turbulensi garuda by deva Ta
Korporasi

Terancam Bangkrut, DPR Usul Pemerintah Caplok 100 Persen Saham Garuda Indonesia

  • Anggota Komisi VI DPR RI Evita Nursanty mengatakan bahwa sudah saatnya pemerintah mencaplok 100% saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA).
Korporasi
Daniel Deha

Daniel Deha

Author

JAKARTA -- Anggota Komisi VI DPR RI Evita Nursanty mengatakan bahwa sudah saatnya pemerintah mencaplok 100% saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA).

Hal itu disampaikannya untuk menyoroti permasalahan akut yang sedang melanda maskapai penerbangan nasional tersebut. Salah satunya adalah utang yang menggunung dan dugaan korupsi yang mengemuka.

"Ini adalah momen kita mengambilalih saham Garuda ini 100 persen milik negara sehingga banyak yang bisa kita lakukan," katanya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo dan Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra di Jakarta, Selasa, 9 November 2021.

Dia menyebut bahwa dengan kondisi Garuda Indonesia yang sudah kritis, pemerintah bisa membantu menyelesaikan masalah internal perseroan asalkan kepemilikan saham emiten berkode GIIA tersebut 100% ada di negara.

Politisi PDI Perjuangan ini menolak usulan Wamen BUMN yang ingin agar pemerintah mengalokasikan APBN untuk menyelesaikan masalah utang Garuda Indonesia.

Pasalnya, kepemiikan Garuda Indonesia bukan hanya pemerintah, tetapi ada pihak lain seperti PT Trans Airways (28,27%) dan saham publik di bawah 5% sebesar 11,19%.

"Saya kurang setuju bahwa pendanaan dari APBN sebaiknya tidak dilakukan tapi diupayakan pendanaan di luar skema APBN ini Pak [Wamen BUMN] dan pemegang saham Garuda ini kan tidak satu, tidak hanya pemerintah," pungkas Evita.

Awal tahun ini, pemerintah telah menyalurkan Penyertaan Modal Negara (PMN) Rp1 triliun dari alokasi Rp8,5 triliun untuk menyelesaikan restrukturisasi utang GIAA.

Dalam perjalanan, dana PMN tidak lagi digelontorkan lantaran DPR menolak permintaan penyaluran PMN tersisa yang mencapai Rp7,5 triliun.

Evita menyebut bahwa masalah yang dihadapi Garuda Indonesia saat ini sudah sangat parah dan sulit untuk diselesaikan. Ibaratnya seorang pasien COVID-19 yang membutuhkan ventilator agar bisa bertahan hidup.

"Garuda ini perlu ventilator untuk bisa hidup, perlu keajaiban, bagaimana bisa lepas dari ventilator yang ada," kilahnya.

"Ini penyakit akut. Ini kondisi Garuda sudah disebut technically bankrupt," imbuhnya.

Dia pun meminta agar Kementerian BUMN dan Direksi serta Komisaris Garuda Indonesia saat ini perlu melibatkan penegakan hukum dalam menyelesaikan masalah perusahaan.

Dengan demikian, pemerintah selalu tidak menjadi 'tukang cuci piring' setelah manajemen perseroan melakukan korupsi bisnis.

"Dari program-program restrukturisasi, itu harus ada pendekatan penegakan hukum," katanya.

Dalam sidang tersebut, Komisi VI DPR juga meminta agar segera dibentuk Panitia Kerja (Panja) untuk mengurai masalah GIAA.

Sementara itu, Kartika Wirjoatmodjo dalam paparannya mengatakan kondisi Garuda Indonesia sebetulnya secara teknikal bangkrut alias technically bankrupt.

Hal ini lantaran ekuitas persroang sudah negatif hingga US$2,8 miliar atau setara dengan Rp40 triliun (kurs Rp14.200/US$) dengan utang jatuh tempo Rp70 triliun.

"Sebenarnya dalam kondisi seperti ini kalau istilah perbankan sudah technically bankrupt Pak tapi legally belum. Ini yang sekarang sedang berusaha bagaimana kita bisa keluar dari situasi yang sebenarnya secara technically bankrupt," paparnya.

Mantan Dirut Bank Mandiri ini menjabarkan aset saat ini (tidak disebutkan periodenya), mencapai US$6,93 miliar atau sekitar Rp99 triliun, sementara liabilitas (kewajiban, termasuk utang) mencapai US$9,76 miliar atau setara Rp140 triliun.

Dengan demikian ada ekuitas negatif US$2,8 miliar. Dari jumlah kewajiban tersebut, utang dari sewa pesawat mendominasi mencapai US$9 miliar atau setara Rp128 triliun.

Saat ini, perusahaan berkomitmen terus melakukan pembicaraan dengan para lessor untuk melakukan restrukturisasi, dengan menurunkan kewajiban Garuda Indonesia dari US$9,75 miliar menjadi US$2,6 miliar.

Pembicaraan itu dilakukan dengan lessor asing dan juga bank-bank termasuk Bank Himbara termasuk dengan PT Pertamina (Persero) yang memiliki utang Rp12 triliun.*