Ilustrasi Instagram

Terbukti, Medsos Jadi Penyebab Peningkatan Gangguan Mental

  • YOGYAKARTA-Anda yang terlalu aktif dengan gadget dan media sosial (medsos) harus benar-benar berhati-hati. Sebuah penelitin membuktikan ada peningkatan kasus gangguan kesehatan mental, terutama berkaitan dengan kecanduan akan gawai atau gadget. Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Profesor Ova Emilia mengatakan, dalam penelitian berjudul ‘a tool to help or harm? online social media […]

Amirudin Zuhri

Amirudin Zuhri

Author

YOGYAKARTA-Anda yang terlalu aktif dengan gadget dan
media sosial (medsos) harus benar-benar berhati-hati. Sebuah penelitin membuktikan ada peningkatan kasus gangguan kesehatan mental, terutama berkaitan dengan kecanduan akan gawai atau gadget.

Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Profesor Ova Emilia mengatakan, dalam penelitian berjudul ‘a tool to help or harm? online social media use and adult mental health in Indonesia’ di jurnal internasional kesehatan mental dan kecanduan disebutkan bahwa penggunaan media sosial secara berlebihan berbahaya bagi kesehatan mental karena dapat menyebabkan depresi.

Peningkatan penggunaan media sosial dikaitkan dengan peningkatan skor Center for Epidemiological Studies Depression/CES-D atau skala depresi pada seseorang. “Berdasarkan skor CES-D skala depresi seseorang sebesar 9%,” ucapnya pada Selasa (14/1).

Lebih lanjut dia menjelaskan, menurut data yang dihimpun Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan (Kemenkes) pada 2018, menunjukkan bahwa prevalensi orang gangguan jiwa berat (skizofrenia/psikosis) meningkat dari 0,15% menjadi 0,18%.

Sementara, prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk usia 15 tahun keatas meningkat dari 6,1% pada 2013 menjadi 9,8% pada 2018 lalu. “Artinya sekitar 12 juta penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas menderita depresi,” katanya.

Di sisi lain, ada survei yang bertujuan untuk mengetahui angka dan penyebab kematian secara nasional (Sistem Registrasi Sampel/SRS) diperoleh data bahwa pada 2016 telah terjadi 1.800 kematian akibat bunuh diri. Hal itu menunjukkan bahwa setiap harinya terjadi lima kematian akibat bunuh diri.

Pakar Kedokteran Jiwa UGM, Carla Raymondalexas Marchira mengatakan, melihat tingginya data tersebut, maka upaya preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif perlu dilakukan secara komprehensif.

Upaya ini harus melibatkan semua aktor pembangunan kesehatan seperti komunitas, tenaga medis, dokter, paramedis, psikiater, psikolog, ahli gizi, perawat, apoteker, hukum, hingga dinas kesehatan. “Ini menjadi tanggung jawab bersama semua pihak,” kata dia.

Ia menambahkan, keterbatasan jumlah psikiater di Jogja juga menjadi persoalan dalam upaya menekan jumlah orang dengan gangguan jiwa maupun depresi. Dia mencontohkan di Jogja dengan penduduk sekitar empat juta orang hanya ada 35 sampai 40 psikiater.