
Transaksi Belanja Online 2024 Lebih Rendah dari 2022, Ini Penyebabnya
- Daya beli masyarakat yang melambat menjadi salah satu penyebabnya.
Tekno
JAKARTA – Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), dalam buku Outlook Ekonomi Digital 2025 menjelaskan beberapa penyebab menurunnya angka proyeksi transaksi belanja online pada tahun 2024 jika dibandingkan dengan tahun 2022.
Nailul Huda memperkirakan angka transaksi belanja online pada 2024 mencapai Rp468,6 triliun, meningkat 3% dibandingkan tahun sebelumnya.
Namun, angka ini masih lebih rendah dibandingkan transaksi tahun 2022 yang mencapai Rp476,3 triliun. Nailul menjelaskan bahwa daya beli masyarakat yang melambat menjadi salah satu penyebabnya.
“Peningkatan yang terbatas ini juga dipengaruhi oleh pergeseran konsumsi dari social commerce ke belanja online,” jelasnya.
TikTok, misalnya, telah masuk ke ekosistem belanja online melalui kolaborasi dengan Tokopedia, yang berkontribusi pada kenaikan transaksi meskipun dalam skala terbatas.
Pada 2025, transaksi belanja online diproyeksikan meningkat menjadi Rp471 triliun. Namun, faktor-faktor seperti kenaikan tarif PPN dan biaya admin yang meningkat dapat membatasi pertumbuhan. “Konsumen cenderung menahan belanja jika tidak ada insentif seperti diskon atau promosi,” tutup Nailul.
- IDLIX Hingga LK21 Ilegal, Berikut 7 Alternatif Nonton Film Legal
- Mengapa Home Alone Selalu Diputar Saat Natal dan Tahun Baru?
- Makanan dan Minuman Ini Bisa Membantu Mengurangi Kecemasan
Belanja Online: Revolusi Konsumsi Masyarakat
Nailul Huda menjelaskan bahwa platform belanja online memberikan kemudahan dan kenyamanan yang tidak dapat ditemukan pada toko fisik. “Konsumen dapat mengakses informasi produk secara lengkap, termasuk harga, spesifikasi, ulasan, dan perbandingan. Hal ini membantu pengambilan keputusan pembelian menjadi lebih efektif dan efisien,” ujar Nailul.
Selain itu, kemudahan pembayaran melalui layanan Buy Now, Pay Later (BNPL) menjadi daya tarik tersendiri. Layanan ini memungkinkan konsumen membeli produk sekarang dan membayar nanti, sering kali tanpa bunga.
"Layanan BNPL sangat menarik bagi generasi muda yang lebih memilih fleksibilitas dalam manajemen keuangan mereka," tambahnya.
Insentif yang Meningkatkan Daya Tarik Belanja Online
Platform belanja online juga menawarkan berbagai insentif seperti diskon, cashback, dan promosi eksklusif. Insentif ini, menurut Nailul, tidak hanya mendorong pembelian impulsif tetapi juga menciptakan siklus transaksi yang terus berulang.
“Dengan segala keunggulannya, belanja online kini menjadi fenomena belanja yang mengubah pola konsumsi masyarakat,” jelas Nailul.
Lonjakan GMV dan Stabilitas Pasca-Pandemi
Gross Merchandise Value (GMV) belanja online mengalami lonjakan signifikan selama pandemi COVID-19. Nailul menjelaskan bahwa pada tahun 2020, GMV mencapai puncaknya, menunjukkan adaptasi masyarakat terhadap platform digital. Namun, setelah itu, terjadi penurunan pada tahun 2021 akibat stabilisasi kebiasaan belanja dan penyesuaian terhadap norma baru.
“Meskipun ada penurunan, GMV tetap tinggi, menunjukkan bahwa belanja online telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan konsumen,” ujar Nailul.
Pada tahun 2024, GMV belanja online di Indonesia mencapai US$65 miliar, menjadikan Indonesia sebagai pemimpin aktivitas belanja online di ASEAN.
- Saham PANI Anjlok, Deretan Broker Ini Malah Ambil Kesempatan Serok
- Saham GOTO dan ADRO Perkasa di Pembukaan LQ45 Hari Ini
- Di Tengah Fluktuasi IHSG, Saham BBRI, EXCL hingga GOTO Bisa Jadi Peluang Menarik di 2025
Peran UMKM dalam Ekosistem Digital
Selain menguntungkan konsumen, aktivitas belanja online juga membuka peluang besar bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
“Platform belanja online memungkinkan UMKM menjangkau pasar yang lebih luas, baik secara nasional maupun global,” ungkap Nailul.
Dengan integrasi ke ekosistem digital, UMKM berkontribusi signifikan terhadap ekonomi digital dan mendukung ketahanan ekonomi nasional.
Investasi Belanja online yang Fluktuatif
Nailul juga menyoroti dinamika investasi di sektor belanja online. Investasi mencapai puncak pertama pada tahun 2017 sebesar US$1 miliar, kemudian mengalami penurunan drastis pada 2019. Lonjakan kembali terjadi pada tahun 2020 hingga mencapai puncak tertinggi US$1,6 miliar pada 2022 akibat percepatan adopsi digital selama pandemi. Namun, pada 2024, investasi kembali mengalami penurunan tajam.
“Fluktuasi ini mencerminkan volatilitas sektor belanja online. Pelaku industri harus siap mengantisipasi perubahan pasar dan menyesuaikan strategi bisnis secara dinamis,” kata Nailul.