyeksi Focus Economics Consensus Forecast, tingkat suku bunga acuan The Fed pada 2022 sebesar 0,29%.

Selain itu, The Fed juga merilis proyeksi suku bunga acuan untuk 2024, dengan median menunjukkan suku bunga acuan mencapai 1,8% pada akhir 2024.

Penurunan suku bunga selama dua tahun terakhir dilakukan untuk meningkatkan belanja dan investasi yang terpukul akibat COVID-19.

Sementara itu, di dalam negeri Bank Indonesia juga menahan suku bunga acuannya di level 3,50% hingga akhir tahun ini.

Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah dan stabilitas nilai tukar rupiah yang terjaga, serta sebagai langkah lanjutan untuk mendorong momentum pemulihan ekonomi nasional.

Inflasi Rendah Tidak Bagus

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. / Facebook @BankIndonesiaOfficial

Direktur Panin Asset Management Rudiyanto menggarisbawahi bahwa meski isu tapering disambut positif pelaku pasar di AS, tetapi tingkat inflasi juga mestinya menjadi perhatian pemerintah Indonesia.

Pasalnya, sejauh ini inflasi Indonesia masih cukup rendah di level kurang dari 1% bahkan mengalami deflasi. Padahal di luar negeri, seperti AS, inflasinya sangat tinggi yang didorong oleh kenaikan harga komoditas minyak dan energi.

Rendahnya tingkat inflasi di Indonesia, menurut dia, disebabkan oleh beberapa kebijakan pemerintah selama pandemi, misalnya dengan memberikan subsidi tarif listrik, termasuk belum pulihnya harga bahan bakar minyak (BBM).

"Subsidi-subsidi tersebut membuat inflasi kita sangat rendah," katanya.

Dia menyebutkan bahwa apabila penyesuaian harga BBM dan subsidi listrik mulai dikurangi serta pembatasan mulai dilonggarkan maka akan terjadi peningkatan harga. Dengan demikian membuat harga pokok produksi naik sehingga ikut meningkatkan harga barang di pasar.

"Peningkatan harga pokok produksi itu bisa menjadi risiko di tahun-tahun depan karena inflasi yang lebih tinggi bisa saja harga terutama obligasi atau reksa dana pendapatan tetap itu mengalami tantangan," terangnya.

Rudiyanto memastikan bahwa dengan tingkat inflasi yang tinggi, BI kemungkinan akan menaikkan suku bunganya meski dengan langkah yang lebih hati-hati. Dengan kenaikan suku bunga maka harga saham dan obligasi di pasar modal pun ikut terdampak.

Menurut Rudiyanto, imbasnya adalah investor mulai meraba-raba atau memiliah saham-saham perusahaan mana yang akan dibelinya. Sebaliknya, saham-saham perusahaan yang negatif akan ditinggalkan.

"Tahun depan orang akan lebih fokus pada kinerja atau fundamental daripada perusahaan," ungkapnya.*