Tren Tiktok Ilustrasi Sosial Media TikTok
Tekno

TikTok Shop Ancam UMKM Lokal, Indef Minta Kemendag Revisi Peraturan

  • Barang-barang impor menjamur di platform-platform belanja online termasuk TikTok Shop.
Tekno
Idham Nur Indrajaya

Idham Nur Indrajaya

Author

JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk merevisi peraturan terkait dengan kehadiran TikTok Shop yang mengancam bisnis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Peneliti Center of Digital Economy and SMEs Indef Nailul Huda mengatakan, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) perlu direvisi untuk menyelamatkan UMKM dalam negeri.

Pasalnya, seiring dengan maraknya social commerce yang praktiknya didominasi oleh kanal TikTok Shop, barang-barang impor pun menjamur di platform-platform belanja online.

Dikatakan olehnya, bahkan 95% produk-produk yang dijajakan di platform berlanja online saat ini merupakan barang-barang impor yang kebanyakannya dari China.

Ditambah lagi, semenjak terjadinya pandemi, pola belanja masyarakat tidak hanya bergeser kepada e-commerce, melainkan juga social commerce.

Social Commerce

Nilai penjualan via social commerce di skala global pun diprediksi dapat meningkat tajam dengan perkiraan nilainya mencapai US$2,9 triliun atau setara dengan Rp43,57 kuadriliun dalam asumsi kurs Rp15.026 per-dolar Amerika Serikat (AS).

Dengan tren social commerce yang tumbuh subur, ditambah dengan kemudahan para pelaku perdagangan di dalamnya untuk memasukkan barang-barang impor, UMKM yang menjual produk lokal pun menjadi terancam.

"Ini yang harus dibahas dalam revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020," ujar Nailul dalam diskusi publik Project S TikTok Shop: Ancaman atau Peluang? yang diselenggarakan secara virtual, Senin, 24 Juli 2023.

Social commerce seperti TikTok Shop dinilai Nailul perlu dicermati untuk kemudian diatur kembali dalam Permendag karena selama ini platform-platform serupa dibebaskan dari peraturan perdagangan.

Pasalnya, TikTok dan platform social commerce lainnya diperkenalkan sebagai ruang penyelenggara komunikasi dan bukan transaksi perdagangan.

Padahal, sebagaimana diketahui, di platform social commerce ini terjadi jalinan komunikasi yang berkaitan dengan transaksi jual beli.

"Ini sering digunakan sebagai kedok social commerce dengan dalih bukan tempat jual-beli," papar Nailul.

Sebenarnya, menurut Nailul, Permendag Nomor 50 Tahun 2020 sudah cukup baik dalam mengatur perdagangan di e-commerce, dan hanya dibutuhkan sedikit revisi untuk mengatur kembali perdagangan di social commerce seperti TikTok Shop.

Dengan adanya revisi yang berkaitan dengan hal tersebut, maka pelaku UMKM yang menjajakan produk lokal pun bisa terlindungi dari banjirnya produk impor di kanal-kanal belanja online.

Dengan demikian, ekosistem ekonomi digital di dalam negeri pun bisa lebih inklusif, dan capaian itulah yang perlu dijadikan sebagai acuan dalam revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020.