<p>Pesawat Garuda Indonesia / Garuda-indonesia.com</p>
Industri

Tersandung Restrukturisasi Garuda Indonesia, Holding BUMN Pariwisata Molor hingga 2023

  • Holding Pariwisata dan Pendukung menunggu restrukturisasi utang Garuda Indonesia. Padahal Kementerian BUMN telah menyiapkan PMN untuk holding ini senilai Rp9,3 triliun.

Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Pembentukan Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pariwisata dan Pendukung harus molor akibat menunggu restrukturisasi utang PT Garuda Indonesia (Persero) Tb (GIAA).  Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan Holding BUMN Pariwisata tahap akhir baru bisa rampung pada 2023.

Kartika yang biasa dipanggil Tiko, menjelaskan pemerintah tengah menyiapkan fasilitas pinjaman standby facility yang nantinya digunakan untuk proses restrukturisasi.

“Kami sedang merancang apakah nanti akan pengambilan Citilink (oleh Holding BUMN Pariwisata) untuk memperkuat cashflow pascarestrukturisasi,” kata dia, dalam rapat kerja bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Kamis, 8 Juli 2021.

Sementara itu, PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero) kini telah mengantongi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2021 sebagai produk hukum yang melegitimasi induk Holding BUMN Pariwisata.

Aviasi Pariwisata Indonesia tercatat tengah melakukan inbreng saham dari lima perusahaan pelat merah bidang pariwisata, yakni PT Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko (Persero), PT Sarinah (Persero), PT Angkasa Pura I (Persero), dan PT Hotel Indonesia Indonesia Natour (Persero).

Selanjutnya, Kementerian BUMN kembali melakukan inbreng saham di PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) atau Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) setelah merealisasikan dana Penyertaan Modal Negara (PMN) 2021. Proses inbreng saham ditargetkan rampung pada kuartal IV-2021.

Suntikan PMN Tahun 2022

Lebih lanjut, Tiko menjelaskan Kementerian BUMN mengajukan dana PMN tahun 2022 untuk Holding BUMN Pariwisata sebesar Rp9,318 triliun. Dana tersebut paling banyak digelontorkan untuk membenahi sektor penerbangan dan maskapai.

Mayoritas dana sebesar Rp3 triliun digunakan penguatan modal dan pengembangan infrastruktur bisnis maskapai. Berselisih tipis, Kementerian BUMN menyatakan butuh suntikan dana pemerintah senilai Rp2 triliun demi penguatan solvabilitas bandara dan sebesar Rp700 miliar untuk pengembangan layanan penerbangan.

Lalu, sebanyak Rp1,2 triliun bakal digunakan untuk pengembangan infrastruktur holding dan Rp1,8 triliun untuk pengadaan lahan dan pembangunan destinasi pariwisata prioritas. Kemudian, Rp100 miliar sisanya dialokasikan untuk memperkuat produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Industri Penerbangan Babak Belur

Besarnya porsi PMN untuk membenahi penerbangan menjadi sinyal bahwa sektor bisnis itu paling babak belur akibat pandemi COVID-29. Garuda Indonesia kini tengah melakukan lobi restruktrukturisasi kredit dari sejumlah debitur.

Kabar terakhir menunjukan emiten berkode GIAA mendapat restu restrukturisasi dari PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI), dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk senilai R10 triliun.

Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko GIAA Prasetio mengklaim seluruh bank non-himabara lainnya telah memberi restu perpanjangan pinjaman.

Emiten pelat merah ini diketahui sangat ugal-ugalan menarik utang dalam dolar Amerika Serikat beberapa tahun sebelum pandemi.

Menurut laporan keuangan terakhir Garuda Indonesia, rata-rata bunga liabilitas jangka pendek dalam dolar AS pada kuartal III-2020 memang berada di kisaran yang rendah, yakni 2,01%-5,50%. Namun, jumlahnya membengkak bila dikonversi menjadi rupiah, yakni menjadi 8,25%-10,50%

Keputusan ini yang menjadi awal mula kisruh keuangan Garuda Indonesia. Akibatnya, kini utang Garuda Indonesia disebut telah menembus Rp70 triliun. (LRD)