DPR Sahkan RUU HPP Jadi UU, Ini 7 Ketentuan Baru yang Wajib Diketahui.jpg
Nasional

Tok! DPR Sahkan UU HPP, Ini 7 Ketentuan Baru Pajak yang Wajib Diketahui

  • DPR akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi Undang-undang pada Kamis, 7 Oktober 2021.

Nasional

Daniel Deha

JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi Undang-undang pada Kamis, 7 Oktober 2021.

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie dalam Rapat Paripurna mengatakan ada delapan fraksi DPR yang menyetujui RUU HPP menjadi UU. Sedangkan Fraksi PKS disebut menolak UU yang mengatur tentang pajak ini.

Adapun delapan Fraksi DPR yang menyetujui meliputi Fraksi PDIP, Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PAN dan Fraksi PPP.

"Rapat Kerja komisi XI bersama dengan pemerintah memutuskan untuk menyetujui hasil pembicaraan tingkat I terhadap RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, untuk dilanjutkan pada tahap Pembicaraan II dalam Rapat Paripurna DPR RI untuk disetujui dan ditetapkan sebagai Undang-undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan," katanya.

7 Ketentuan Baru UU HPP

Dolfie mengatakan UU HPP terdiri dari sembilan Bab dan 19 pasal. Dari bab-bab tersebut, setidaknya memuat tujuh ketentuan baru yang wajib diketahui.

Pertama, UU HPP ini menggantikan beberapa UU sebelumnya, antara lain: UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan; UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Kemudian, menggantikan UU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19.

Selain itu, juga mengubah UU Nomor 11Tahun 2020 tentang Cipta Kerja; mengatur program pengungkapan wajibpajak; dan pengaturan mengenai pajak karbon.

Kedua, UU HPP mengatur penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi.

Sementara terkait asistensi penagihan pajak global kerja sama bantuan penagihan pajak antarnegara dilakukan melalui kerja sama negara mitra secara resiprokal.

Ketiga, adanya perbaikan pengaturan laporan tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (OP) yang berpihak pada lapisan penghasilan terendah yang saat ini sebesar Rp60 juta. Kemudian, adanya penambahan lapisan tarif PPh WP OP sebesar 35% untuk penghasilan di atas Rp5 miliar.

Diatur pula dalam UU HPP penambahan threshold peredaran bruto tidak kena pajak untuk usaha mikro kecil menengah (UMKM). Kemudian, pengaturan ulang taruf PPh sebesar 22% untuk penguatan basis pajak serta penyusutan dan amortasi.

"Kebijakan-kebijakan ini diambil merupakan bentuk perlindungan kepada UMKM dan masyarakat berpenghasilan rendah" ucap Dolfie.

Keempat, yaitu mengenai kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% dari 10% saat ini. Tarif ini akan dinaikkan lagi menjadi 12% pada 2025.

Sementara untuk barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa keuangan, dan jasa pelayanan sosial dibebaskan PPN-nya.

Kelima, UU HPP juga mengatur pemberlakukan pengungkapan sukarela wajib pajak atau Tax Amnesty Jilid II yang mulai berlaku Januari 2022.

Keenam, pengaturan mengenai pajak karbon sebesar Rp30 per kilogram karbondioksia ekuivalen (CO2e) sebagai komitmen terhadap lingkungan, perubahan iklim, dan penurunan emisi gas rumah kaca.

Terakhir, UU HPP juga mengatur mengenai cukai. Diharapkan ada penegakan ranah pelanggaran administratif dan prinsip ultimum remedium (penghentian penyidikan) pada tindak pidana cukai untuk kepentingan penerimaan negara dan kepastian hukum.

"Diharapkan adanya prinsip ultimum remedium mendorong penegakan keadilan di bidang cukai," pungkas Dolfie.