Tim Auditor Gabungan Temukan 7 Masalah Pembangunan Rumah Subsidi, Apa Saja?
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menemukan setidaknya 7 masalah dalam pembangunan rumah bersubsidi.
Nasional
JAKARTA – Tim auditor yang terdiri atas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menemukan setidaknya ada tujuh masalah dalam pembangunan rumah bersubsidi.
Ketujuh masalah ini diungkapkan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR Eko D. Heripoerwanto dalam diskusi virtual pada Selasa, 15 Juni 2021.
“Pertama, kurangnya sosialisasi dalam penghunian rumah bersubsidi. Sebagai contoh, tidak semua debitur mengetahui bahwa rumah itu harus dihuni dalam satu tahun, tidak boleh lebih,” ujar Eko.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Eko menyarankan pihak perbankan harusnya menyampaikan hal tersebut baik sebelum atau ketika akad kredit. Menurutnya, hal ini wajib dilakukan karena Kementerian PUPR akan menganggap tidak terhuninya rumah dalam setahun sebagai penyaluran pembiayaan yang tidak tepat sasaran.
Meski begitu, tidak begitu saja vonis diberikan. Eko menyebutkan bisa saja orang tidak menghuni karena sarana prasarana yang belum lengkap seperti tidak adanya listrik, air minum, atau transportasi umum.
“Saya selalu ingatkan itu tanggung jawab dari pemerintah daerah. Saat teman-teman pengembang membangun rumah subsidi mohon jalin komunikasi yang baik dengan pemerintah daerah apa yang dibutuhkan,” katanya.
Kedua, banyak ditemukan rumah subsidi belum memenuhi standar laik fungsi, baik dari sisi kualitas konstruksi, penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU), maupun administrasi.
“Kita masih menemukan banyak kelemahan dari sisi kualitas konstruksi, mulai fondasi, kolom, ring balok, maupun atap. Kalau ke lapangan kami masih menemukan itu,” ungkap Eko.
Ketiga, ditemukan rumah KPR bersubsidi yang tidak sesuai tata ruang atau perizinan. Ini terutama pada saat kemudian beberapa daerah ternyata langganan banjir tiap tahun. “Ini sebenarnya bisa dihindari,” kata Eko.
Keempat, keterlambatan penyaluran subsidi uang muka (SBUM) oleh bank pelaksana. Kelima, keterlambatan penyetoran dana bergulir dan tarif dana fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) oleh bank pelaksana.
Keenam, terjadinya rumah yang tidak dihuni, disewakan, atau dipindahtangankan sebelum lima tahun (rumah susun) dan 20 tahun (rumah tapak). Ketujuh, terjadinya dua rumah KPR bersubsidi digabung menjadi satu rumah. (LRD)