Gedung Merah Putih KPK (Foto: Khafidz Abdulah/Trenasia)
Kolom

Titik Nadir Lembaga Antirasuah

  • Dalam dua hari KPK menghentikan dua penyidikan menyangkut korupsi senilai Rp83,8 triliun. Kepada siapa lagi publik mesti berharap. Kejaksaan Agung? Oh, no.

Kolom

Andi Reza Rohadian

Reputasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kian susut. Hanya dalam tempo dua hari, Selasa dan Rabu lalu, lembaga antirasuah menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), masing-masing untuk Surya Darmadi dan Supian Hadi. Surya, bos PT Duta Palma, adalah tersangka perkara dugaan suap senilai Rp78 triliun. Sedangkan Supian, mantan Bupati Kota Waringin Timur merupakan tersangka penyalahgunaan wewenang penerbitan izin tambang senilai Rp5,8 triliun. 

Dengan demikian sejak berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2019 tetang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK telah menerbitkan 8 SP3. Lima SP3 sebelumnya diberikan bagi tersangka yang meninggal dan sakit keras. Satu lagi diperuntukkan Syamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, yang telah dinyatakan bebas dari tuntutan hukum oleh Mahkamah Agung. 

Sebelum UU KPK diubah, tak dikenal yang namanya SP3. Tujuannya untuk mengoreksi kesalahan yang sering diberikan oleh lembaga penuntut umum sebelum kelahiran KPK. Di awal reformasi, Kejaksaan Agung sebagai institusi yang paling banyak menangani perkara korupsi acap mengkhianati rasa keadilan masyarakat dengan mengobral SP3 bagi para tersangka kasus korupsi. 

Menurut KUHAP, SP3 dapat dikeluarkan berdasar beberapa alasan: tidak diperoleh alat bukti yang cukup untuk meneruskan perkara, perbuatan yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana, penghentian penyidikan dilakukan demi hukum. Contoh dari alasan penghentian penyidikan yang terakhir meliputi nebis in idem alias seseorang tidak dapat dituntut dua kali atas dasar perbuatan yang sama, tersangka meninggal dunia, dan kedaluwarsa.

Selama ini ada dua pertimbangan hukum yang selalu digunakan Korps Adhyaksa. Yakni, tidak adanya alat bukti yang cukup dan tidak ditemukan kerugian negara.

Sungguh aneh jika tim penyidik menjadikan alat bukti sebagai alasan menyetop perkara. Sebab, saat menetapkan status tersangka para pemeriksa telah melalui proses penyelidikan dan penyidikan. Artinya, menurut pasal 1 ayat (2) dan (5) KUHAP, telah ditemukan alat bukti yang cukup untuk menyatakan suatu peristiwa sebagai tindakan pidana.

Kisah Kelam Penegakan Hukum yang Melahirkan KPK

Tak heran jika publik curiga SP3 diberikan barter dengan sejumlah imbalan, kendati ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut. Tapi satu hal yang tak bisa disangkal, buruknya penanganan kasus korupsi pada waktu itu (1999-2002) bisa dikatakan sebagai masa terkelam penegakan hukum di Indonesia. Nyaris semua tersangka korupsi lolos dari jerat hukum. Kalaupun ada tersangka yang diseret ke pengadilan, jaksa penuntut terlalu longgar dalam menyiapkan tuntutan. Sehingga hakim dengan mudah memberikan putusan bebas bagi terdakwa. 

Kisah kelam itu pula yang menjadi dasar pembentukan KPK. Tanpa wewenang SP3 KPK lantas tancap gas menangkap satu per satu koruptor. Dan sejak ditetapkan sebagai tersangka korupsi si pencoleng uang rakyat niscaya diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman. Tak ada ceritanya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta sebagai satu-satunya mahkamah yang menangani perkara rasuah menjatuhkan vonis bebas. 

Taji KPK mulai tumpul setelah Pemerintah mengembangkan pengadilan tipikor ke daerah pada tahun 2011. Sejak itu satu per satu tersangka korupsi diberi vonis bebas oleh hakim. Beruntung di Mahkamah Agung masih ada hakim agung yang terkenal sangar terhadap koruptor. Dia adalah almarhum Artidjo Alkostar (pensiun Mei 2018). Koruptor yang mengajukan kasasi dibuatnya menyesal. Alih-alih mendapat keringanan hukuman, ganjaran bagi si koruptor malah tambah berat. 

Kini, siapa lagi yang bisa diharapkan menangani perkara korupsi sesuai rasa keadilan masyarakat? Entahlah. Bagaimana dengan Kejaksaan Agung? Lembaga ini seolah tak mau belajar dari kesalahan masa lalu. Indonesian Corruption Watch mencatat sejak 2000-2005 ada 17 kasus yang memperoleh SP3 dari Kejaksaan Agung. Dari perkara-perkara itu tercatat ada 41 tersangka. 

Mencermati beberapa pemberian SP3 kasus korupsi yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan Tinggi di daerah, mengarah pada suatu pola atau kesamaan antara satu dengan yang lain. 

Pola pertama, dilakukan secara diam-diam. Pola kedua, diumumkan setelah bau sangitnya meruyak ke publik. Pola ketiga, diberikan kepada para tersangka korupsi yang berlatar belakang pengusaha kelas kakap yang memiliki proteksi politik maupun pejabat publik atau politisi yang memiliki pengaruh besar. Pola keempat, pemberian SP3 dilakukan pada saat berkurangnya atau tidak adanya perhatian masyarakat terhadap kasus korupsi tersebut.

KPK juga Punya “Dosa”

Setelah kurun waktu itu, Kejaksaan Agung masih getol menerbitkan SP3. Dari kasus Technical Assistance Contract (TAC) antara Pertamina dan PT Ustraindo Petrogas, melibatkan mantan Mentamben Ginandjar Kartasasmita, BPPC yang melibatkan Tommy Soeharto hingga Very Large Crude Carrier yang menyangkut Menteri BUMN kala itu Laksamana Sukardi.  

Belum lagi dengan penerbitan SP3 perkara dugaan korupsi dalam impor beras ilegal dengan tersangka Gordianus Setio Lelono, Direktur PT Hexatama Finindo dan pengusaha properti Tan Kian di perkara korupsi dana PT Asuransi Sosial ABRI. Selain itu, ada pula penghentian penyidikan terhadap mantan Kepala BPPN Syafruddin Temenggung dalam kasus penjualan pabrik gula milik RNI di Gorontalo yang mengangkangi aturan, plus kasus Sisminbakum yang melibatkan grup MNC. 

Betul “dosa” itu sejatinya tak bisa dipanggul oleh Kejaksaan Agung semata. KPK juga punya andil. Institusi itu sesungguhnya punya kewenangan supervisi bahkan mengambil alih perkara-perkara korupsi yang ditangani lembaga penegak hukum lain. Toh wewenang itu tak pernah digunakan KPK hingga wibawanya saat ini jatuh ke titik nadir. 

Apa boleh buat, sekarang masyarakat hanya bisa berharap ke Kejaksaan Agung. Dan itu memang sesuai keinginan pemerintah yang sengaja mengerdilkan peran KPK. Lihat saja, semua kasus bernilai puluhan triliun seperti Jiwasraya, Asabri, Taspen, hingga kasus tambang timah senilai Rp300 triliun digarap tim gedung bundar. KPK hanya kebagian kasus bernilai miliaran rupiah. 

KPK memang hanya lembaga adhoc. Artinya suatu saat pasti dibubarkan. Dengan syarat tingkat korupsi di Indonesia sudah turun drastis. Nah, dengan penerbitan dua SP3 tadi tampaknya pembusukan KPK akan semakin cepat.