Perajin menata produk pakaian batik di Sentra Kerajinan Batik Tradisiku,  Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa, 24 Agustus 2021. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia
Industri

Tidak Hanya Kredit, Insentif Fiskal Juga Diperlukan agar UMKM Naik Kelas

  • JAKARTA - Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sektor yang tengah digenjot oleh pemerintah. Sederet regulator merumuskan aturan anyar agar kontribusi P

Industri

Muhamad Arfan Septiawan

JAKARTA - Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi sektor yang tengah digenjot  pemerintah. Sederet regulator merumuskan aturan anyar agar kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) UMKM bisa meningkat jadi 62,36% pada tahun ini.

Paling baru, Bank Indonesia (BI) mendorong rasio penyaluran kredit UMKM di perbankan mesti mencapai 30% pada 2024. Kebijakan ini dirumuskan dalam Peraturan BI (PBI) nomor 23/13/PBI/2021 tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Syariah.

Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani menilai kebijakan ini, secara tunggal, tidak bisa mendongkrak peningkatan bisnis UMKM. Menurutnya, insentif fiskal juga diperlukan agar UMKM bisa “naik kelas”.

Insentif fiskal itu diperlukan agar UMKM bisa menjangkau lebih banyak pasar melalui perdagangan internasional. Aviliani bilang ekspansi bisnis tidak bisa dilakukan oleh pelaku usaha bila hanya memiliki pangsa pasar yang terbatas.

“UMKM di kita ini cuma fokus berdagang saja dan tidak masuk ke mata rantai global. Selain mengubah model bisnisnya, insentif fiskal juga diperlukan agar UMKM bisa dapat tempat di mata rantai global itu,” jelas Aviliani kepada TrenAsia.com, Jumat, 24 September 2021.

 Bila tidak ditopang oleh pangsa pasar yang luas, pelaku UMKM berpotensi alami kelebihan supply. Akhirnya, karena tidak bisa meningkatkan pendapatan usaha, kredit yang tadinya untuk meningkatkan skala bisnis justru berbalik jadi non performing loan (NPL) bagi industri perbankan.

Masalah ini juga yang dikhawatirkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso. Menurutnya, target kredit UMKM jangan sampai membuat kualitas aset industri perbankan justru kian menurun.

Otoritas pengawas itu memproyeksikan NPL segmen UMKM pada tahun ini berada di kisaran 4%-4,5%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan segmen korporasi yang hanya 3%.

“Target kredit UMKM ini bisa tidak memberikan positive impact bila hanya mengejar rasio yang ditetapkan saja. Kualitasnya harus dijaga,” jelas Wimboh dalam konferensi pers virtual belum lama ini. 

Tidak hanya itu, rasio kredit UMKM ini diharapkan tidak mengurangi kemampuan pelaku industri perbankan menyalurkan kredit pada segmen lain. Menurut Wimboh, bagaimana pun juga, segmen lain masih memiliki permintaan kredit yang tinggi.

“Bisa-bisa hanya sekedar memenuhi kewajiban individunya, ini dia mendes akselerasi pertumbuhan kredit untuk korporasi. Nah ini bahaya, bahaya sekali,” tegas Wimboh

Kondisi kredit hingga Juli 2021 masih tumbuh terbatas 0,5% year on year (yoy).Segmen konsumsi menjadi motor utama pertumbuhan kredit perbankan pada Juli 2021 ini. Kredit konsumsi tercatat tumbuh 2,40%.

Selain itu, ada pula segmen UMKM yang tumbuh 1,93%. Meski mampu tumbuh, kualitas kredit pada Juli 2021 rupanya memburuk.

Hal ini ditinjau dari peningkatan NPL gross pada Juli 2021 yang sebesar 3,35% dan NPL net 1,09%. Angka itu melebar dibandingkan Juni 2021 yang hanya 3,24% untuk NPL gross dan 1,06% untuk NPL net. 

Berdasarkan catatan OJK, penyaluran kredit perbankan periode Januari-Juli 2021 telah mencapai Rp1.439 triliun. Di sisi lain, pelunasan dan pembayaran kredit baru menyentuh Rp1.332 triliun.