Ilustrasi Gedung DPR RI di Senayan Jakarta. (dpr.go.id)
Nasional

Tok! DPR Restui Penetapan Perpu Cipta Kerja Jadi UU

  • Cikal bakal UU Cipta Kerja sendiri pertama kali muncul pada 17 Desember 2019 hingga akhirnya disahkan pada 5 OKtober 2020. Lalu UU ini digugat (uji formil) ke MK dan pada 25 November 2021 MK melalui putusannya Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan UU tersebut inkonstitusional bersyarat, dan harus diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun.

Nasional

Yosi Winosa

JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) lewat sidang paripurna hari ini menyepakati penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) menjadi UU.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Perpu Cipta Kerja merupakan pelaksanaan konstitusi atas kewenangan atributif Presiden berdasarkan Pasal 22 UUD 1945. Namun pelaksanaan kewenangan tersebut juga dibatasi di mana Perpu harus diajukan kepada DPR RI untuk mendapatkan persetujuan. 

Dengan demikian subyektifitas Presiden dalam menetapkan Perpu, akan dinilai secara obyektif oleh DPR RI untuk dapat ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU).

Penjelasan Pemerintah terkait latar belakang penetapan Perpu Cipta Kerja telah didalami dalam Rapat Panja DPR RI sebelumnya yang menjadi bahan pertimbangan Fraksi-Fraksi untuk dapat menyetujui atau tidak menyetujui RUU Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi UU.

Dalam Rapat Sidang Paripurna DPR RI terkait Pembahasan Tingkat II atas Pengambilan Keputusan RUU Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, Selasa, 21 Maret 2023 dihasilkan keputusan bahwa Badan Legislasi DPR RI menyetujui RUU Penetapan Perpu Cipta Kerja untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang.

“Perpu Cipta Kerja merupakan salah satu langkah mitigasi dari krisis global dan tentunya mencegah selalu lebih baik daripada kita berhadapan dengan persoalan. Perpu cipta kerja mencegah persoalan menjadi luas dan kerentanan perekonomian global yang berdampak kepada perekonomian nasional, tentunya perlu kita hindari,” kata Airlangga Hartarto, Selasa, 21 Maret 2023.

Menko Airlangga juga menjelaskan catatan terkait beberapa pandangan mini fraksi dalam Rapat Panja terkait Pengambilan Keputusan Pembicaraan Tingkat I RUU Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang pada tanggal 15 Desember 2023, dimana sebanyak 7 fraksi (PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, PAN, dan PPP) menyetujui dan menerima RUU Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi UU dan 2 fraksi (Demokrat dan PKS) menyatakan menolak RUU Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi UU.

“Pemerintah bersama para Menteri terkait mengucapkan terima kasih dan penghargaan. Semoga Perpu Cipta Kerja ini yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang bermanfaat besar untuk memitigasi dampak dinamika perekonomian. Pemerintah sekali lagi mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada pimpinan dan anggota DPR RI, juga ucapan terima kasih pada pimpinan Baleg, para ketua fraksi, dan ketua panja,” tutur Menko Airlangga.

Sejumlah Catatan Fraksi

Meski disepakati dalam sidang paripurna, sejumlah fraksi yang menyetujui memberikan berbagai masukan yang konstruktif.

PDIP misalnya mengusulkan 3 hal. Pertama, perlu penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan Koperasi UMKM, serta peningkatan ekosiostem investasi, percepatan PSN, serta perlindungan dan kesejahteraan pekerja dengan kondisi perekonomian saat ini. 

Kedua, PP yang menyangkut kepentingan publik sebagai turunan dari Perpu Cipta Kerja tetap perlu dikonsultasikan bersama dengan DPR. Ketiga, eksekusi dan implementasi Perpu harus dikelola dan dijalankan secara inklusif dan berkelanjutan, dan untuk itu Pemerintah dapat membentuk Program Management Office (PMO).

Sementara Golkar memberikan dua catatan. Pertama, penyederhanaan regulasi dalam Perpu Cipta Kerja merupakan terobosan yang penting dalam menghadapi dampak negatif ekonomi global. Kedua, Perpu Cipta Kerja adalah bentuk kehadiran negara untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang sudah baik dan meningkatkan kesejahtreraan rakyat, serta mengantisipasi kemungkinak yang terjadi dampak dari ancaman resesi ekonomi global.

Gerindra memberikan dua catatan, pertama bahwa Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas dan berkeadilan untuk mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur di tengah kondisi global yang perlu disikapi dengan kehati-hatian dan kewaspadaan namun tetap dalam semangat optimisme yang disertai terobosan kebijakan ekonomi untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang positif. 

Kedua, terhadap substansi klaster ketenagakerjaan, perubahan harus dapat mengutamakan kepentingan pekerja dan masyaraklat dan terkait substansi sertifikasi halal agar penyelenggaraan jaminan produk halal dapat ke daerah sesuai kebutuhan dan dilakukan secara cepat dan berbiaya murah dengan memanfaatkan sistem elektronik serta untuk UMK tidak dikenakan biaya.

Nasdem memberikan pandangan bahwa kegentingan memaksa penetapan Perpu Cipta Kerja dapat dipahami, sehingga kehadiran Perpu telah memenuhi aspek legalitas dalam siatem ketatanegaraan sebuah negara. 

Nasdem juga menilai ada beberapa materi Perpu yang perlu mendapatkan perhatian seperti kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut, percepatan proses sertifikasi halal, dan untuk materi ketenagakerjaan agar pemerintah membangun komunikasi dan dialog dengan kalangan buruh terkait ketentuan pesangon dan meminta Pemerintah agar menjaga keseimbangan kepentingan buruh dan pengusaha

Adapun PKB memandang bahwa Perpu diharapkan akan membawa kemashalatan bagi bangsa, perkembangan UMKM untuk mendukung perekonomian kerakyatan dan diharapkan dapat meningkatkan kinerja industri berorientasi ekspor yang semakin berdaya saing. Selain itu, Perpu menjadi upaya pemulihan ekonomi nasional khususnya dalam mendorong transformasi ekonomi agar mampu menciptakan lapangan kerja baru. 

PAN berpandangan bahwa Perpu Cipta Kerja merupakan kebijakan strategis yang perlu dikeluarkan untuk memberikan kepastian hukum dan sekaligus upaya mitigasi dampak ketidapkastian global. PAN juga mendorong pemerintah untuk tetap memperhatikan aspirasi yang berkembang di masyarakat, sehingga dalam penyusunan peraturan pelaksanaan Perpu Cipta Kerja dapat mengakomodir berbagai kepentingan masyarakat.

Adapun PPP menilai Perpu Cipta Kerja dalam kondisi dan situasi tertentu agar dapat dilakukan perubahan dengan mempertimbangkan keberpihakan kepada masyarakat. Selain itu, Fatwa halal agar tetap dikeluarkan oleh MUI Pusat dan/atau provinsi dan investasi dalam bidang pendidikan harus berada dalam koridor perundang-undangan yang berlaku, menampilkan karakter, kualitas serta mempertahankan norma dan budaya Indonesia.

Dinilai Selamatkan Perekonomian RI dari Pandemi

Menko Airlangga berpandangan, UU Cipta Kerja sejatinya telah menjadi jangkar Indonesia bisa bertahan dari gempuran tantangan ekonomi global sejak pandemi. Mengutip laporan Bank Dunia pada Desember 2022, dikatakan bahwa pasca UU Cipta Kerja diterbitkan, Indonesia menjadi negara terbesar kedua penerima Foreign Direct Investment/FDI di Asia Tenggara. 

Tingkat PMA di Indonesia meningkat rata-rata 29,4% pada 5 triwulan setelah diterbitkannya UU Cipta Kerja dibandingkan dengan tingkat PMA 5 triwulan sebelum UU Cipta Kerja diterbitkan. Hal ini menandakan bahwa investor merespon positif dengan hadirnya UU Cipta Kerja. 

Menko juga mengutip laporan OECD yang menyatakan implementasi UU Cipta Kerja dapat mengurangi hambatan untuk FDI lebih dari sepertiga dan mengurangi hambatan perdagangan dan investasi hampir 10% pada Tahun 2021. Hal ini menandakan aspek positif hadirnya UU Cipta Kerja perlu dipertahankan oleh Pemerintah, terlebih dalam situasi perekonomian dunia yang tengah krisis. 

Berbagai aturan turunan UU Cipta Kerja sebagai landasan berjalannya program dan kebijakan telah mempercepat pemulihan perekonomian Indonesia dari dampak pandemi Covid-19. Termasuk juga proses perizinan berusaha yang saat ini telah berbasis risiko dan telah terintegrasi melalui sistem Online Single Submission (OSS) mampu mengurai proses birokrasi dalam perizinan yang sebelumnya rumit dan penuh ketidakpastian. 

Berdasarkan data dari Kementerian Investasi/BKPM sejak Agustus 2021 sampai dengan 20 Maret 2023, Sistem OSS telah menerbitkan 3.662.026 Nomor Induk Berusaha (NIB). Dimana NIB diberikan terbesar kepada usaha mikro sebesar 3.476.114 NIB (95%), usaha kecil sebesar 136.788 NIB (3,7%), usaha besar sebesar 30.982 NIB (0,8%), dan usaha menengah sebesar 18.142 NIB (0,5%). 

Hal ini adalah sejarah baru dimana Pemerintah dapat memberikan legalitas kepada Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dalam jumlah yang sangat besar yang belum dapat dilakukan sebelumnya. Selain itu, berdasarkan data dari Kementerian Investasi/BKPM tersebut, untuk rasio PMDN sebesar 99,64%, dan PMA hanya 0,36%. Sehingga UU Cipta Kerja terbukti memberikan jauh lebih banyak manfaat bagi PMDN.

Jalan Panjang

Tambahan informasi, cikal bakal UU Cipta Kerja sendiri pertama kali muncul pada 17 Desember 2019 hingga akhirnya disahkan pada 5 OKtober 2020. Lalu UU ini digugat (uji formil) ke MK dan pada 25 November 2021 MK melalui putusannya Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan UU tersebut inkonstitusional bersyarat, dan harus diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun.

Dalam kondisi ketiadaan kepastian usaha atau yang disebut sebagai kegentingan oleh pemerintah tersebut, Presiden mengeluarkan Perppu Cipta Kerja. Mengingat, dalam periode 2 tahun tersebut, pemerintah tidak diperbolehkan untuk membuat kebijakan strategis, berdampak luas, dan pembentukan peraturan pelaksanaan baru. Hal ini dinilai menciptakan kegamangan bagi pelaku usaha yang akhirnya memutuskan menunda keputusan untuk berusaha atau berinvestasi di Indonesia. 

Selain itu, pelaku usaha yang sudah berinvestasi dihadapkan pada kekosongan hukum dan/atau tidak memadainya perangkat peraturan perundang-undangan yang saat ini ada karena tidak dapat melakukan perubahan perubahan peraturan pelaksanaan yang diperlukan. Oleh karena itu, lanjut Menko Airlangga, timbul situasi kegentingan memaksa.

“Bentuk Perpu dipilih karena jika negara menempuh proses pembentukan peraturan perundang-undangan secara business as usual (bukan melalui Perpu), maka negara akan berhadapan dengan waktu dan birokrasi panjang proses pembentukan peraturan perundang-undangan,” pungkas Airlangga.