PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN)
Bursa Saham

Tiga Hari Masuk PPK, Market Cap BREN Disalip BBCA

  • Saham BREN masuk dalam PPK hingga satu bulan ke depan. Dalam skema ini, investor tidak bisa melihat bid offer seperti pada perdagangan saham biasa.

Bursa Saham

Alvin Pasza Bagaskara

JAKARTA – Baru tiga hari masuk Papan Pemantauan Khusus (PPK) yang menerapkan skema perdagangan Full Call Action (FCA), market cap PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) kembali disalip PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). 

Berdasarkan data RTI Business pada perdagangan Jumat, 31 Mei 2024, pukul 13:35 WIB, market cap BREN saat ini berada di level Rp1.100,39 triliun. Sementara itu, nilai emiten Prajogo Pangestu ini turun 9,86% ke level Rp8.225 per saham. 

Di sisi lain, market cap BBCA pada periode perdagangan tersebut berada di level Rp1.124,88 triliun. Hal ini terjadi seiring dengan penguatan nilai emiten perbankan swasta ini, sebesar 1,39% menjadi Rp9.125 per saham. 

Namun, jika berkaca pada perdagangan sebelumnya, Kamis, 30 Mei 2024, BREN masih memegang posisi sebagai perusahaan dengan market cap terbesar di Bursa Efek Indonesia, dengan jumlah Rp1.221 triliun, sedangkan market cap BBCA hanya Rp1.098 triliun.

Seiring dengan keikutsertaan BREN dalam PPK dengan mekanisme perdagangan FCA berdampak terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami reli pelemahan selama tiga hari berturut-turut. IHSG kini turun 0,88% ke level 6.971 dan mengalami koreksi sebesar 3,45% dalam satu minggu. 

Direktur Keuangan dan SDM BEI, Rista Rustam, mengakui bahwa masuknya saham BREN ke dalam PPK FCA berdampak pada transaksi harian saham dan IHSG, mengingat BREN memiliki market cap yang besar.

“Karena BREN itu big cap, sedikit banyak pasti ada pengaruhnya ke Indeks, tapi harusnya kalau untuk RNTH secara keseluruhan tidak hanya saham-saham tertentu saja. Kan banyak lagi saham-saham lain di Bursa yang kontribusinya terhadap RNTH sangat besar,” ujar Risa dalam keterangannya di Jakarta, dikutip Senin, 3 Juni 2024.

Ia juga menambahkan bahwa pendapatan Bursa sebagian besar bergantung pada rata-rata nilai transaksi harian (RNTH). Oleh karena itu, jika volume perdagangan saham BREN mengalami penurunan yang signifikan. 

Risa juga bilang hal ini kemungkinan besar akan mempengaruhi RNTH secara keseluruhan. “Meskipun mungkin signifikan atau tidaknya kan masih belum tahu ya, karena ini kan baru beberapa hari terakhir, mudah-mudahan sih tidak," kata dia. 

Berdasarkan data BEI perdagangan Kamis, 30 Mei 2024, RNTH saham tercatat sebesar Rp11,91 triliun. Sementara itu, sampai dengan akhir tahun ini, BEI menargetkan RNTH bisa tembus hingga Rp12,25 triliun.  

Risa pun tak menampik ada tantangan lain bagi transaksi harian saham di BEI, terutama dari kondisi makro ekonomi domestik dan juga faktor global. Kendati demikian, dia optimistis sampai akhir tahun BEI dapat mencapai target RNTH tersebut.

Soal Metode Perdagangan FCA

Setelah suspensi dibuka pada Rabu, 29 Mei 2024, saham BREN masuk dalam PPK hingga satu bulan ke depan. Akibatnya, perdagangan saham emiten ini hanya dilakukan dengan skema FCA yang terdiri dari lima sesi dalam sehari. 

Dalam skema ini, investor tidak bisa melihat tawaran penawaran atau bid offer seperti pada perdagangan saham biasa. Yang tersedia hanyalah Indicative Equilibrium Price (IEP) dan Indicative Equilibrium Volume (IEV).

Direktur Avere Investama Teguh Hidayat mempertanyakan masuknya saham BREN ke PPK. Pasalnya, saham yang masuk PPK biasanya berasal dari perusahaan bermasalah. Sementara market cap BREN saat ini berada di posisi teratas. 

Teguh bilang fenomena BREN berhasil menyita atensi dunia pasar modal Indonesia. "Kalau dari sisi perusahaannya, (BREN) tidak ada masalah," ujar Teguh Hidayat dalam riset terbarunya.

Asal tahu saja, peraturan dari PPK menetapkan 11 kriteria untuk saham yang termasuk dalam pengawasan khusus, termasuk evaluasi subjektif BEI. Kenaikan harga saham BREN yang signifikan dianggap tidak wajar dan seringkali masuk dalam kategori aktivitas pasar yang tidak biasa (UMA). 

Namun, meskipun harga saham BREN telah meningkat lebih dari 1.000% sejak IPO, saham tersebut tidak ditetapkan sebagai UMA. "Saham lain yang naik 4-5 kali lipat biasanya langsung masuk UMA, tetapi saham BREN tidak. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa BEI tidak menerapkan mekanisme pengawasan yang sama seperti saham lainnya?” ujarnya.

Teguh juga bilang, sejak awal para investor menolak PPK. Sebab, saham-saham yang masuk jerat aturan tersebut dengan harga rendah turun lebih dalam lagi."Seharusnya ada mekanisme UMA atau suspensi ketika kenaikan tidak wajar seperti itu terjadi," ujarnya.