SOE International Conference
Fintech

Tingkatkan Inklusi Keuangan Melalui Pembangunan Infrastruktur Digital dan ESG

  • Penerapan inklusi keuangan di Indonesia telah termaktub berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan.
Fintech
Feby Dwi Andrian

Feby Dwi Andrian

Author

JAKARTA - Penerapan inklusi keuangan di Indonesia telah termaktub berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan.

Inklusi keuangan adalah sebuah kondisi dimana setiap anggota masyarakat mempunyai akses terhadap berbagai layanan keuangan formal yang berkualitas, tepat waktu, lancar, dan aman dengan biaya terjangkau sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing individu.

Menurut data Global Findex tahun 2017, tingkat inklusi keuangan di Indonesia mencapai 48,9% atau 12% lebih tinggi dibanding hasil Global Findex tiga tahun sebelumnya.

Pada tahun 2014, baru sekitar 36% penduduk dewasa di Indonesia yang memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal.

Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan pihaknya telah membangun berbagai infrastruktur digital dalam menjangkau inklusi keuangan di Indonesia.

Ia mencontohkan, Bank BRI saat ini menghadirkan agen BRILink atau Agen Laku Pandai untuk menjangkau masyarakat yang ada di berbagai wilayah di Indonesia.

"Terobosan menggunakan Agen Laku Pandai ini luar biasa karena banyak desa yang tidak terjangkau bisa dilayani oleh agen ini. Hal tersebut membuat akses orang bisa membuka akun, transfer uang, bahkan setor cash, bisa dilakukan di agen. Sehingga ini mengingatkan inklusi secara cepat," kata Kartika Wirjoatmodjo dalam acara SOE International Conference 2022, Selasa, 18 Oktober 2022.

Ia juga menambahkan setelah meningkatkan inklusi keuangan, Kementerian BUMN melakukan empowerment dan edukasi. Lalu akan diberikan pemberdayaan serta edukasi yaitu melalui program Mekar dari Permodalan Nasional Madani (PNM).

Selain memberikan edukasi, Kemeterian BUMN juga bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), khususnya dalam memberikan perlindungan bagi konsumen.

"Jadi banyak orang mengakses produk keuangan, tapi belum terliterasi resiko bertransaksi," kata Kartika.

Kartika menyampaikan bahwa saat ini ia melihat peluang besarnya potensi ekonomi di Indonesia, yaitu dari sekitar 55 juta pelaku ultra mikro, sekitar 30 jutanya belum tersentuh oleh lembaga keuangan formal.

"Mereka punya account atau punya model pembiayaan lain, tapi tidak dapat mengakses lembaga keuangan formal. Jadi kita bisa kategorikan nasabah ultra mikro ke dalam kategori unbankable dan unfeasible, ada juga feasible tetapi unbankable karena tidak memiliki collateral, dan nasabah yang sudah naik kelas," kata Tiko sapaan akrab dari Kartika Wirjoatmodjo.

Sementara itu, menurut Adjunct Lecturer Harvard Kennedy School Professor Jay K. Rosengard mengapresiasi kontribusi PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) atau BRI dalam mendorong inklusi keuangan dan menerapkan environmental, social, and governance (ESG) di Indonesia.

Menurutnya, kontribusi perseroan itu tak semata-mata datang secara tiba-tiba. Namun, hal itu adalah buah dari upaya panjang selama ini dalam memberdayakan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sebagai backbone utama bisnis.

"Saat teknologi dalam pertanian mulai merambah dua dekade lalu, BRI bersama pemerintah mulai berperan aktif membiayai pembelian beras, pupuk, pestisida, dan biaya hidup tunjangan selama masa transisi dan edukasi melalui program BIMAS (Bimbingan Massal)," ungkap Jay.

Lebih lanjut, Jay mengatakan BRI telah memulai cikal bakal dari microbanking itu sendiri. Selain itu, menurutnya pembiayaan yang selama ini disalurkan oleh BRI telah menjadi pendorong utama produktivitas pelaku UMKM di Indonesia.

Jay juga mengungkapkan bahwa adopsi teknologi tersebut sangat meningkatkan produktivitas petani yang berimbas pada meningkatnya pendapatan dan standar hidup para petani.

Dua dekade awal sejak adanya upaya tersebut, saat ini perseroan telah tumbuh menjadi bank dengan aset terbesar dan penyalur utama kredit UMKM di Indonesia dengan proporsi mencapai 83% dari total kredit, atau setara Rp920 triliun per kuartal II-2022.

"BRI adalah contoh dari suksesnya green revolution. BRI dapat saya katakan sebagai world's biggest & most succesful profitable microbanking. It's a great untold story," ungkap Jay.

Jay juga menilai BRI telah berhasil menjalankan bisnisnya sebagai commercial bank yang terbukti dapat membukukan laba Rp24,88 triliun pada semester I-2022, dengan sebagian di antaranya dikontribusikan kepada pemerintah melalui dividen serta pajak.