<p>Ilustrasi kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI, di kawasan Gatot Subroto, Jakarta. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Terungkap! Ini Alasan Kemenkeu Ngotot Naikan Tarif PPN

  • Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan manuver besar-besaran dalam memperluas objek dan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyebut tarif PPN Indonesia masih di bawah rata-rata dunia sehingga dirasa perlu untuk dinaikkan.

Industri
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan manuver besar-besaran dalam memperluas objek dan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo menyebut tarif PPN Indonesia masih di bawah rata-rata dunia sehingga dirasa perlu untuk dinaikkan.

Yustinus menyebut rata-rata tarif PPN di 127 negara hingga 2020 mencapai 15,4%. Sementata itu, tarif PPN di Indonesia yang berlaku hingga saat ini baru sebesar 10%.

Hal ini lah yang mendorong Kemenkeu mengandalkan komponen pajak ini untuk mengisi penerimaan negara. Selain itu, Yustinus optimistis kenaikan PPN ini bisa mendongkrak tax ratio di Indonesia.

“Indonesia baru 10% tarifnya, sementara rata-rata 15,4%. Itu artinya kita jauh di bawah,” kata Yustinus dalam diskusi MEK PP Muhammadiyah, Jumat, 25 Juni 2021.

Seperti diketahui, perubahan tarif PPN masuk dalam revisi Undang-Undang (RUU) nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Dalam pasal 7 draf RUU KUP, tarif PPN direncanakan diubah menjadi 12%. Dalam beleid tersebut diungkap ada penerapan skema multi tarif dari 5%-15% terhadap objek pajak tertentu.

RUU KUP ini tercatat masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2021. Bila diketok palu oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, kebijakan ini kemungkinan mulai berlaku pada 2022.

Efeknya Terhadap APBN

Yustinus menyebut RUU KUP ini bisa menjadi jembatan untuk mengembalikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di bawah 3% pada 2023. Pasalnya, perluasan objek PPN menjadi salah satu tumpuan penerimaan perpajakan mulai tahun depan.

Dengan demikian, Yustinus menyebut instrumen fiskal ini kontribusinya berpotensi meningkat mulai 2022. Tidak heran, pemerintah menetapkan target Rp1499,3 triliun-Rp1.528,7 triliun pada 2022.

“Defisit ini masih terjaga dan penerimaan akan terus kita tingkatkan. Kalau dibandingkan negara lain, kita masih lebih rendah,” ucap Yustinus.

Menurut catatan Kemenkeu, Indonesia memang tergolong punya defisit APBN lebih rendah dibandingkan beberapa negara. China tercatat memiliki defisit APBN 11,9%, Amerika Serikat dengan defisit 15,6%, Jepang 14,2%, hingga Jerman 8,2%. (RCS)