Tolak Kemasan Rokok Polos, HKTI: Ancam Keberlangsungan Petani Tembakau
- Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menyatakan sikap tegas menolak kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK). Pasalnya, kebijakan ini dinilai tidak hanya berdampak pada industri hasil tembakau, tetapi juga mengancam keberlangsungan pertanian tembakau nasional dan nasib para petani.
Nasional
JAKARTA – Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menyatakan sikap tegas menolak kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang tercantum dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK). Pasalnya, kebijakan ini dinilai tidak hanya berdampak pada industri hasil tembakau, tetapi juga mengancam keberlangsungan pertanian tembakau nasional dan nasib para petani.
Sekretaris Jenderal HKTI, Sadar Subagyo mengatakan, sejatinya konsumen berhak mendapatkan informasi atas produk legal yang dikonsumsi. Kemasan rokok polos tanpa merek lebih rawan terhadap pemalsuan produk hasil tembakau. Terlebih, negara dapat kehilangan potensi pendapatan dari cukai hasil tembakau (CHT) yang bernilai ratusan triliun rupiah setiap tahunnya.
"Karena tidak hanya industri tembakau yang terdampak, tetapi juga sektor-sektor lain yang terkait, termasuk petani tembakau. Ini menjadi kekhawatiran HKTI," ujar Sadar dalam keterangannya pada Selasa, 8 Oktober 2024.
- Bahlil Waspadai Harga Minyak Bebani APBN Imbas Serangan Israel
- Aksi Divestasi PLTU Bawa Saham TOBA Menguat, Apa Selanjutnya?
- Debut IPO Perdana, Saham PTMR dan VERN Kompak Melaju di Zona Hijau
Ia menjelaskan bahwa industri hasil tembakau merupakan sebuah ekosistem yang saling berkaitan antara satu sama lain. Jika satu aspek terkena dampak, hal itu akan menyebar ke aspek-aspek lainnya secara sistemik. Tak pelak, kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek inisiatif Menkes Budi Gunadi Sadikin tersebut akan berdampak luas bagi pertembakauan nasional, terutama bagi petani.
HKTI juga menyoroti narasi yang sering digunakan oleh pihak anti-tembakau, termasuk Kementerian Kesehatan (Kemenkes), yang menyarankan agar petani tembakau beralih ke tanaman lain. Menurut Sadar, petani memiliki independensi penuh untuk memilih tanaman yang ingin mereka garap, dan tidak seharusnya ada tekanan untuk beralih. Selain itu, pertanian tembakau juga menjadi mata pencaharian utama yang telah mensejahterakan jutaan petani bahkan di daerah kering yang sulit ditanami komoditas lain. Meskipun demikian, seharusnya petani tembakau diperlakukan adil oleh pemerintah.
"Petani tembakau sama saja nasibnya dengan petani komoditas lainnya. Keprihatinan terhadap nasib petani tidak harus spesifik menunjuk pada komoditas tertentu," tegasnya.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa UU Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014 telah memberikan kebebasan kepada petani untuk memilih komoditas yang ingin mereka tanam. Dengan landasan regulasi itu, konversi tanaman hanya akan terjadi jika suatu komoditas tidak memberikan margin keuntungan yang cukup bagi petani dalam jangka waktu tertentu.
Dengan demikian, petani sendiri yang akan menentukan apakah mereka akan tetap menanam tembakau atau beralih ke tanaman lain.
Menanggapi klaim bahwa petani tembakau dan cengkeh tidak sejahtera, Sadar menyatakan bahwa regulasi yang menekan industri tembakau justru menjadi salah satu penyebabnya. Ia menekankan bahwa kebijakan yang menekan sektor tembakau tidak seharusnya menjadi solusi, melainkan pemerintah harus adil dalam mengatur sektor ini.
"Pemerintah ke depan sebaiknya memberikan aturan yang adil dan berimbang agar semua pihak mendapatkan kenyamanan dalam berusaha," jelasnya.
Mengenai keberpihakan pemerintahan baru, Sadar menyinggung bahwa Presiden Terpilih Prabowo Subianto, yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum HKTI, diharapkan memberikan perhatian yang lebih terhadap nasib petani dan industri tembakau.
"Kami berharap pemerintahan baru mampu memberikan perlindungan yang lebih baik bagi sektor tembakau dan petaninya," ungkap Sadar.
Ia juga menyinggung mengenai rencana ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di Indonesia, Sadar Subagyo dengan tegas menyatakan penolakannya. Menurutnya, aturan yang dibawa oleh FCTC tidak cocok dengan kondisi khas Indonesia yang memiliki banyak petani dan tenaga kerja di mata rantai tembakau. Tanpa ratifikasi pun, petani sudah tertekan. Ia menekankan jangan sampai kondisi tersebut diperparah.
"Jangan ada lagi aturan menekan seperti perkembangan FCTC saat ini. Sebaiknya Indonesia membuat aturan nasional sendiri yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan negara kita," tegasnya.
Dengan sikap yang tegas ini, HKTI berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali kebijakan kemasan rokok polos serta dampaknya terhadap berbagai pihak, khususnya petani tembakau. Dukungan terhadap petani harus tetap menjadi prioritas dalam merancang regulasi yang adil dan berimbang untuk semua pihak yang terkait.