<p>Ilustrasi kontraktor pertambangan nikel, batu bara, dan jasa tambang lain dari PT Darma Henwa Tbk (DEWA) / Dok Perseroan</p>
Industri

Tingkatkan Kapasitas Produksi Nikel, Huayou Cobalt akan Berinvestasi Rp3 Triliun di Indonesia

  • , Perusahaan asal China tersebut melalui anak perusahaannya, Huayao International Investment, berencana untuk membangun proyek dengan kapasitas 50.000 metrik ton
Industri
Bintang Surya Laksana

Bintang Surya Laksana

Author

BEIJING - Huayou Cobalt menyatakan niatnya untuk  berinvestasi nikel guna produksi bahan baku utama baterai produknya di Indonesia. Investasi tersebut dilaporkan CNA akan bernilai US$200 juta  atau setara dengan Rp3 triliun (kurs Rp15.000).

Melansir CNA, Perusahaan asal China tersebut melalui anak perusahaannya, Huayao International Investment, berencana untuk membangun proyek dengan kapasitas 50.000 metrik ton dalam bentuk usaha patungan dengan perusahaan Singapura, Strive Investment Capital, dan Lindo Investment PTE.

Salah satu pembuat material baterai dunia ini dikabarkan Susan Zou, wakil presiden Rystad Energy, telah memperluas kapasitas produksi untuk prekursor ternary dan material katoda baik di dalam maupun luar negeri. Zou menyebutkan investasi tersebut merupakan langkah strategis untuk memperluas rantai pasok ke hulu untuk produk prekursor ternary dan material katoda.

Huayou International Mining, unit pertambangan dari Huayou, berencana untuk mengakuisisi 50,15 persen saham milik perusahaan swasta, Perlux Limited dengan nilai sebesar US$200,4 juta (Rp3,006 triliun).

Kesepakatan tersebut akan memberikan Huayou kepemilikan atas dua lini produksi feronikel di Indonesia. Kedua lini produksi tersebut diperkirakan dapat memproduksi feronikel sebesar 24.000 metrik ton kandungan nikel per tahun.

Nantinya usaha patungan itu akan diberi nama Huaxiang Refining Indonesia.

Selain di Indonesia, Huayou sebagai produsen nikel dan kobalt ini, juga meningkatkan investasi di litium dan menugaskan pabrik litium senilai US$300 juta (Rp4,5 triliun) di Zimbabwe awal bulan ini.

Indonesia sendiri telah melarang ekspor nikel yang belum diolah. Hal tersebut melansir Reuters merupakan kebijakan untuk menarik investasi dalam pengolahan hilir. Hasilnya, dalam tiga tahun, Indonesia telah menandatangani banyak kesepakatan senilai lebih dari US$15 miliar (Rp225 triliun) untuk bahan baterai dan produksi kendaraan listrik dengan pabrikan global seperti Hyundai, LG dan Foxconn.