Ilustrasi Rokok dalam Asbak (Freepik.com/fabrikasimf)
Makroekonomi

Tingginya Tarif Cukai Rokok Ancam Keberlangsungan Industri dan Pekerja

  • Tingginya kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) secara tahunan dinilai mengancam keberlangsungan industri, yang turut berdampak kepada para pekerjanya.

Makroekonomi

Debrinata Rizky

JAKARTA - Tingginya kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) secara tahunan dinilai mengancam keberlangsungan industri, yang turut berdampak kepada para pekerjanya. Ketua Pengurus Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Jawa Timur, Purnomo, menyatakan kenaikan CHT menjadi momok dan menghantui keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT).

Secara kumulatif, Purnomo menyatakan, kenaikan tarif CHT telah mencapai 67,5% dalam lima tahun terakhir. Hal ini membuat harga rokok melejit, sehinga menyebabkan maraknya penyebaran rokok ilegal di masyarakat. 

“Akibatnya perusahaan rokok legal bisa mati karena kalah saing. Oleh karena itu, kebijakan kenaikan tarif cukai rokok harus melihat kemampuan industrinya,” ujarnya kepada media beberapa waktu lalu.

Menimbang kondisi tersebut, Purnomo mendesak pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai rokok pada tahun 2025. Dengan begitu, jumlah tenaga kerja diharapkan dapat terus bertambah ke depannya. “Apabila kondisi IHT baik, maka jumlah tenaga kerja dapat bertambah. Misalnya, seperti di sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT), kebijakan tarif cukai rokok yang berpihak bagi SKT mendukung serapan tenaga kerja,” ungkapnya.

Di RTMM sendiri, terdapat penambahan dua perusahaan dengan jumlah tenaga kerja sekitar 5.000 orang. Hal ini sangat membantu mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia, terutama di Jawa Timur, di mana jumlah pengangguran masih signifikan.

Di kesempatan terpisah, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati Tangka, memaparkan bahwa sekitar 90% pekerja di sektor SKT merupakan perempuan. Namun, ironisnya, Mike belum melihat adanya peran pemerintah yang maksimal dalam memperhatikan serta melindungi hak-hak pekerja perempuan di sektor SKT.

Kekhawatiran ini didasari oleh besarnya ketergantungan kinerja SKT pada kebijakan pemerintah. Kenaikan cukai rokok yang tinggi setiap tahun dapat berdampak langsung bagi IHT dan mengancam keberlangsungan pekerjanya. Maka, kenaikan cukai rokok diharapkan tidak hanya dilihat dari segi finansial dan inflasi, tapi juga dari dampak pada aspek pekerja.

“Apakah kenaikan cukai rokok nanti akan memicu PHK (Pemutusan Hubungan Kerja)? Karena kemampuan perusahaan untuk bertahan jika terjadi kenaikan cukai rokok akan berpengaruh terhadap kondisi keuangan atau modal perusahaan untuk mampu bertahan di tengah kebijakan cukai yang naik tersebut. Biasanya kan jalan keluarnya adalah perusahaan melakukan efisiensi dengan melakukan PHK massal,” ujarnya kepada media baru-baru ini.

Mike juga mengharapkan pemerintah agar lebih mempertimbangkan aspek pekerja serta ruang lingkup lainnya yang akan berdampak pada kesejahteraan pekerja dalam menerapkan kebijakan cukai rokok ke depannya. “Misalnya, bagaimana (kebijakan) ini juga akan berdampak ke petani tembakau? Mungkin, di antaranya kalau dilihat lagi, mereka juga punya pekerja atau buruh petani tembakau yang perempuan,” terang Mike.

Selain itu, ia menilai kenaikan cukai rokok juga dapat memberikan dampak negatif yang lebih luas pada lingkungan sekitar IHT, seperti PHK massal. “Jadi, ketika cukai rokok itu dinaikkan, seharusnya juga melihat dampaknya terhadap kesejahteraan pekerjanya. (Kebijakan) ini kan juga akan mempengaruhi bagaimana kondisi kesejahteraan atau kestabilan pekerja dan juga (bisa) meluas ke keluarga dan masyarakat sekitanya,” tambahnya.

Maka, Mike menekankan kepada pemerintah agar berorientasi kepada nasib pekerja dalam membuat kebijakan, dan tidak hanya bertumpu kepada kepentingan makro atau kepentingan pertumbuhan ekonomi semata. “Karena negara juga harus memiliki paradigma bahwa pertumbuhan ekonomi yang baik itu ditunjang oleh kesejahteraan pekerjanya,” pungkasnya.