<p>Karyawan melayani calon pembeli di Dealer Mobil Tunas Daihatsu, Tebet, Jakarta, Rabu 17 Juni 2020. Kendati penjualan luluh, Toyota masih menjadi merek terlaris di Indonesia semasa pandemi. Toyota menjual 6.727 unit pada Mei, selanjutnya Daihatsu pada posisi dua dengan angka 3.673 unit, dan ketiga Suzuki 2.205 unit. Pada posisi empat ada Honda yang melego 1.291 unit dan kelima Mitsubishi Fuso sebanyak 844 unit. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Tragis! Kinerja Multifinance Makin Terpukul PSBB, Diprediksi Minus Hingga Akhir 2020

  • Industri pembiayaan alias multifinance sampai dengan Juni 2020 tercatat merosot kurang lebih 8%.

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai Senin, 14 Agustus 2020.

Terkait hal ini, Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) mengaku belum dapat memperkirakan dampaknya terhadap industri multifinance.

“Karena masih hari pertama, susah memprediksi dampaknya,” ujar Ketua APPI Suwandi Wiratno kepada TrenAsia.com, hari ini.

Ia menjelaskan, industri pembiayaan tetap berjalan seperti biasa pada PSBB kali ini. “Tidak seperti awal April 2020. Showroom juga masih buka dengan penerapan protokol kesehatan dan physical distancing,” tambahnya.

Suwandi mengatakan, pihaknya menghargai kebijakan dari pemerintah selaku pemangku kebijakan terkait. Menurutnya, keputusan PSBB ini sudah dipertimbangkan dengan matang.

“Sudah hasil kompromi, ya kita memang harus menghormati dan menaati dengan tertib,” katanya.

Kinerja Multifinance Tertekan

Sementara itu, industri pembiayaan sampai dengan Juni 2020 tercatat merosot kurang lebih 8%. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun melaporkan, sumber utang pembiayaan mencapai Rp88,29 triliun disumbang oleh DKI Jakarta. Jumlah tersebut setara 20,8% dari total penyaluran Rp423,84 triliun per Juli 2020.

Suwandi mengakui, merosotnya industri multifinance tersebut sudah sesuai dengan ekspektasi. Sejauh ini, lanjutnya, industri pembiayaan di semua bidang, baik motor, mobil, maupun alat berat mengalami penurunan kurang lebih 45%-50%.

Di samping itu, faktor lain yang berpengaruh terhadap anjloknya pembiayaan, yakni adanya hambatan dalam hal strategi survive. “Pertemuan jadi terhambat karena selama ini (sebelum pandemi) dilakukan secara langsung,” ungkapnya.

Ke depan, meski enggan menyebut angka, Suwandi memprediksi pertumbuhan industri pembiayaan tetap minus sampai akhir 2020.

“Masih banyak ketidakpastian. Kita lihat saja dari waktu ke waktu,” ucapnya.

Adapun untuk restrukturisasi kredit saat ini tetap berjalan seperti biasa. Suwandi menyampaikan, terdapat kurang lebih 4,6 juta debitur yang sudah disetujui dari total 5 juta debitur yang mengajukan restrukturisasi kredit.

Menurutnya, angka tersebut cukup tinggi. Namun, ia berharap dengan adanya restrukturisasi kredit, debitur dapat terbantu, utamanya yang terdampak pandemi.

“Dengan adanya restrukturisasi kredit, semoga dapat membantu debitur yang pendapatannya menurun akibat pandemi, dengan tetap komitmen membayar cicilan ke depannya,” ujar Suwandi.

Menurutnya, debitur yang telah direstrukturisasi selama jangka waktu tiga atau enam bulan pun belum dapat kembali normal seperti sebelumnya. “Mungkin perlu di-rescedule atau direstrukturisasi ulang,” tuturnya. (SKO)