Tradisi Peninggalan Nenek Moyang: Asal Usul Baju Baru Saat Lebaran
Momen Lebaran biasanya identik dengan sejumlah kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun. Salah satunya adalah membeli pakaian baru.
Nasional
JAKARTA – Momen Lebaran biasanya identik dengan sejumlah kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun. Salah satunya adalah membeli pakaian baru.
Hampir setiap lebaran, pasar dan pusat belanja yang menjual berbagai kebutuhan sandang tampak ramai pembeli. Meski sedang berpuasa, animo masyarakat dalam membeli baju lebaran tampak tak surut.
Lalu, pernahkan Anda bertanya darimana sebetulnya tradisi membeli baju baru saat lebaran bermula? Kali ini, TrenAsia mencoba mengulasnya dari beragam sumber.
Tradisi membeli pakaian baru menjelang lebaran rupanya sudah cukup lama ada di Nusantara. Berdasarkan data dari Historia.id, Kebiasaan ini telah tercatat sejak masa kolonial belanda.
Penasihat Urursan Pribumi untuk Pemerintah Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia (Jakarta), Snouck Hurgronje mencatat tradisi ini pada awal abad ke-20.
Catatan yang dihimpun dari surat-surat Hugronce kemudian dimuat dalam “Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889–1936 Jilid IV”.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Dalam catatan tersebut Hugronje menulis momen lebaran di masa kolonial sebagai sebuah perayaan pesta yang disertai hidangan makan khusus, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan.
Tak hanya di surat tersebut, dalam catatan lain Hugronje menyebut dalam catatannya yang lain yakni “Islam Hindia Belanda” kebiasaan ini hampir sama dengan perayaan pada tahun baru di Eropa kala itu.
“Kebiasaan saling bertamu pada hari pertama bulan kesepuluh dengan mengenakan pakaian serba baru mengingatkan kita pada perayaan tahun baru Eropa,” tulisnya seperti dikutip TrenAsia pada Kamis, 6 Mei 2021.
Selain catatan Hurgronje, tradisi mengenakan baju baru di momen Lebaran tercatat dalam Buku Sejarah Nasional Indonesia karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto.
Dalam buku tersebut dijelaskan, tradisi menggunakan pakaian baru sudah dimulai tahun 1596, yakni di masa Kesultanan Banten.
Mayoritas penduduk Muslim di bawah Kesultanan Banten kala itu diketahui selalu sibuk menyiapkan baju baru menjelang Lebaran Idulfitri. Namun pakaian baru yang dimaksud tidaklah dibeli, melainkan dijahit sendiri.
Hal serupa terjadi di kerajaan Mataram Islam yang terletak di Provinsi Yogyakarta.
Masyarakat Mataram kala itu sudah berbondong-bondong mencari baju baru dengan cara membeli atau membuat sendiri.
Selain catatan sejarah, Sosiolog UI, Imam B.Prasodjo berpendapat lain. Mengutip pendapatnya dari Republika, mengenakan baju baru menurutnya lebih kepada falsafah keagamaan yang bermakna berhasil membersihkan diri selama Ramadan.
Tak hanya itu, Ia menduga bahwa tradisi baju lebaran awalnya diprakarsai oleh kelompok masyarakat kurang mampu yang hanya bisa membeli pakaian satu kali dalam setahun.
Dengan memiliki pakaian baru, mereka ingin tampil lebih baik setidaknya satu kali dalam setahun.
“Dalam konteks situasi masyarakat dulu yang serba terbatas mungkin punya baju baru sekali dalam setahun karena banyak yang tidak punya uang cukup, di situlah punya kesempatan beli baju baru. Dipadukan dengan perayaan agama ganti baju lapuk dengan yang lebih baik,” ujar Imam. (RCS)