Terjegal POJK yang Belum Rampung, GoTo Gagal IPO Tahun ini?
- Aturan pencatatan saham baru akan diumumkan pada akhir September 2021.
Korporasi
JAKARTA – Perusahaan teknologi raksasa, GoTo dikabarkan gagal melaksanakan penawaran umum perdana saham (IPO) pada tahun ini. Di sisi lain, entitas gabungan usaha antara Gojek dan Tokopedia ini akan menyelesaikan putaran pendanaan pra-IPO sebesar US$2 miliar atau setara Rp28,8 triliun.
Dikutip dari Reuters, penundaan IPO ini diakibatkan adanya penundanaan kebijakan baru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait pencatatan saham perusahaan teknologi dengan konsep dual class shares yang akan mengakomodasi hak suara yang berbeda bagi sejumlah pemegang saham.
“Aturan pencatatan saham baru akan diumumkan pada akhir September 2021. Sehingga kemungkinan pencatatan saham GoTo baru bisa dilakukan pada awal tahun depan,” ujar dua sumber anonim kepada Reuters, dikutip Rabu, 25 Agustus 2021.
Namun, sumber yang mengetahui hal tersebut mengaku tidak berwenang untuk berbicara kepada media. Sementara itu, juru bicara GoTo menolak berkomentar, begitu pula pihak OJK yang enggan menanggapi hal ini.
- Rencana Go Private, Penjualan Rokok Bentoel Merosot 36,3 Persen pada Semester I-2021
- Mau Capex, Anak Usaha Sarana Menara Nusantara Milik Grup Djarum Tarik Kredit Jumbo Rp1 triliun dari Bank CIMB Niaga
- Turun ke PPKM Level III, Pemprov Jakarta: Sekolah dan Rumah Ibadah Bisa Tatap Muka
Sebelumnya, GoTo disebut-sebut bakal menyelenggarakan penawaran umum perdananya pada kuarta terakhir tahun ini di Bursa Efek Indonesia (BEI). Dengan skema dual listing, GoTo juga akan menyelenggarakan IPO di Wallstreet, Amerika Serikat.
Otoritas Bursa memang tengah menggodok regulasi baru mengenai struktur permodalan saham kelas ganda (dual class share) dengan saham hak suara multipel alias multiple voting shares (MVS) bagi perusahaan rintisan berbasis start up yang akan listing.
Di samping itu, BEI juga telah merancang aturan bagi calon perusahaan tercatat, termasuk unicorn atau decacorn yang ingin mencatatkan sahamnya di papan utama. Hal ini merupakan karpet merah bagi perusahaan start up bervaluasi jumbo untuk menyelenggarakan IPO di Tanah Air.
Seperti diketahui, entitas usaha berbasis teknologi sekelas unicorn maupun decacorn biasanya akan fokus dalam pengembangan bisnis dan cenderung merugi. Di sisi lain, BEI memiliki beberapa syarat bagi calon emiten yang ingin tercatat di papan utama, di antaranya telah menghasilkan laba.
Proses Revisi
Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna menyampaikan bahwa dalam rancangan Peraturan Bursa I-A yang sedang dalam proses revisi, BEI melakukan penyesuaian pengaturan untuk calon perusahaan tercatat.
Ia bilang, calon emiten dapat menggunakan lima alternatif persyaratan yang telah disiapkan oleh BEI, antara lain dengan aset berwujud bersih (net tangible asset/NTA) dan laba usaha.
“Saat ini, Bursa mempersyaratkan antara lain nilai minimum NTA sebesar Rp100 miliar sebagai persyaratan pencatatan di Papan Utama,” ujarnya melalui pesan singkat kepada awak media pertengahan Juni 2021.
Selain NTA dan laba usaha, empat alternatif lain yakni agregat laba sebelum pajak 2 tahun terakhir dan nilai kapitalisasi pasar. Lalu, pendapatan dan nilai kapitalisasi pasar. Kemudian, total aset dan nilai kapitalisasi pasar. Terakhir, operating cashflow kumulatif 2 tahun terakhir dan nilai kapitalisasi pasar.
Menurutnya, alternatif-alternatif persyaratan tersebut telah disesuaikan dengan best practice pada penerapan di Bursa lain secara global. Dengan begitu, ia berharap dapat membuka kesempatan yang lebih lebar bagi perusahaan-perusahaan yang ingin melantai di BEI.