Ilustrasi Rokok dalam Asbak (Freepik.com/fabrikasimf)
Nasional

Tolak Pasal Pengamanan Zat Adiktif PP Kesehatan, GAPPRI: Demi Kedaulatan Negara

  • Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, menilai bahwa ruang lingkup Pengamanan Zat Adiktif yang diatur dalam Pasal 429 hingga 463 di PP ini berpotensi mengancam kedaulatan negara dan membawa dampak ganda (multiplier effect) terhadap kelangsungan industri kretek nasional yang legal.

Nasional

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) secara tegas menolak terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terkait pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. 

Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, menilai bahwa ruang lingkup Pengamanan Zat Adiktif yang diatur dalam Pasal 429 hingga 463 di PP ini berpotensi mengancam kedaulatan negara dan membawa dampak ganda (multiplier effect) terhadap kelangsungan industri kretek nasional yang legal. 

Pasal 435: Ancaman terhadap Industri Kretek Nasional 

Henry Najoan menyoroti Pasal 435 yang berbunyi, “Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau dan rokok elektronik harus memenuhi standardisasi kemasan yang terdiri atas desain dan tulisan.” 

Menurutnya, ketentuan ini disinyalir merupakan upaya menuju penerapan kemasan polos, yang selama ini menjadi target kelompok anti-tembakau untuk menekan pemerintah agar meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). 

"Perlu diingat, negara dengan industri rokok besar seperti Amerika Serikat, Swiss, Kuba, Argentina, dan lainnya, dengan tegas menolak intervensi dalam pengaturan industri tembakaunya masing-masing," ujar Henry Najoan melalui pernyataan tertulis yang diterima TrenAsia, Jumat, 30 Agustus 2024. 

Proses Penyusunan PP 28/2024 yang Tidak Transparan 

Berdasarkan kajian GAPPRI, proses penyusunan PP 28/2024 sejak awal sudah menuai kontroversi karena dianggap tidak transparan dan minim partisipasi publik. 

Padahal, partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan yang terdampak merupakan hal yang dijamin dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 

Henry Najoan menegaskan bahwa upaya pemerintah untuk memperketat regulasi dengan memberlakukan PP 28/2024, khususnya pada Pasal 429 hingga 463, bukan hanya akan mematikan industri kretek legal, tetapi juga berdampak negatif pada aspek sosial. 

Penyerapan tembakau dan cengkeh di dalam negeri diprediksi akan turun drastis, yang berakibat buruk pada kesejahteraan petani, pekerja logistik, pedagang, serta pelaku usaha dalam rantai industri kretek nasional yang legal. 

Baca Juga: Larangan Zona Iklan Rokok, 86 Persen Pelaku Industri Media Luar Ruang Bisa Terdampak

Ancaman Pengangguran Massal 

Henry Najoan menambahkan, kondisi industri kretek nasional yang saat ini sudah rentan, terlihat dari penurunan jumlah pabrik yang drastis dari 4.000 di tahun 2007 menjadi hanya 1.100 pabrik di tahun 2022. 

Dampak dari kebijakan ini akan menyebabkan lonjakan pengangguran besar-besaran yang memiliki konsekuensi serius terhadap ekonomi dan sosial masyarakat. 

"Selain itu, negara juga akan kehilangan sumber penerimaan besar dari cukai hasil tembakau (CHT) yang selama ini menjadi andalan, disertai dengan meningkatnya peredaran rokok ilegal," kata Henry Najoan. 

Pelanggaran Terhadap Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 

GAPPRI juga mencatat bahwa PP 28/2024 dianggap melanggar Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang penghormatan hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negara dengan profesi masing-masing. 

Selain itu, Henry menilai bahwa PP 28/2024 lebih mengakomodasi agenda FCTC daripada melindungi kepentingan para pemangku kepentingan lokal, seperti asosiasi petani, serikat pekerja, asosiasi ritel, dan pelaku usaha dalam industri tembakau. 

Kekhawatiran Terhadap Konflik Sosial Baru 

Henry Najoan juga mengungkapkan kekhawatirannya bahwa pemberlakuan PP 28/2024 dapat memicu konflik sosial baru, terutama dalam pengawasan implementasi pasal-pasal yang berpotensi merugikan. Menurutnya, regulasi ini mungkin tidak efektif dalam mencapai tujuan pembuatannya karena tantangan besar dalam penerapannya di lapangan. 

"Pengesahan PP 28/2024 ini membuktikan bahwa pemerintah gagal menghadirkan keseimbangan perspektif antara kesehatan masyarakat dan penguatan ekonomi, dengan mengorbankan kepentingan warganya sendiri dan lebih mengutamakan kepentingan asing," kata Henry Najoan. 

Pemerintah Harus Memprioritaskan Kedaulatan Nasional 

Henry Najoan menegaskan bahwa dalam menjaga kedaulatan negara, pemerintah seharusnya mengambil kebijakan yang mandiri dan sesuai dengan kebutuhan nasional. Pasalnya, pemerintah Indonesia lah yang paling memahami kondisi dalam negeri, bukan pihak luar, terutama lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing. 

Dalam proses pembahasan suatu regulasi yang memiliki dampak luas terhadap publik, pemerintah diharapkan tidak hanya mempertimbangkan aspek kesehatan semata. 

"Dalam kasus PP 28/2024, pemerintah seharusnya mempertimbangkan aspek lain seperti kesejahteraan rakyat, penyerapan tenaga kerja, kelangsungan hidup petani tembakau, dan kontinuitas sektor industri kretek legal nasional, serta penerimaan negara," jelas Henry Najoan. 

Penolakan Terhadap Campur Tangan Asing 

Secara umum, Henry Najoan menjelaskan bahwa hukum internasional melarang negara atau pihak asing untuk campur tangan dalam urusan domestik negara lain. Namun, seringkali kepentingan tersebut disusupkan melalui para proxy di negara yang bersangkutan. 

Henry mengatakan bahwa rakyatlah yang berdaulat dan memiliki hak suara di negeri ini. Suara rakyat wajib didengar oleh pemerintah Indonesia, terutama mereka yang kehidupannya bergantung pada industri kretek nasional. 

"Kami tegaskan, GAPPRI menolak keras PP 28/2024 yang jelas-jelas didorong oleh misi perdagangan dan agenda LSM asing yang disponsori oleh kapitalis pesaing kretek untuk menghancurkan industri kretek legal nasional," pungkas Henry Najoan.