Tradisi Malam Selawe: Antusiasme Menyambut Lailatul Qadar di Gresik
- Malam Selawe adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh masyarakat Desa Giri dan sekitarnya pada malam ke-25 puasa bulan Suci Ramadhan di situs makam Sunan Giri, karena diyakini pada malam tersebut merupakan turunnya Lailatul Qadar.
Nasional
JAKARTA - Setiap tahun, tradisi Malam Selawe dirayakan dengan penuh semangat di kawasan Makam Sunan Giri, Gresik. Kegiatan ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam budaya dan kehidupan masyarakat setempat.
Malam Selawe adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh masyarakat Desa Giri dan sekitarnya pada malam ke-25 puasa bulan Suci Ramadhan di situs makam Sunan Giri, karena diyakini pada malam tersebut merupakan turunnya Lailatul Qadar.
Sejarah mencatat bahwa tradisi Malam Selawe sudah ada sejak zaman Sunan Giri, seorang tokoh agama Islam di Pulau Jawa.
Pada masa itu, Raden Paku (Sunan Giri) mengajak para santrinya untuk beri’tikaf di Masjid Giri menjelang musim mudik, dengan harapan mendapatkan berkah di malam istimewa Bulan Ramadan.
Saat ini, kegiatan Malam Selawe tidak hanya dihadiri oleh masyarakat dari Gresik, tetapi juga dari berbagai daerah di Jawa Timur dan bahkan luar Jawa.
Selain rangkaian kegiatan keagamaan, terdapat juga Giri Expo dan Bazaar yang menambah nuansa keceriaan dan keramaian dalam merayakan momen yang penuh makna ini.
Malam Selawe menjadi ajang yang sangat dinantikan oleh masyarakat Desa Giri dan sekitarnya.
Baca Juga: 11 Tradisi Unik Lebaran di Dunia
Para peziarah berkumpul untuk bersama-sama membaca surat Yasin, Tahlil, dan berdoa dengan harapan meraih berkah, terutama pada malam Lailatul Qadar.
Meskipun tidak memiliki catatan pasti tentang awal mula keberadaannya, tradisi Malam Selawe, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Gresik dan sekitarnya.
Malam Selikuran
Tak hanya Malam Selawe, beberapa daerah lain di tanah air juga memiliki tradisi untuk menyambut malam Lailatul Qadar yaitu Malam Selikuran. Tradisi ini banyak dilakukan di Surakarta, Yogyakarta, Gunung Kidul, dan sekitarnya.
Dilansir dari laman Pemerintah Kota Surakarta, Tradisi Malam Selikuran digelar pada 20 Ramadan atau malam 21 Ramadan setiap tahunnya. Awalnya, ritual ini dikembangkan oleh Sultan Agung. Namun dalam perjalanannya sempat mengalami pasang surut. Di masa pemerintahan Pakubuwana IX, tradisi ini dihidupkan kembali dan mengalami puncaknya di masa Pakubuwana X.
Saat itu malam selikuran dilakukan dengan mengarak tumpeng yang diiringi lampu ting atau pelita dari Keraton menuju Masjid Agung Surakarta. Lampu ting menjadi simbol dari obor yang dibawa para sahabat ketika menjemput Rasulullah SAW usai menerima wahyu di Jabal Nur.
Dalam malam selikuran, nasi tumpeng yang dibawa abdi dalem berjumlah seribu. Jumlah tersebut melambangkan pahala setara seribu bulan. Berisi nasi gurih yang dibentuk tumpeng kecil dan dilengkapi dengan kedelai hitam, rambak, mentimun, dan cabai hijau lalu dimasukkan ke dalam wadah dari besi dan kuningan.
Kemudian nasi tumpeng yang diarak-arak oleh para abdi dalem ini didoakan oleh pemuka agama. Selepas prosesi tersebut, rombongan menuju titik terakhir di Taman Sriwedari.
Hingga saat ini, tradisi malam selikuran masih dilakukan. Hanya saja rute kirabnya dipersingkat sampai Masjid Agung saja.